Share

Part 2

“Mas Bima?” lirihku sambil menahan air mata yang sudah menggelayut di pelupuk, dan tanpa sengaja menjatuhkan ponsel milik adikku.

Apa diam-diam Imelda menusukku dari belakang, bermain api dengan Mas Bima, bahkan sampai melakukan hal sejauh itu?

“Mbak Velly buka-buka ponsel aku?” Aku terkesiap ketika tiba-tiba perempuan dengan blazer merah muda itu sudah berdiri di hadapanku dengan wajah murka.

“Kenapa sih, sekarang Mbak lancang banget? Kemarin kamar aku digeledah. Sekarang handphone aku dibuka-buka!” rutuknya lagi.

“Tadi ada pesan masuk dan bahasa tidak sopan. Makanya Mbak buka ponsel kamu, karena kebetulan layarnya belum terkunci.” Menatap netra dengan iris cokelat perempuan yang sudah aku biayai sekolahnya hingga perguruan tinggi itu.

“Aku ini udah gede, Mbak. Jangan dicurigai terus seperti anak kecil!”

“Tapi kamu masih tanggung jawabnya Mbak.”

“Lama-lama aku nggak betah tinggal di rumah ini!”

“Siapa laki-laki itu, Imel? Kamu tidak mengkhianati Mbak ‘kan? Apa dia Mas Bima?”

“Mbak itu ngomong apa sih? Udah lancang buka-buka ponsel orang, sekarang malah nuduh aku sembarangan!”.

“Mbak nggak nuduh. Cuma nanya. Kenapa kamu harus nge-gas jawabnya? Mbak tidak akan bertanya seperti itu kalau Mbak nggak denger sendiri suara laki-laki yang berkirim pesan sama kamu tadi. Itu suara Mas Bima!”

“Sudahlah. Aku sudah kesiangan. Mau kerja!” Dia memungut ponselnya yang tergeletak di lantai, menyambar tas kerja yang tergeletak di atas kursi lalu segera pergi tanpa memberikan penjelasan. Aku harus menyelidiki itu. Tidak mau sampai kecolongan, apalagi kalau sampai apa yang aku pikirkan memang benar adanya.

Astaghfirullahaladzim...

Memijat pelipis, mencoba mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan, melonggarkan dada yang terasa seperti sedang terhimpit batu besar.

Lindungilah rumah tangga hamba, Tuhan. Aku tidak mau apa yang dialami almarhumah Mama terjadi kepadaku juga. Dikhianati oleh Papa hingga akhirnya lahirlah Imelda dari rahim pelakor yang sudah memporak-porandakan rumah tangga kedua orang tuaku.

Ya, Imelda adalah adik tiriku. Lebih tepatnya adik seayah namun tidak senasab, karena dia lahir tanpa ada ikatan pernikahan di antara kedua orang tuanya. Ayah bermain gila di belakang Mama, menghamili salah seorang teman kerjanya lalu setelah bayi itu lahir perempuan itu tidak mau merawatnya, hingga akhirnya mau tidak mau ayah membawa Imelda yang masih berusia tiga hari pulang ke rumah.

Awalnya aku dan Mama tidak menerima kehadiran anak tersebut. Tapi setelah dipikir-pikir, dia itu tidak tahu apa-apa, dan mungkin jika boleh memilih, tidak akan mau terlahir dengan cara yang salah seperti itu. Aku sangat menyayangi Imelda tanpa melihat latar belakangnya, sebab tidak adil rasanya jika ia harus ikut menanggung beban dosa yang dilakukan oleh Ayah serta Tante Airin.

Suara tangis Danis membuatku tersadar dari lamunan. Gegas menghampiri jagoanku yang masih berumur satu tahun setengah, menggendongnya keluar lalu memandikannya menggunakan air hangat.

Malam kian beranjak larut. Rintik hujan terus saja turun membasahi bumi, membuat rasa gelisah dalam hati kian bertambah.

Pasalnya, baik Mas Bima maupun Imelda belum ada yang pulang ke rumah, sementara jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sebelas malam. Membuat diri ini bertambah mencurigai, kalau memang mereka diam-diam memiliki hubungan spesial di belakangku.

Mengambil gawai yang tergeletak di atas nakas, mencoba menghubungi keduanya akan tetapi tidak ada satu pun yang aktif. Perasaan ini semakin gelisah dibuatnya, apalagi tadi pagi bisa kudengar dengan jelas bahwa suara lelaki yang mengirimkan chat mes*m kepada Imelda adalah suara Mas Bima.

[Mas, kamu di mana? Pulang jam berapa? Aku khawatir banget sama kamu.] Mengirimkan pesan kepada suami, akan tetapi sejak magrib tadi w******p-nya sudah tidak aktif.

Aku memutuskan untuk berbaring di sebelah anak-anak, sebab sudah mengantuk juga lelah setelah seharian mengurus rumah serta kedua anak balita yang sedang aktif-aktifnya tanpa bantuan asisten rumah tangga. Mas Bima memang sejak dulu melarangku menggunakan jasa PRT di rumah ini. Pemborosan katanya.

Suara gemercik air di dalam kamar mandi membangunkan diriku dari lelapnya tidur. Sepertinya Mas Bima sudah pulang dan sedang membersihkan badan.

“Kamu pulang jam berapa semalam, Mas?” tegurku ketika melihat pintu toilet terbuka.

“Bukan urusan kamu. Tidur aja terus. Nggak usah ngurusin suami!” ketusnya sambil melemparkan handuk ke sembarang tempat.

“Aku ngantuk dan capek nungguin kamu semalam. Makanya aku tidur duluan. Memangnya semalam kamu pulang jam berapa?”

“Jam setengah sepuluh. Tapi kamu sudah tidur!”

“Bohong. Aku nungguin kamu sampai hampir jam dua belas, Mas. Makanya aku milih tidur duluan. Kalau nggak percaya, lihat saja chat terakhir yang aku kirim dan juga riwayat panggilan masuk di ponsel kamu. Walaupun semalam WA kamu nggak aktif, tapi tetep ada riwayat panggilan masuknya ‘kan?”

Lelaki bertubuh tegap itu tidak lagi menjawab. Ia memilih keluar dari kamar, lalu berbaring di sofa ruang tamu. Kebiasaan kalau salah nggak mau minta maaf, tapi malah menyalahkan orang lain. Entah kapan sikap buruknya itu akan berubah.

Selepas shalat subuh, seperti biasanya aku sudah berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk seluruh anggota keluarga. Mumpung dua jagoan masih tertidur. Mas Bima juga akan mengomel panjang lebar jika hendak berangkat ke kantor tapi sarapan belum tersedia di atas meja.

Terkadang aku juga merasa keberadaanku di sini sudah persis seperti pembantu, bukan seorang istri.

“Mas, masa Mbak Velly sekarang berani banget buka-buka hape aku tanpa izin,” adu Imelda ketika kami sedang sarapan pagi berama.

Mas Bima menatapku dengan pindaian tidak suka mendengar penuturan adikku.

“Memang kakak kamu itu tidak punya etika!” ucapnya kemudian, bagai sebuah belati yang menancap tepat di relung hati.

“Itu karena aku tanpa sengaja melihat chat mesum yang seseorang kirimkan. Aku juga melihat bercak darah di seprai Imel, juga menemukan lingerie serta dalaman laki-laki di keranjang baju kotornya. Bahkan aku mencurigai kalau antara kamu dan Imel diam-diam menjalin hubungan di belakangku. Kemarin kamu yang kirim pesan itu ke Imel kan, Mas?” Menatap tajam mata elang pria yang sudah menemani hidupku selama hampir tujuh tahun itu.

“Kamu itu ngomong apa sih? Kalau salah itu minta maaf. Bukannya malah melemparkan kesalahan ke orang lain dan menuduh yang bukan-bukan?”

“Aku menuduh bukan tanpa alasan. Aku kenal suara kamu, karena saat aku menghubungi nomor yang mengirim pesan, kamu yang mengangkat panggilan tersebut dan berpikir kalau yang menghubungi kamu itu gundik tidak tahu diri ini. Makanya kamu langsung mengucapkan kata-kata kotor juga menjijikkan!” Menunjuk wajah Imelda lalu menatap tajam wajah lelaki yang duduk tepat di hadapanku itu.

Mas Bima hanya diam membisu dengan wajah pucat serta bibir terkatup rapat, tidak mampu lagi mendebat ucapanku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Wagirin
Anak perempuan hasil perzinahan, boleh di nikahi Ayah biologisnya, tdk mendapat warisan, Ayah biologisnya tdk boleh jadi wali nikahnya, jika mempunyai kakak lelaki, abang nya tdk bisa menjadi wali nikahnya juga.. itulah bahayanya Zina..Ba' udzu billahi min zdaliq".
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status