Share

Bercak Darah di Seprai Adikku
Bercak Darah di Seprai Adikku
Penulis: Ida Saidah

Part 1

“Kamu kenapa, Mel. Kok jalannya kaya aneh gitu?” tanyaku kepada Imelda adikku, sebab melihat cara dia berjalan yang terlihat sangat aneh. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di antara kedua kakinya, dan ketika duduk dia juga meringis kesakitan.

“Nggak apa-apa, Mbak. Perasaan cara jalan aku biasa-biasa aja!” Dia menjawab tanpa berani menatap wajahku, seperti ada yang sedang dia sembunyikan.

Tidak lama kemudian Mas Bima keluar dari kamar dan bergabung bersama kami. Dan entah mengapa, wajah Imelda langsung terlihat berbeda ketika bersitatap dengan suamiku.

“Loh, Mas. Nggak sarapan?” tegurku ketika Mas Bima hanya meneguk teh hangat yang terhidang di atas meja dan segera pergi. Dia tidak menyahut, tapi malah terlihat sibuk memainkan ponsel.

Sementara Imelda, wanita berusia dua puluh tiga tahun yang sudah kubesarkan dengan penuh kasih itu juga bergegas pergi kerja, tanpa sepatah kata terucap dari mulutnya.

Ah, ada apa dengan para penghuni rumah ini?

Ketika sedang membereskan meja makan tiba-tiba ponsel milikku berdering nyaring. Ada panggilan dari Leticia, akan tetapi ketika baru saja hendak menjawab panggilannya darinya, gawaiku malah kehabisan baterai. Sepertinya semalam aku lupa mengisinya. Mana cargernya ilang pula.

Lebih baik meminjam punya adikku saja, sebab kami memiliki ponsel dengan merek yang sama.

Memutar hendel pintu kamar Imelda, aku meraba tembok mencari sakelar lampu karena kamar gadis itu terlihat gelap. Mataku memicing ketika melihat kamar adikku masih dalam keadaan berantakan, dan yang membuat dada ini berdebar tidak karuan saat melihat bercak darah di seprai adikku.

Bukannya Imel baru selesai datang bulan beberapa hari yang lalu? Batinku seraya duduk di bibir ranjang sambil menatap bercak merah tersebut, juga bercak-bercak mencurigakan lainnya. Sebagai perempuan yang sudah menikah aku tahu bercak apa itu.

Ya Allah... apa diam-diam dia memasukkan laki-laki ke dalam kamarnya? Tapi, kalau pun iya, kapan, dan dengan siapa? Sebab selama ini aku selalu berada di dalam rumah, tidak pernah keluar ke mana-mana kecuali jika ke warung sayur jika pagi hari.

Astaghfirullahaladzim...

Aku tidak boleh berprasangka buruk kepada adikku sendiri. Mungkin itu flek darah menstruasinya, karena terkadang aku juga suka keluar lagi flek beberapa hari setelah selesai menstruasi.

Tapi, bercak putih di atas seprai itu?

Ah, mendadak kepalaku jadi pening memikirkannya.

Beranjak dari tempat tidur, membuka laci Imelda mencari charger miliknya. Kali ini mataku kembali terfokus kepada keranjang baju kotor yang teronggok di pojok bilik, sebab di dalamnya ada sebuah lingerie berwarna merah muda serta sebuah dalaman pria. Ukurannya persis seperti milik Mas Bima, hanya saja baru kali ini aku melihatnya.

Sepanjang hari aku terus memikirkan masalah tersebut, ingin menanyakan langsung kepada yang bersangkutan akan tetapi tidak elok rasanya jika membahas masalah sensitif lewat telepon. Takut ada orang lain mendengar dan gosip itu langsung menyebar.

Lagian, belum tentu apa yang aku lihat itu benar. Aku tidak boleh grasah-grusuh juga gegabah. Lebih baik dibicarakan baik-baik dengan Imelda, dan jika dia telah melakukan hal di luar batas, aku bisa menyuruhnya untuk segera menikah.

Suara deru mesin kendaraan terdengar memasuki pekarangan rumah. Gegas melongok dari jendela, sebab itu bukan suara mesin mobil suamiku.

Tidak lama kemudian Imelda turun dari kendaraan roda empat tersebut sambil melambaikan tangan. Perempuan berambut sebahu itu lekas berjalan masuk, dengan mode jalan seperti tadi pagi, persis seperti ketika aku baru menikah dengan Mas Bima dan selesai melakukan malam pertama. Terlihat ada yang mengganjal juga kesakitan.

“Sudah pulang, Mel?” tanyaku saat dia masuk.

“Iya, Mbak!” Lagi, dia menjawab tanpa menatap wajahku seperti biasanya. Semakin mencurigakan.

Aku membiarkan dia masuk ke dalam kamar, memberi ia waktu untuk membersihkan diri serta istirahat sebentar, karena tidak mungkin langsung membahas hal itu saat dia dalam keadaan lelah setelah seharian bekerja.

Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka tujuh malam. Akan tetapi gadis itu belum juga keluar dari kamar, seolah menghindari diriku yang berniat menginterogasinya.

“Mel, Imel!” Mengetuk pintu kamarnya perlahan, dan tidak lama kemudian seraut wajah sembab nan kuyu muncul dari balik pintu.

“Ada apa, Mbak?”

“Kamu habis nangis?” Memindai wajahnya.

“Enggak. Aku baru bangun tidur!”

Aku melongok ke dalam bilik, dan sepertinya dia sudah mengganti seprai dengan yang baru.

“Mbak mau bicara sama kamu. Penting.”

“Ada apa? Aku capek!”

“Boleh Mbak masuk?”

“Kita bicara di luar saja.”

“Yasudah!” Aku melekuk senyum lalu segera berjalan mendahului dia menuju sofa ruang tengah.

“Ada apa, Mbak?” Imelda bertanya saat kami berdua sudah sama-sama duduk.

“Em...begini, Mel. Tadi pagi Mbak masuk ke kamar kamu.”

Mata lawan bicaraku terkesiap dengan kelopak membulat sempurna. Wajahnya terlihat pucat juga syok.

“Mbak berani masuk ke kamar aku tanpa seizin dari aku? Itu ranah pribadi aku loh, Mbak!” Ia meninggikan nada bicara satu oktaf. Tidak biasanya dia berani membentakku seperti itu.

“Mbak Cuma mau pinjam charger. Tapi Mbak malah liat lingerie juga underwear laki-laki di kamar kamu.”

“Itu punya Eric temen aku. Kemaren aku maen ke rumah dia dan meminjam CD miliknya. Aku nggak mungkin berbuat macam-macam. Aku masih punya pikiran!”

“Lantas, bercak darah di seprai kamu?”

Dia menoleh dan menatap tajam.

“Itu darah menstruasi!”

“Ada bercak lainnya juga, Mel. Dan Mbak paham banget bercak apa itu?”

“Mbak ini kenapa sih? Ngurusin banget urusan orang lain!” Wanita bertubuh langsing serta kulit mulus bersih itu beranjak dari tempat duduknya dan segera meninggalkan aku. Bahkan dia berani membanting pintu kamar dengan begitu keras, sehingga membuat kedua anakku yang sudah tertidur kembali terbangun.

Astaghfirullahaladzim...

Pagi ini, suasana rumah terlihat berbeda seperti hari-hari biasanya. Mas Bima sudah pergi ke kantor sejak subuh karena dia bilang akan pergi ke luar kota bersama bosnya, sementara Imelda terus saja diam membisu kepadaku. Mungkin masih marah karena masalah semalam.

Ketika dia masuk ke dalam kamar untuk mengambil tas kerja, ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja makan terdengar berdering. Ada satu pesan masuk dari nomor tidak dikenal, dan entah mengapa jiwa penasaranku terus saja mendorong untuk melihat isi pesan tersebut. Kebetulan layar gawainya belum terkunci, jadi bisa leluasa membuka aplikasi berwarna hijau perempuan itu.

Tubuh ini mendadak panas dingin saat membaca pesan tersebut. Antara syok, juga sedih karena benar-benar sudah gagal menjaga Imelda.

[Terima kasih, Sayang. Permainan kamu semalam begitu hebat. Aku sangat puas dengan layanan kamu. Kamu benar-benar sudah membuat aku mabuk dan tidak bisa melupakan permainan panas kita semalam. Bahkan kamu bisa melayaniku berkali-kali, tidak loyo seperti istriku yang jelek itu.] Begitu isi pesannya.

Penasaran, aku melihat profil si pengirim pesan, akan tetapi hanya ada gambar tangan saling menggenggam. Hingga akhirnya kuputuskan untuk menghubungi nomor tersebut, bertambah syok saat mendengar suara sang empunya nomor.

“Halo, Sayang? Kenapa? Sudah kangen? Apa mau lagi? Memangnya semalam belum puas?” tanya si pria, dan aku begitu mengenali suaranya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Wagirin
Agama Islam melarang ada orang lain di rmh kita..terutama Ipar.. sebaiknya adik perempuan kita jgn satu rmh.. tidak jarang terjadi perselingkuhan dgn Ipar, Pembantu, Supir Pribadi, tante, paman dsb.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status