Aku masih tidak habis pikir, kenapa Rida bisa berada di dalam mobil Mbak Vita dengan anak-anaknya yang terdengar berisik. Padahal biasanya ia paling anti memberikan tebengan pada sembarang orang. "As, aku telepon kamu karena ada yang ingin kubicarakan," ucap Mbak Vita serius. "Iya, Mbak. Ada apa?" tanyaku dengan memutar bola mata malas. "Kamu pasti heran kenapa aku memberi tumpangan pada Rida dan anak-anaknya yang berisik ini, kan? Lihat! Betapa berisiknya suasana di dalam mobilku ini padahal aku suka dengan ketenangan." Mbak Vita sesekali mengarahkan ponselnya ke arah anak Rida yang terus saja berceloteh saat di dalam mobil yang belum berjalan itu. Haish. Kenapa Mbak Vita bertele-tele begitu? "Tadi aku lihat Rida begitu kerepotan saat di jalan bersama dua anaknya itu padahal mobilku kosong. Sebagai tetangga yang baik dan cantik serta ramah, aku bertanya, dia mau ke mana, kan?" ucap Mbak Vita. Kukorek telingaku dan mengembuskan napas kasar. Mendengarkan ucapan Mbak Vita yang ti
PoV VitaKukipas-kipas wajahku dengan uang yang kudapatkan dari Rida. Ternyata punya mobil sangat menguntungkan. Kalau tidak punya mobil, tentu tidak akan tahu kalau ada uang nganggur seperti ini. Akan tetapi tunggu dulu! Benarkah uang ini ada tiga juta seperti yang Rida katakan? Kuhitung dengan seksama lembaran uang merah dan kujejer di atas meja setelah kuperiksa dengan teliti apakah uang ini asli atau enggak karena aku tidak mau rugi nanti. Setelah memastikan uangnya genap tiga juta dan asli semua, kembali aku mengipasi wajah dengan cara menghamparkannya. Hm, rasanya sejuk dan semilir memakai kipas dari uang ini. "Uang dari mana itu, Dek?" tanya Mas Danang yang tiba-tiba masuk tanpa permisi. "Ish, kebiasaan kamu, Mas, masuk nggak pakai permisi atau ketuk pintu dulu. Aku, kan, jadi kaget?" Aku berhenti mengipasi wajah dan duduk tegak setelah tadi menyenderkan tubuh di kursi. "Duit siapa itu, Dek?" Mas Danang kembali bertanya dan duduk di sampingku. Spontan aku menutup hidung
Mas Danang merebut ponsel dari tanganku. "Buat apa pakai hubungi Asty segala? Sudah jelas kalau memang ini rumahnya."Klik. Lalu Mas Danang memutus sambungan telepon yang tadi memang belum diangkat, baru berdering saja. "Enggak, Mas, kita tetap harus telepon Asty dulu karena kenyataan yang tidak sesuai ekspetasi ini. Bagaimana kalau ternyata ini rumah orang lain? Bisa malu tujuh turunan nanti," ucapku. Aku kembali merebut benda pipih dari tangannya dan menekan nomor Asty lagi. Panggilan pertama tidak diangkat dan baru diangkat panggilan yang kedua. "Halo, As?" sapaku. "Halo, Mbak. Assalamu'alaikum," sapa Asty dari seberang telepon. "Aku jadi ke rumahmu, ya?" "Iya, Mbak, dengan senang hati aku akan menunggu kedatangan Mbak di sini. Mas Ubay pasti senang kalau kalian datang. Apalagi ibu." Aku tidak akan bilang pada Asty kalau kami sudah ada di depan rumahnya saat ini. "Aku datang tidak sendirian, ada Mas Danang, Aruna, dan ibu serta bibiku. Kamu nggak keberatan?" Terdengar tawa
Aku meringis dan berusaha berdiri setelah terjengkang akibat hempasan tangan ibu. "Tolong, dong, Bu!" Tanganku terulur dan ibu membantuku berdiri lalu memapahku untuk duduk di sofa dan bergabung dengan yang lain. "Kamu ini, Vit, Vit, ada ada saja pipi sendiri kok ditampar? Cara namparnya gimana, kok, sampai kemerahan gitu?" Ibu menyodorkan minuman berwarna kuning padaku yang segera kutenggak sampai habis. Aku meletakkan gelas yang sudah kosong dan menatap ibu. "Ibu ingin tahu bagaimana aku menampar pipiku sendiri?" Wanita yang sudah melahirkanku itu mengangguk. Tanpa ragu aku segera melayangkan tamparan ke pipinya, tentu saja ibu kaget setengah mati. "Apa-apaan kamu, Vit? Kenapa kamu tampar Ibu?" Ibu memegangi pipinya yang kemerahan. "Tadi Ibu mau tahu gimana caraku nampar pipiku, kan? Ya udah, seperti itu caranya. Salahku di mana coba?" kataku santai, lalu mengambil kue nastar yang Asty sediakan. "Tapi ini sakit banget, Vit. Kamu namparnya pakai tenaga dalam?" Ibu melotot. "
Drama pakaian basah Aruna sudah usai. Saat ini kami sedang makan di sebuah meja makan dengan makanan yang begitu melimpah. Kuletakkan sendok dan memilih makan langsung dengan tangan agar lebih nikmat dan lebih cepat pastinya. "Kamu ini lapar atau doyan, Vit?" Ibu menggeleng saat melihat aku mengambil satu piring penuh nasi dan dua potong ayam krispi berukuran besar. Aku tidak menjawab pertanyaan ibu karena mulutku penuh saat ini. Makanan di piringku sudah habis dan aku merasa sangat kenyang. Kuelus perutku yang terasa semakin besar setelah menghabiskan satu piring nasi plus dua paha ayam, dan dua buah pisang untuk cuci mulut. Tidak lupa satu gelas besar jus jeruk. "Aku sedang hamil, jadi wajar kalau porsi makanku lebih banyak dari yang lain karena aku tidak makan sendiri melainkan ada makhluk lain yang harus kubagi makanan di dalam sini." Aku menjawab pertanyaan ibu setelah sekian lama kami terdiam. Tidak ada yang menanggapi ucapanku. Kulirik Mas Danang yang sedang menyuapi Arun
Drama pakaian basah Aruna sudah usai. Saat ini kami sedang makan di sebuah meja makan dengan makanan yang begitu melimpah. Kuletakkan sendok dan memilih makan langsung dengan tangan agar lebih nikmat dan lebih cepat pastinya. "Kamu ini lapar atau doyan, Vit?" Ibu menggeleng saat melihat aku mengambil satu piring penuh nasi dan dua potong ayam krispi berukuran besar. Aku tidak menjawab pertanyaan ibu karena mulutku penuh saat ini. Makanan di piringku sudah habis dan aku merasa sangat kenyang. Kuelus perutku yang terasa semakin besar setelah menghabiskan satu piring nasi plus dua paha ayam, dan dua buah pisang untuk cuci mulut. Tidak lupa satu gelas besar jus jeruk. "Aku sedang hamil, jadi wajar kalau porsi makanku lebih banyak dari yang lain karena aku tidak makan sendiri melainkan ada makhluk lain yang harus kubagi makanan di dalam sini." Aku menjawab pertanyaan ibu setelah sekian lama kami terdiam. Tidak ada yang menanggapi ucapanku. Kulirik Mas Danang yang sedang menyuapi Arun
AstyMbak Vita tengah mengelus perutnya yang sepertinya sudah kekenyangan. Sungguh kasihan aku melihat Mas Danang yang seperti kerbau dicucuk hidungnya di depan sang istri. Dari tadi Mbak Vita tiada henti memerintahnya sesuka hati. Sungguh, kakak lelakiku itu seperti tidak ada harganya di mata Mbak Vita. Yang paling membuatku kesal dan tanganku gatal ingin mencakar mulutnya adalah saat ia menyuruh Mas Danang mengupas mangga untuknya. "Aduh, Mas. Memotongnya jangan terlalu besar, yang kecil aja biar pas sekali suap." Mbak Vita protes saat sebuah irisan mangga satu piring penuh berada di hadapannya. Mas Danang tidak protes, dengan senang hati ia memotong mangga itu menjadi kecil-kecil seperti permintaan istrinya. Setelah selesai, Mbak Vita menggunakan garpu untuk mengambilnya, tetapi baru sekali suap, ia sudah memuntahkannya lalu menjulurkan lidah. "Mangga apa ini, As? Kenapa rasanya amburadul seperti ini? Air mana air? Hah hah." Ia mengipasi lidahnya dengan tangan lalu berseru.
Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak54PoV Sindi"Mbak, aku titip rumah selama beberapa hari, ya?" kata Vita di suatu pagi yang cerah. Aku yang baru saja selesai mendandani Syafa sekolah dikejutkan dengan kedatangan Vita yang sudah rapi. Bau wangi menguar dari tubuhnya. Sementara diriku masih bau keringat karena belum mandi"Mau ke mana kamu, Vit? Pagi-pagi sudah pakai lipstik merah kaya gitu? Habis makan ayam mentah?" Kuamati dengan seksama dari ujung kepala hingga ujung kaki wanita sesama ipar denganku ini. Ia terlihat menor dengan bibir merah menyala, bulu mata lentik, alis tertata rapi serta pipi dengan sapuan blush on warna pink. Iya, Vita memang pintar dandan tidak seperti aku. Celana jins warna biru dipadukan dengan kaus berwarna kuning ketat melekat di tubuhnya, ditambah rompi warna hitam dan tidak lupa kaca mata hitam tersemat di kepalanya. "Terkadang rasa iri menghampiri jika melihat wanita yang tinggal tidak jauh denganku ini. Setiap hati ia hanya duduk manis di rumah