Share

Menemukan Hamzah di Masjid.

“Aku malu Hel,” ungkap Syifa merunduk malu. 

“Santai aja, kamu kaya sama siapa aja,” ujar Rachel sembari tersenyum riang, ia berusaha mencairkan suasana canggung pada diri Syifa.

“Kamu pulang sama aku nggak?” lanjut Rachel menawarinya. 

“Hmmmm.” Syifa melirik tempat kosong tepat dimana sang suami berdiri sebelumnya.

Bahkan ia melihat beberapa guru telah mondar-mandir di tempat itu seperti biasa layaknya suasana pulang sekolah.

Ada yang menatap dirinya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya tanpa menegur sapa. 

Syifa menghempaskan nafasnya kasar.

“Kamu pulang aja Hel,” ujar Syifa datar.

“Kamu pulang sama siapa?” Rachel mengernyitkan dahinya.

“Biasa, di jemput suami.” Syifa menyunggingkan senyumnya. Sejurus kemudian ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Emmm ... paling Mas Hamzah udah nungguin aku di jalan, Hel,” sambung Syifa sekenanya.

“Kamu yakin?” ulang Rachel meyakinkan.

Syifa manggut-manggut meresponsnya, sesaat kemudian kedua sudut bibirnya melengkung menampilkan deretan gigi putih yang rapi.

“Walau bagaimanapun Mas Hamzah itu suamiku Hel. Aku nggak ingin mempermainkan sebuah pernikahan, yang artinya aku harus kembali dan memperbaiki kesalahanku tadi,” ungkap Syifa datar dengan tatapan yang penuh arti. 

“Apa ini sebabnya kamu terlambat kerja? Apa ini juga sebabnya kamu seringkali melamun dan termenung akhir-akhir ini?” benak Rachel dalam hati, ingin rasanya ia mengutarakan isi hati melihat wajah kelelahan dan matu sayu sahabatnya yang tak pernah nampak sebelum dia menikah.

 

“Kamu wanita kuat, ceria, pintar, tangguh. Aku yakin kamu bisa melewati semua ini Syif! Semangat, ya?” tutur Rachel dengan senyum mengembang.

Tak lama kemudian Rachel beranjak meninggalkan Syifa seorang diri.

Tempat sekolah telah sepi, semua guru sudah meninggalkan kantor. Halaman sekolah yang menjulang tinggi itu terlihat sunyi tanpa bunyi suara sorak sorai para siswa saat jam pelajaran. 

Manik mata Syifa menatap lurus ke arah jalanan lewat jendela kaca yang transparan. 

“Mas Hamzah kemana? Apa dia marah?” gumam Syifa. Hanya angin bertiup yang menjawab ucapannya tadi.

Dedaunan kering yang di terpa angin terseok-seok menjadi pandangan yang menarik di mata Syifa.

“Apa aku harus pulang?” gumamnya lagi.

Selang beberapa waktu kemudian ... 

Rasa jenuh dan bosan membuat Syifa lama-lama tak nyaman berdiam diri di tempat yang ramai lalu-lalang orang, akan tetapi dia hanya duduk sendiri menatap aktivitas mereka. 

Kini ia tengah duduk di sebuah halte kecil samping jalan raya, tepatnya di trotoar. 

Sejenak ia melirik jam di pergelangan tangannya yang mengarah ke angka dua.

“Astaghfirullahaladzim, hanya karena masalah dunia aku lupa sholat. Ya Allah ampuni aku.” Syifa tersentak kaget saat ingatannya menyadari dirinya belum melaksakan kewajiban sebagai seorang umat muslim. 

Ia bergegas beranjak dari sana dan membawa langkah kakinya mencari sebuah masjid.

Usai melaksanakan sholat, Syifa duduk di pelataran masjid untuk mengenakan kaos kaki dan memeriksa barang bawaan dalam tasnya. Namun, tiba-tiba manik matanya menangkap seorang laki-laki duduk merunduk tak jauh dari dirinya.

Peci putih serta warna gamis cream sedikit kecoklatan tak asing di matanya. 

Sejurus kemudian hatinya teringat moment ketika laki-laki bergamis serupa mengkhitbah dirinya dulu. Sontak Syifa tersenyum sinis menatapnya dari belakang. 

“Kenapa kamu nggak ngerti perasaanku sih Mas? Aku nggak habis fikir kenapa kamu memiliki keluarga yang seperti itu? Dan celakanya aku masuk kedalam kehidupanmu.” Syifa menghempaskan nafasnya dengan kasar. 

“Seandainya bukan karena pak yai, aku nggak akan menerimamu Mas,” lanjut Syifa mendengus kesal. 

“Kang Ali lebih baik dari pada kamu.”

Dalam benaknya tergambar sosok laki-laki yang di sebutkannya itu. Tubuh tinggi dengan warna kulit putih serta suaranya yang merdu setiap melantunkan ngaji dan sholawat memikat banyak kaum hawa termasuk dirinya.

Tiba-tiba ingatannya kembali teringat peristiwa percekcokan di tempat sekolah tadi. Secara otomatis hawa nafsu Syifa membandingkan dua suasana hati yang sedang membelenggunya.

“Terserah apa yang mau kamu lakuin, aku nggak akan peduli Mas,” oceh Syifa sembari mengenakan sepatu, hendak beranjak dari sana. Namun, telinga Syifa mendengar isakan tangis yang membuat dirinya mengurungkan niat untuk meninggalkan Hamzah di sana. 

Perlahan Syifa mendekat, akan tetapi tidak ada reaksi apapun dari tubuh laki-laki yang merunduk itu. 

Syifa semakin di buat penasaran, hatinya berubah menjadi desiran yang tak bisa di mengerti olehnya. Perasaan khawatir perlahan merayap, langkah kakinya semakin mendekat hingga jarak keduanya hanya terhitung beberapa senti saja. 

Kelopak mata suaminya terlihat mengatup dengan bulir air mata yang terus menetes membasahi lantai masjid itu. 

Rasa empati dan kasihan perlahan meruntuhkan emosi yang menggunung di hati Syifa. 

“Aku mau pulang, kalau Mas nggak mau nganterin aku mau pulang tempat lain,” oceh Syifa dengan ketus. 

Sejenak hening tanpa ada reaksi apapun dari Hamzah. Namun, sebelum kaki Syifa melangkah, ucapan sang suami membuat Syifa mengurungkan niat meninggalkan Hamzah.

“Mas memang jauh dari kata sempurna, Dek. Tapi bukankah aku ini sudah mengambil Adek dengan janji di hadapan Illahi? Mas tau Adek wanita baik-baik, sholehah, penyabar. Namun, melihat kemarahan Adek tadi membuat hati mas sangat terpukul ....” Hamzah menghentikan ucapannya ketika bulir bening kembali menetes.

Seketika ego dan kemarahan Syifa runtuh, tangannya mengelus lembut kepala hingga bahu sang suami. Ia melupakan ucapan sebelumnya saat belas kasihan menguasai isi hati. 

“Maaf Mas,” ucap Syifa dalam hatinya. Hanya itu yang bahasa yang bisa ia ungkapkan.

Wanita itu masih begitu enggan meruntuhkan hati untuk Hamzah, apalagi mengingat betapa laki-laki itu lebih membela ibu mertunya tadi.

Syifa merundukkan pandangannya melihat apa saja di bawah sana. Hatinya merasa iba sekaligus merasa bersalah telah membuat laki-laki di hadapannya menangis.

“Dek ....” Hamzah menatap wajah Syifa dengan sendu. Kedua tangannya menangkup wajah Syifa.

Sang istri terpaku seraya memperhatikan bola mata suaminya yang masih nanar.

Sejenak kemudian Hamzah menghela nafasnya, lalu menghapus semua air matanya tanpa sisa.

Tak lama kemudian sebuah senyuman terbit dari bibirnya, Hamzah merangkul bahu Syifa. 

“Mas bahagia melihat Adek tenang seperti ini,” ucapnya membuat Syifa semakin tak mengerti.

“Ayo kita pulang!” Hamzah meraih tangan Syifa sembari beranjak dan menggandeng tangan istrinya itu. Sekilas ia menyapu wajahnya guna menghilangkan sisa air mata.

*******

Syifa termenung duduk di bonceng Hamzah, ia masih tak mengerti apa yang di fikir oleh sang suami.

“Apa Mas Hamzah sedih karena bertengkar denganku? Atau dia menyesal telah membela ibunya?” pikir Syifa dalam hati. 

Sepanjang jalan yang ia lewati merangkai berbagai spekulasi dalam benaknya tentang keadaan sang suami.

Tak terasa motor telah berhenti tepat di halaman rumah yang tidak begitu luas itu, ada beberapa pot bunga di pelatarannya.

Terdapat bunga matahari serta bunga mawar yang menjadi penawar kesumpekan hati Syifa saat memandangnya.

 

Wanita itu merunduk memandangi satu demi satu bunga di pelataran itu, sekilas sudut bibirnya melengkung tanpa ia sadari seiring perasaannya yang merasa bahagia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status