“Mas Bima?” lirihku sambil menahan air mata yang sudah menggelayut di pelupuk, dan tanpa sengaja menjatuhkan ponsel milik adikku.
Apa diam-diam Imelda menusukku dari belakang, bermain api dengan Mas Bima, bahkan sampai melakukan hal sejauh itu?
“Mbak Velly buka-buka ponsel aku?” Aku terkesiap ketika tiba-tiba perempuan dengan blazer merah muda itu sudah berdiri di hadapanku dengan wajah murka.
“Kenapa sih, sekarang Mbak lancang banget? Kemarin kamar aku digeledah. Sekarang handphone aku dibuka-buka!” rutuknya lagi.
“Tadi ada pesan masuk dan bahasa tidak sopan. Makanya Mbak buka ponsel kamu, karena kebetulan layarnya belum terkunci.” Menatap netra dengan iris cokelat perempuan yang sudah aku biayai sekolahnya hingga perguruan tinggi itu.
“Aku ini udah gede, Mbak. Jangan dicurigai terus seperti anak kecil!”
“Tapi kamu masih tanggung jawabnya Mbak.”
“Lama-lama aku nggak betah tinggal di rumah ini!”
“Siapa laki-laki itu, Imel? Kamu tidak mengkhianati Mbak ‘kan? Apa dia Mas Bima?”
“Mbak itu ngomong apa sih? Udah lancang buka-buka ponsel orang, sekarang malah nuduh aku sembarangan!”.
“Mbak nggak nuduh. Cuma nanya. Kenapa kamu harus nge-gas jawabnya? Mbak tidak akan bertanya seperti itu kalau Mbak nggak denger sendiri suara laki-laki yang berkirim pesan sama kamu tadi. Itu suara Mas Bima!”
“Sudahlah. Aku sudah kesiangan. Mau kerja!” Dia memungut ponselnya yang tergeletak di lantai, menyambar tas kerja yang tergeletak di atas kursi lalu segera pergi tanpa memberikan penjelasan. Aku harus menyelidiki itu. Tidak mau sampai kecolongan, apalagi kalau sampai apa yang aku pikirkan memang benar adanya.
Astaghfirullahaladzim...
Memijat pelipis, mencoba mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan, melonggarkan dada yang terasa seperti sedang terhimpit batu besar.
Lindungilah rumah tangga hamba, Tuhan. Aku tidak mau apa yang dialami almarhumah Mama terjadi kepadaku juga. Dikhianati oleh Papa hingga akhirnya lahirlah Imelda dari rahim pelakor yang sudah memporak-porandakan rumah tangga kedua orang tuaku.
Ya, Imelda adalah adik tiriku. Lebih tepatnya adik seayah namun tidak senasab, karena dia lahir tanpa ada ikatan pernikahan di antara kedua orang tuanya. Ayah bermain gila di belakang Mama, menghamili salah seorang teman kerjanya lalu setelah bayi itu lahir perempuan itu tidak mau merawatnya, hingga akhirnya mau tidak mau ayah membawa Imelda yang masih berusia tiga hari pulang ke rumah.
Awalnya aku dan Mama tidak menerima kehadiran anak tersebut. Tapi setelah dipikir-pikir, dia itu tidak tahu apa-apa, dan mungkin jika boleh memilih, tidak akan mau terlahir dengan cara yang salah seperti itu. Aku sangat menyayangi Imelda tanpa melihat latar belakangnya, sebab tidak adil rasanya jika ia harus ikut menanggung beban dosa yang dilakukan oleh Ayah serta Tante Airin.
Suara tangis Danis membuatku tersadar dari lamunan. Gegas menghampiri jagoanku yang masih berumur satu tahun setengah, menggendongnya keluar lalu memandikannya menggunakan air hangat.
Malam kian beranjak larut. Rintik hujan terus saja turun membasahi bumi, membuat rasa gelisah dalam hati kian bertambah.
Pasalnya, baik Mas Bima maupun Imelda belum ada yang pulang ke rumah, sementara jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sebelas malam. Membuat diri ini bertambah mencurigai, kalau memang mereka diam-diam memiliki hubungan spesial di belakangku.
Mengambil gawai yang tergeletak di atas nakas, mencoba menghubungi keduanya akan tetapi tidak ada satu pun yang aktif. Perasaan ini semakin gelisah dibuatnya, apalagi tadi pagi bisa kudengar dengan jelas bahwa suara lelaki yang mengirimkan chat mes*m kepada Imelda adalah suara Mas Bima.
[Mas, kamu di mana? Pulang jam berapa? Aku khawatir banget sama kamu.] Mengirimkan pesan kepada suami, akan tetapi sejak magrib tadi w******p-nya sudah tidak aktif.
Aku memutuskan untuk berbaring di sebelah anak-anak, sebab sudah mengantuk juga lelah setelah seharian mengurus rumah serta kedua anak balita yang sedang aktif-aktifnya tanpa bantuan asisten rumah tangga. Mas Bima memang sejak dulu melarangku menggunakan jasa PRT di rumah ini. Pemborosan katanya.
Suara gemercik air di dalam kamar mandi membangunkan diriku dari lelapnya tidur. Sepertinya Mas Bima sudah pulang dan sedang membersihkan badan.
“Kamu pulang jam berapa semalam, Mas?” tegurku ketika melihat pintu toilet terbuka.
“Bukan urusan kamu. Tidur aja terus. Nggak usah ngurusin suami!” ketusnya sambil melemparkan handuk ke sembarang tempat.
“Aku ngantuk dan capek nungguin kamu semalam. Makanya aku tidur duluan. Memangnya semalam kamu pulang jam berapa?”
“Jam setengah sepuluh. Tapi kamu sudah tidur!”
“Bohong. Aku nungguin kamu sampai hampir jam dua belas, Mas. Makanya aku milih tidur duluan. Kalau nggak percaya, lihat saja chat terakhir yang aku kirim dan juga riwayat panggilan masuk di ponsel kamu. Walaupun semalam WA kamu nggak aktif, tapi tetep ada riwayat panggilan masuknya ‘kan?”
Lelaki bertubuh tegap itu tidak lagi menjawab. Ia memilih keluar dari kamar, lalu berbaring di sofa ruang tamu. Kebiasaan kalau salah nggak mau minta maaf, tapi malah menyalahkan orang lain. Entah kapan sikap buruknya itu akan berubah.
Selepas shalat subuh, seperti biasanya aku sudah berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk seluruh anggota keluarga. Mumpung dua jagoan masih tertidur. Mas Bima juga akan mengomel panjang lebar jika hendak berangkat ke kantor tapi sarapan belum tersedia di atas meja.
Terkadang aku juga merasa keberadaanku di sini sudah persis seperti pembantu, bukan seorang istri.
“Mas, masa Mbak Velly sekarang berani banget buka-buka hape aku tanpa izin,” adu Imelda ketika kami sedang sarapan pagi berama.
Mas Bima menatapku dengan pindaian tidak suka mendengar penuturan adikku.
“Memang kakak kamu itu tidak punya etika!” ucapnya kemudian, bagai sebuah belati yang menancap tepat di relung hati.
“Itu karena aku tanpa sengaja melihat chat mesum yang seseorang kirimkan. Aku juga melihat bercak darah di seprai Imel, juga menemukan lingerie serta dalaman laki-laki di keranjang baju kotornya. Bahkan aku mencurigai kalau antara kamu dan Imel diam-diam menjalin hubungan di belakangku. Kemarin kamu yang kirim pesan itu ke Imel kan, Mas?” Menatap tajam mata elang pria yang sudah menemani hidupku selama hampir tujuh tahun itu.
“Kamu itu ngomong apa sih? Kalau salah itu minta maaf. Bukannya malah melemparkan kesalahan ke orang lain dan menuduh yang bukan-bukan?”
“Aku menuduh bukan tanpa alasan. Aku kenal suara kamu, karena saat aku menghubungi nomor yang mengirim pesan, kamu yang mengangkat panggilan tersebut dan berpikir kalau yang menghubungi kamu itu gundik tidak tahu diri ini. Makanya kamu langsung mengucapkan kata-kata kotor juga menjijikkan!” Menunjuk wajah Imelda lalu menatap tajam wajah lelaki yang duduk tepat di hadapanku itu.
Mas Bima hanya diam membisu dengan wajah pucat serta bibir terkatup rapat, tidak mampu lagi mendebat ucapanku.
“Velly, tolong jangan cari masalah. Ini masih pagi!” katanya kemudian, sambil meraup sesendok nasi lalu memasukkannya ke dalam mulut.Sementara Imelda, aku lihat perempuan berkulit bersih itu terus memandangi suami, merasa menang karena Mas Bima telah membelanya.“Aku akan terus menyelidikinya, Mas. Tidak akan kubiarkan ada ulat bulu mengganggu rumah tangga kita!”Bruk!Aku terkesiap ketika tiba-tiba Mas Bima menggebrak meja. Dia lalu beranjak dari tempat duduknya, masuk ke dalam kamar kemudian kembali dengan membawa ponsel dan menyuruh Imelda menghubungi nomor laki-laki itu.Tersambung, akan tetapi memang ponsel Mas Bima tidak berdering sama sekali. Tapi meskipun begitu, entah mengapa aku belum merasa puas dengan jawaban mereka, apalagi semalam adik serta suamiku sama-sama telat pulang ke rumah.“Puas kamu sekarang? Makanya jangan kebanyakan baca novel sama nonton sinetron yang isinya tentang perselingkuhan setiap hari. Jadi istri itu yang berguna sedikit. Coba kamu contoh Imel. Dia
“Apa-apaan, ini, Imel? Tolong jangan peluk-peluk!” Mas Bima mendorong tubuh Imelda menjauh, membuat perempuan berambut sebahu itu langsung melebarkan mata seperti tidak percaya. Pun dengan diriku saat melihat adegan itu. Apakah sekarang ini Mas Bima sedang bersandiwara seolah-olah tidak mau disentuh oleh adikku, ataukah memang di antara mereka tidak ada hubungan spesial seperti yang selama ini aku tuduhkan? Sepertinya aku tidak boleh langsung percaya begitu saja dengan apa yang dilihat saat ini. Tidak boleh gegabah juga mudah tertipu. Biasanya para pengkhianat itu licik dan penuh tak-tik. “Ini, kenapa koper Imel ada di luar semua, Vel?” Kini mata elang laki-laki yang menyandang gelar suami itu terpantik ke wajahku. “Aku ingin dia keluar dari sini, Mas. Pokoknya, mulai hari ini aku tidak lagi mengizinkan dia tinggal seatap dengan kita. Sudah cukup kasih sayang serta perhatian yang aku berikan selama ini. Dia sudah besar, mempunyai gaji lumayan juga. Jadi, sekarang saatnya dia hidup
Memang aku akui belum sempat membersihkan diri sejak pagi. Bukan karena malas dan tidak mau terlihat cantik di depan suami. Tetapi anakku tidak mau turun dari gendongan. Pundak saja rasanya sudah mau lepas saking pegalnya.“Danis rewel seharian, Mas!”“Anak terus dijadikan alasan. Coba kamu lihat istrinya Pak Ramon. Anaknya empat dan masih kecil-kecil. Tapi dia tetap kelihatan masih kaya ABG. Nggak kaya kamu. Umur masih tiga puluh tiga tahun, sudah seperti nenek-nenek!”“Wajar dia cantik kaya ABG. Dia itu selalu perawatan. Pembantunya aja ada lima di rumah. Dia nggak pernah pegang kerjaan sama sekali. Kerjaannya Cuma nyalon. Beda sama aku yang udah kaya b4bu di rumah ini!”Lelaki berkemeja slim fit itu tidak menjawab. Dia segera mengayunkan kaki lebar-lebar masuk ke dalam, dan kembali berteriak ketika melihat rumah yang masih berantakan. Apalagi saat dia hendak makan malam dan belum ada makanan tersedia di atas meja makan.“Kamu itu kerjanya Cuma ngapain, sih, Velly? Pasti seharian in
Aku menghela napas dalam-dalam ketika melihat seisi rumah yang terlihat begitu berantakan. Mainan berserakan dimana-mana, pun dengan bantal sofa yang teronggok sembarangan di sudut-sudut ruangan.“Mama...,” teriak Dariel ketika melihat kedatanganku.Aku melekuk senyum, merentangkan tangan menyambut pelukan jagoan kecil itu.Sementara Mas Bima, wajah suamiku itu terlihat begitu kacau. Dia berkacak pinggang, menarik kasar lenganku lalu menyeretku masuk ke dalam kamar.“Kamu benar-benar keterlaluan, Velly. Istri durhaka. Kamu itu tugasnya ngurus anak dan rumah. Bukan ngelayap seperti ini. Dasar bebal!” omelnya sambil menunjuk wajahku dengan mimik geram.“Lepas! Nggak usah kasar sama perempuan. Jangan sampai anak-anak aku mengikuti tabiat buruk ayahnya. Kasar, temperamental, egois, juga nggak punya hati!” Menepis kasar cengkeraman lelaki berstatus suami itu.“Aku kasar seperti ini karena kamu, Velly. Kamu itu susah diatur. Tidak bisa dikasih tahu. Ngelawan terus sama suami!”“Kamu itu seb
"Vel, kamu lagi ngapain sih? Dipanggil-panggil dari tadi nggak nyaut?" Leticia berjalan menghampiri diriku yang masih berdiri memaku menatap ponsel rahasia Mas Bima."Velly!" Dia menepuk pundakku."Coba kamu lihat, Ci." Menyodorkan benda pipih persegi berukuran tujuh inci itu kepada Leticia."Astaga. Bener-bener si ulet bulu itu. Padahal tadinya aku berharap kalau dugaan kita salah. Ternyata, kamu sudah memelihara macan di rumah ini. Diberikan limpahan kasih sayang, giliran sudah besar dan tumbuh taring malah menerkam. Awas saja dia. Aku nggak bakalan diam saja melihat sahabat aku diperlakukan seperti ini. Aku akan memastikan kalau perempuan gatel itu akan hancur!" sembur wanita bergaun soft pink dengan emosi berapi-api.Aku segera men-screeshot pesan yang dikirim adikku ke ponsel Mas Bima, juga mengirimkan foto-foto tidak berbusananya untuk berjaga-jaga jika dia bertindak semakin keterlaluan. Aku tidak akan segan-segan menyebarluaskan foto tersebut ke sosial media."Sudah, nggak usah
“Menjijikkan. Jadi selama ini kamu memang benar-benar ada main dengan ulet bulu itu, bahkan sudah melakukan zina di rumah ini. Berapa kali kamu melakukannya dengan dia Mas? Sekali, dua kali, atau, bahkan sudah tidak terhitung lagi?!”Wajah lawan bicaraku yang tadinya memerah karena sudah dikuasai amarah mendadak pucat saat aku menunjukkan bukti perselingkuhan mereka. Kali ini dia tidak akan bisa mengelak lagi karena buktinya sudah jelas.“Kenapa diam? Kenapa kamu tega melakukan itu sama aku, Mas? Apa kurangnya aku selama ini? Aku selalu berusaha menjadi istri yang baik. Apa pun kemauan kamu selalu dituruti. Tapi seperti ini balasan kamu?!” Susah payah merangkai kata agar air mata tidak menetes di depan lelaki pengkhianat itu. Air mataku terlalu berharga untuk menangisi dia.“Aku khilaf, Vel. Maaf!”“Mudah banget kamu bilang maaf. Apa kamu tidak pernah memikirkan perasaan aku? Apa kamu tidak takut kena karma, Mas? Kamu punya adik perempuan. Bagaimana perasaan kamu nanti jika adik kamu
“Dariel, Danis, ayo bangun jagoannya Mama. Sudah siang. Mama mau berangkat kerja dulu.” Membangunkan kedua malaikat kecil yang masih terlelap di atas peraduan.“Dariel nggak mau Mama kerja. Dariel maunya Mama di rumah nemenin Dariel main,” rengek bocah berusia empat setengah tahun itu manja, membuat hati ini mencelos hingga ke dasar. Sedih karena harus selalu berjauhan dengan anak-anak.“Sayang, Mama harus bekerja. Cari uang buat Abang Dariel sama dedek Danis.” Menggendong tubuh gembul anakku, membawanya ke kamar mandi lalu mengguyur tubuhnya perlahan menggunakan air hangat.“Mama, Mama, masa Tante Imel waktu masih tinggal di sini suka manja kaya dedek Danis. Minta dipangku sama Papa. Abang sama dedek aja kalau minta dipangku sama Papa malah dicubit.”“Kapan, Sayang?”“Setiap kali Mama belanja di pasar dan Papa libur kerja.”Aku menggelengkan kepala mendengar penuturan anakku. Ternyata selama ini Mas Bima suka bermesraan di depan anak-anak jika aku tidak ada di rumah. Sungguh keterlal
“Ayo, Vel. Jangan ladeni mereka. Kasihan anak-anak kalau harus liat ibu dan tantenya berkelahi,” ajak Pak Bahrudin seraya menarik tanganku menjauh dari dua insan menjijikkan itu.Aku terus mengikuti langkah pria berusia empat puluh delapan tahun itu, dan sesekali menoleh ke arah Mas Bima yang masih berdiri mematung sambil menatap kami. Bisa kulihat juga Imelda tengah marah-marah tetapi karena apa aku kurang tahu.Biarlah. Sudah bukan urusanku lagi sekarang. Terserah, mulai detik ini aku tidak akan pernah lagi peduli. Anggap saja mereka itu orang asing dalam hidupku.“Pak, maaf ya, atas ucapan saya tadi. Saya hanya kesal saja sama suami dan adik saya yang sudah mengkhianati saya, jadi berkata seperti itu di depan mereka. Sekali lagi saya minta maaf!” ucapku ketika kami sudah berada di stand gamis karena merasa tidak enak hati kepada Pak Bahrudin. Takut dia berpikir yang tidak-tidak tentang diriku karena ucapanku tadi.“Ucapan yang mana, Vel?” Dia malah balik bertanya.“Soal Bapak punya