***** Tak lama kemudian Syifa menyusul sang suami di dalam kamar. Saat pintu di buka Syifa mendapati suaminya yang duduk di tepi ranjang dengan wajah gelisah, perasaan bersalah kembali muncul di benak Syifa. “Apa mungkin Mas Hamzah masih memikirkan ucapanku tadi? Apa dia begitu tersinggung hingga terlihat murung begini?” benak Syifa dalam hati.Perlahan ia berjalan mendekati ranjang. Syifa tidak ingin mengusik keadaan sang suami, tujuannya saat kini mendaratkan diri di atas kasur dan merehatkan badan.Namun, sebelum selimut berhasil Syifa tarik untuk menutupi dirinya, Hamzah bergerak dan menoleh kepadanya.Seketika Syifa menatap sang suami dengan tatapan bingung sekaligus kikuk.“Sini duduk dengan mas, Dek!” pinta Hamzah berujar. Syifa menghela nafasnya lega mendengar penuturan dan permintaan Hamzah yang terlihat tenang. Pikiran buruk mengenai sang suami sebelumnya kini kembali jernih. Syifa menggeser tubuhnya hingga terduduk di samping sang suami. Ia menatap lekat wajah Hamzah
Syifa meraup wajahnya, sejenak ia terpaku, lalu hitungan detik kemudian tangannya mengambil kembali uang yang sempat ia simpan di dalam laci nakas itu. Syifa memberikan dua lembar kepada Hamzah dan menaruh tiga lembar sisanya di atas kasur tepat di depan suaminya.Laki-laki berkumis tipis yang tengah berdiri menatapnya itu menelan ludah, perasaannya mulai gusar melihat gelagat sang istri.“Sisanya simpan saja Dek,” ucapnya pelan. Syifa bungkam dan tak bereaksi apapun.“Jangan sampe lupa, Adek simpan, ya?” ulang Hamzah berusaha memastikan jika sang istri tidak mendengar ucapan sebelumnya tadi. “Dek ...!” Hamzah melangkah mendekat, akan tetapi seketika itu juga Syifa menoleh dan melemparkan senyum manisnya.“Iya Mas, biarkan saja! Nanti bakal aku kasih ke Bu Minah setelah ini,” jelas Syifa datar.Hamzah manggut-manggut.“Ya udah.” Hamzah berjalan keluar. Namun, sesekali ia menoleh kepada sang istri dengan bimbang.“Ini Bu! Maaf aku hanya mampu kasih segitu saat ini,” jelas Hamzah men
“Aku laper Syif, makan yuk!” Rachel berkeluh seraya memegangi perut, kedua netranya mengedarkan pandangan mencari tempat untuk makan.Syifa mengekor langkah sahabatnya itu. Setelah sampai di tempat tujuan, Rachel sibuk memilih jenis makanan yang terpampang di balik etalase ruangan. “Ayo kamu mau makan apa?” ujar Rachel menarik tangan Syifa tanpa menoleh karena pandangannya fokus memilah jenis menu yang beragam tersebut.Manik mata Syifa membola memperhatikan harga yang tertera di bawah menu, ia hanya bisa menelan ludah. “Walaupun terlihat sangat enak, tapi harganya membuat pusing kepala,” ucap Syifa sama hati, tanpa sadar ia menggarukkan kepalanya yang berbalut hijab meski tidak gatal.Syifa termenung sejenak, ia harus memikirkan alasan untuk tidak memilih menu makanan.“Kalau bilang puasa nanti aku dosa karena aku memang lagi nggak puasa, kalau bilang lagi ngirit ... ah! Nggak mungkin harus terus terang begini,” pikir Syifa berkecamuk.Saat netranya melihat lemari pendingin yang be
Sesampainya di rumah Syifa segera menghempaskan tubuhnya di atas kasur, ia melirik jam di pergelangan tangannya yang bergerak di angka dua. Beruntung ia meminta Hamzah untuk berhenti di masjid saat di perjalanan, guna melaksanakan sholat dhuhur sehingga ia bisa berleha-leha barang sejenak. “Lain kali kita jalan-jalan berdua aja, ya Dek!” ucap Hamzah seraya melepas jaketnya. Ia nampak senang melihat raut bahagia di wajah Syifa saat dia jemputnya. “Iya Mas, Insyaallah kapan-kapan,” balas Syifa sembari memejamkan matanya perlahan. Drttt ... drttt ...Belum sampai memasuki alam mimpi, benda pipih yang Syifa letakan di atas nakas bergetar sembari mengeluarkan dering tanda panggilan masuk. Seketika Syifa membuka matanya dan mengulurkan tangan meraba ponsel yang hampir terjun bebas ke lantai. “Amira!” pekik Syifa melihat kontak yang terpampang di sana, sontak ia segera menggeser tombol berwarna hijau. “Assalamuallaikum Mir. Hai! Apa kabar?” seru Syifa dengan antusias. Sahabat lama y
Buk!“Astaghfirullahal adzim.” Syifa terperanjat kaget, seketika ia menoleh. Tepat di atas ranjang, Hamzah telah mendaratkan tubuhnya di sana.Gendang telinga Syifa mendengar suara cacing yang kelaparan di dalam perut, tentu itu bukan berasal dari dirinya.Melainkan dari Hamzah yang tengkurap dan terdiam di atas kasur.Syifa mengernyitkan dahi, tanpa mengeluarkan suara ia bergegas keluar setelah mendapatkan apa yang ia inginkan di dalam tas itu.Beberapa saat kemudian Syifa bersusah payah menggedor pintu kamar yang tertutup lantaran kedua tangannya sibuk memegang mangkok.“Mas, buka!” Syifa berusaha memanggil sang suami sembari membenturkan kakinya di pintu untuk mengeluarkan suara apa saja agar Hamzah bisa keluar menemuinya.“Nggak di kunci kok Dek.” Hamzah menolehkan wajahnya, dengan rasa malas karena menahan lapar ia terpaksa beranjak untuk membuka pintu.Sejurus kemudian ia tertegun melihat apa yang di bawa istrinya.“Tolong bawain satu, Mas!” titah Syifa menyudahi tatapan kelapar
Dengan satu tangan Rahel menekan starter dan menancap gas membawa Syifa meninggalkan gedung sekolah. Tak lama berselang motor yang di tungganginya berhenti di depan sebuah kedai bakso dan mie ayam.“Aku nggak pengen makan bakso Hel, bosen,” protes Syifa sembari turun dari jok motor.Seketika Rahel mengangkat kedua alisnya,” Bosen? Emang kamu makan bakso setiap hari?”“Nggak juga sih, baru kemaren,” ungkap Syifa sembari menyunggingkan senyum, menampilkan deretan giginya yang rapih. Rahel mengulas senyum sekilas, ia merasa senang ternyata Syifa masih bisa menikmati makanan kesukaannya, tidak seburuk seperti dalam benaknya selama ini.“Ya udh kamu mie ayam aja, aku bakso seperti biasa,” cetus Rahel tanpa bisa Syifa bantah. Rahel mengawali langkahnya dan duduk di sebuah meja tepat di depan gerobak penjual.“Sini aja Syif, biar liat jalan juga,” tutur Rahel seraya duduk di kursi.“Oke siap.” Syifa memilih duduk berhadapan dengannya. Tak lama kemudian keduanya sibuk memeriksa ponsel, le
Syifa menghela nafas panjangnya lalu menghembuskannya secara perlahan-lahan untuk mengatur alur pernafasannya agar kembali normal. “Aku harus bersyukur dan ikhlas menjalani hidup yang telah Tuhan beri ini. Dia selalu tau mana yang terbaik untuk hamba-Nya. Tidakkah Allah memberi ujian kecuali menyimpan ribuan hikmah di sebaliknya,” ucap Syifa dalam hati untuk menghibur dirinya sendiri. “Iya Syif, aku sangat bersyukur banget dan salah satu bentuk rasa syukurku ... aku nggak boleh banyak pikiran, tetap menjaga pola makan sehat seperti kemauan suamiku,” imbuh Nayla. “Betul! Sehat selalu bumil,” sahut Rahel dengan menyunggingkan senyumnya. Tiba-tiba Syifa bersendawa mengeluarkan bunyi puncak kenikmatan yang akhir-akhir ini lidahnya jarang merasakan. “Alhamdulillah Ya Allah nikmatnya,” ucap Syifa. Rahel dan Nayla tergelak mendengarnya. “Kamu mau nambah lagi Syif? Tenang aku yang traktir kalian,” cetus Nayla, seketika itu juga Rahel mengangkat tangannya,” Aku juga mau nambah, Nay.”
“Tolong perhatikan ibu, Hamzah! Ibu nggak mau tau, pokoknya besok motor itu harus tetap di rumah!" kekeh Bu Santi, telunjuknya mengarah kedepan, tepat menunjuk sebuah motor matic keluaran lama peninggalan satu-satunya dari sang bapak, tapi karena Hamzah rajin merawatnya motor itu masih terlihat mulus dan bagus.Si berkah sebutan untuk motor yang selalu membawanya kemana-mana dari muda hingga ia berumah tangga dan sekarang ia harus mengalah untuk melepas si berkah kepada sang ibu.Hamzah terdiam pasrah, ia tak bisa lagi mengelak dari ucapan sang ibu. Ia menyenderkan tubuhnya seraya memijat kepalanya yang pening.“Mana kuncinya? Semua surat-suratnya juga STNK, BPKB,” pinta Bu Santi seraya menengadahkan tangannya kepada Hamzah.“Mau buat apa Bu? Si Berkah jangan di jual Bu!” Hamzah melebarkan pupilnya sembari memohon dengan wajah melasnya.“Nggak, biar ibu kalau kemana-mana aman dari tilang,”balasnya.Hamzah bernafas lega mendengar penuturan sang ibu. Tak menunggu lama ia segera mengelua