Mas Danang merebut ponsel dari tanganku. "Buat apa pakai hubungi Asty segala? Sudah jelas kalau memang ini rumahnya."Klik. Lalu Mas Danang memutus sambungan telepon yang tadi memang belum diangkat, baru berdering saja. "Enggak, Mas, kita tetap harus telepon Asty dulu karena kenyataan yang tidak sesuai ekspetasi ini. Bagaimana kalau ternyata ini rumah orang lain? Bisa malu tujuh turunan nanti," ucapku. Aku kembali merebut benda pipih dari tangannya dan menekan nomor Asty lagi. Panggilan pertama tidak diangkat dan baru diangkat panggilan yang kedua. "Halo, As?" sapaku. "Halo, Mbak. Assalamu'alaikum," sapa Asty dari seberang telepon. "Aku jadi ke rumahmu, ya?" "Iya, Mbak, dengan senang hati aku akan menunggu kedatangan Mbak di sini. Mas Ubay pasti senang kalau kalian datang. Apalagi ibu." Aku tidak akan bilang pada Asty kalau kami sudah ada di depan rumahnya saat ini. "Aku datang tidak sendirian, ada Mas Danang, Aruna, dan ibu serta bibiku. Kamu nggak keberatan?" Terdengar tawa
Aku meringis dan berusaha berdiri setelah terjengkang akibat hempasan tangan ibu. "Tolong, dong, Bu!" Tanganku terulur dan ibu membantuku berdiri lalu memapahku untuk duduk di sofa dan bergabung dengan yang lain. "Kamu ini, Vit, Vit, ada ada saja pipi sendiri kok ditampar? Cara namparnya gimana, kok, sampai kemerahan gitu?" Ibu menyodorkan minuman berwarna kuning padaku yang segera kutenggak sampai habis. Aku meletakkan gelas yang sudah kosong dan menatap ibu. "Ibu ingin tahu bagaimana aku menampar pipiku sendiri?" Wanita yang sudah melahirkanku itu mengangguk. Tanpa ragu aku segera melayangkan tamparan ke pipinya, tentu saja ibu kaget setengah mati. "Apa-apaan kamu, Vit? Kenapa kamu tampar Ibu?" Ibu memegangi pipinya yang kemerahan. "Tadi Ibu mau tahu gimana caraku nampar pipiku, kan? Ya udah, seperti itu caranya. Salahku di mana coba?" kataku santai, lalu mengambil kue nastar yang Asty sediakan. "Tapi ini sakit banget, Vit. Kamu namparnya pakai tenaga dalam?" Ibu melotot. "
Drama pakaian basah Aruna sudah usai. Saat ini kami sedang makan di sebuah meja makan dengan makanan yang begitu melimpah. Kuletakkan sendok dan memilih makan langsung dengan tangan agar lebih nikmat dan lebih cepat pastinya. "Kamu ini lapar atau doyan, Vit?" Ibu menggeleng saat melihat aku mengambil satu piring penuh nasi dan dua potong ayam krispi berukuran besar. Aku tidak menjawab pertanyaan ibu karena mulutku penuh saat ini. Makanan di piringku sudah habis dan aku merasa sangat kenyang. Kuelus perutku yang terasa semakin besar setelah menghabiskan satu piring nasi plus dua paha ayam, dan dua buah pisang untuk cuci mulut. Tidak lupa satu gelas besar jus jeruk. "Aku sedang hamil, jadi wajar kalau porsi makanku lebih banyak dari yang lain karena aku tidak makan sendiri melainkan ada makhluk lain yang harus kubagi makanan di dalam sini." Aku menjawab pertanyaan ibu setelah sekian lama kami terdiam. Tidak ada yang menanggapi ucapanku. Kulirik Mas Danang yang sedang menyuapi Arun
Drama pakaian basah Aruna sudah usai. Saat ini kami sedang makan di sebuah meja makan dengan makanan yang begitu melimpah. Kuletakkan sendok dan memilih makan langsung dengan tangan agar lebih nikmat dan lebih cepat pastinya. "Kamu ini lapar atau doyan, Vit?" Ibu menggeleng saat melihat aku mengambil satu piring penuh nasi dan dua potong ayam krispi berukuran besar. Aku tidak menjawab pertanyaan ibu karena mulutku penuh saat ini. Makanan di piringku sudah habis dan aku merasa sangat kenyang. Kuelus perutku yang terasa semakin besar setelah menghabiskan satu piring nasi plus dua paha ayam, dan dua buah pisang untuk cuci mulut. Tidak lupa satu gelas besar jus jeruk. "Aku sedang hamil, jadi wajar kalau porsi makanku lebih banyak dari yang lain karena aku tidak makan sendiri melainkan ada makhluk lain yang harus kubagi makanan di dalam sini." Aku menjawab pertanyaan ibu setelah sekian lama kami terdiam. Tidak ada yang menanggapi ucapanku. Kulirik Mas Danang yang sedang menyuapi Arun
AstyMbak Vita tengah mengelus perutnya yang sepertinya sudah kekenyangan. Sungguh kasihan aku melihat Mas Danang yang seperti kerbau dicucuk hidungnya di depan sang istri. Dari tadi Mbak Vita tiada henti memerintahnya sesuka hati. Sungguh, kakak lelakiku itu seperti tidak ada harganya di mata Mbak Vita. Yang paling membuatku kesal dan tanganku gatal ingin mencakar mulutnya adalah saat ia menyuruh Mas Danang mengupas mangga untuknya. "Aduh, Mas. Memotongnya jangan terlalu besar, yang kecil aja biar pas sekali suap." Mbak Vita protes saat sebuah irisan mangga satu piring penuh berada di hadapannya. Mas Danang tidak protes, dengan senang hati ia memotong mangga itu menjadi kecil-kecil seperti permintaan istrinya. Setelah selesai, Mbak Vita menggunakan garpu untuk mengambilnya, tetapi baru sekali suap, ia sudah memuntahkannya lalu menjulurkan lidah. "Mangga apa ini, As? Kenapa rasanya amburadul seperti ini? Air mana air? Hah hah." Ia mengipasi lidahnya dengan tangan lalu berseru.
Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak54PoV Sindi"Mbak, aku titip rumah selama beberapa hari, ya?" kata Vita di suatu pagi yang cerah. Aku yang baru saja selesai mendandani Syafa sekolah dikejutkan dengan kedatangan Vita yang sudah rapi. Bau wangi menguar dari tubuhnya. Sementara diriku masih bau keringat karena belum mandi"Mau ke mana kamu, Vit? Pagi-pagi sudah pakai lipstik merah kaya gitu? Habis makan ayam mentah?" Kuamati dengan seksama dari ujung kepala hingga ujung kaki wanita sesama ipar denganku ini. Ia terlihat menor dengan bibir merah menyala, bulu mata lentik, alis tertata rapi serta pipi dengan sapuan blush on warna pink. Iya, Vita memang pintar dandan tidak seperti aku. Celana jins warna biru dipadukan dengan kaus berwarna kuning ketat melekat di tubuhnya, ditambah rompi warna hitam dan tidak lupa kaca mata hitam tersemat di kepalanya. "Terkadang rasa iri menghampiri jika melihat wanita yang tinggal tidak jauh denganku ini. Setiap hati ia hanya duduk manis di rumah
Klik. Tanpa menjawab, segera kumatikan secara sepihak telepon dari Vita. Menyebalkan sekali. Ponsel kembali berdering, segera kuangkat meski kesal dan aku berseru. "Iya, ayam-ayam kamu sudah dikasih makan meski bukan aku yang melakukannya, tetapi Mas Gani. Puas!" Kumatikan lagi tetapi lagi-lagi Vita menelepon lagi, tanganku mengepal dan gigiku gemeletuk, ingin rasanya kulempar benda pipih yang dapat digunakan untuk berkomunikasi ini jika tidak ingat harganya yang lumayan mahal dan untuk mendapatkannya harus rela berpanas-panas di sawah dulu. "Aada apa lagi, Vit? Ini sudah malam. Aku ngnatuk. Tolong jangan telepon lagi!" Aku terpaksa mengangkat tektepon karena jika tidak benda persegi panjang itu terus menjerit. "Aku hanya ingin ngasih tahu kalau liburanku kali ini sangat menyenangkan. Aku telepon Mbak karena Mbak belum lihat stutusku di WA, takutnya kamu belum lihat, status itu sudah hilang. Dah, ya." Kali ini Vita yang mematikan teleponnya. Kulempar ponsel di atas kasur empuk a
Aku kembali menekuri galeri foto di ponsel Vita yang jumlahnya ratusan itu. Iya, Vita memang mengambil semua gambar di setiap kegiatan. Mulai dari saat berangkat, dalam mobil, hingga setelah sampai di sana pun tidak ada satu detik pun yang tertinggal dari jepretannya. Ku hela napas panjang saat hati ini panas melihat betapa bahagianya mereka. Apalagi saat moment mereka makan bersama dengan hidangan yang beraneka ragam dan semuanya terlihat enak. Belum pernah aku melihat makanan seperti itu apalagi memakannya. Air liurku menetes tanpa bisa ku cegah saat melihat mulut Vita yang belepotan. Kulihat foto ibu mertua yang begitu terlihat bahagia, bahkan aku merasa kalau perempuan yang sudah melahirkan suamiku itu terlihat cerah wajahnya dan tubuhnya lebih berisi. Pantas kalau Vita bilang ibu kerasan tinggal bersama anak perempuannya itu. Siapa yang enggak betah tinggal di rumah bagus dan setiap hari ada makanan enak. Ah, seandainya aku punya sayap untuk terbang, sudah pasti aku akan ke s