"Vel, kamu lagi ngapain sih? Dipanggil-panggil dari tadi nggak nyaut?" Leticia berjalan menghampiri diriku yang masih berdiri memaku menatap ponsel rahasia Mas Bima."Velly!" Dia menepuk pundakku."Coba kamu lihat, Ci." Menyodorkan benda pipih persegi berukuran tujuh inci itu kepada Leticia."Astaga. Bener-bener si ulet bulu itu. Padahal tadinya aku berharap kalau dugaan kita salah. Ternyata, kamu sudah memelihara macan di rumah ini. Diberikan limpahan kasih sayang, giliran sudah besar dan tumbuh taring malah menerkam. Awas saja dia. Aku nggak bakalan diam saja melihat sahabat aku diperlakukan seperti ini. Aku akan memastikan kalau perempuan gatel itu akan hancur!" sembur wanita bergaun soft pink dengan emosi berapi-api.Aku segera men-screeshot pesan yang dikirim adikku ke ponsel Mas Bima, juga mengirimkan foto-foto tidak berbusananya untuk berjaga-jaga jika dia bertindak semakin keterlaluan. Aku tidak akan segan-segan menyebarluaskan foto tersebut ke sosial media."Sudah, nggak usah
“Menjijikkan. Jadi selama ini kamu memang benar-benar ada main dengan ulet bulu itu, bahkan sudah melakukan zina di rumah ini. Berapa kali kamu melakukannya dengan dia Mas? Sekali, dua kali, atau, bahkan sudah tidak terhitung lagi?!”Wajah lawan bicaraku yang tadinya memerah karena sudah dikuasai amarah mendadak pucat saat aku menunjukkan bukti perselingkuhan mereka. Kali ini dia tidak akan bisa mengelak lagi karena buktinya sudah jelas.“Kenapa diam? Kenapa kamu tega melakukan itu sama aku, Mas? Apa kurangnya aku selama ini? Aku selalu berusaha menjadi istri yang baik. Apa pun kemauan kamu selalu dituruti. Tapi seperti ini balasan kamu?!” Susah payah merangkai kata agar air mata tidak menetes di depan lelaki pengkhianat itu. Air mataku terlalu berharga untuk menangisi dia.“Aku khilaf, Vel. Maaf!”“Mudah banget kamu bilang maaf. Apa kamu tidak pernah memikirkan perasaan aku? Apa kamu tidak takut kena karma, Mas? Kamu punya adik perempuan. Bagaimana perasaan kamu nanti jika adik kamu
“Dariel, Danis, ayo bangun jagoannya Mama. Sudah siang. Mama mau berangkat kerja dulu.” Membangunkan kedua malaikat kecil yang masih terlelap di atas peraduan.“Dariel nggak mau Mama kerja. Dariel maunya Mama di rumah nemenin Dariel main,” rengek bocah berusia empat setengah tahun itu manja, membuat hati ini mencelos hingga ke dasar. Sedih karena harus selalu berjauhan dengan anak-anak.“Sayang, Mama harus bekerja. Cari uang buat Abang Dariel sama dedek Danis.” Menggendong tubuh gembul anakku, membawanya ke kamar mandi lalu mengguyur tubuhnya perlahan menggunakan air hangat.“Mama, Mama, masa Tante Imel waktu masih tinggal di sini suka manja kaya dedek Danis. Minta dipangku sama Papa. Abang sama dedek aja kalau minta dipangku sama Papa malah dicubit.”“Kapan, Sayang?”“Setiap kali Mama belanja di pasar dan Papa libur kerja.”Aku menggelengkan kepala mendengar penuturan anakku. Ternyata selama ini Mas Bima suka bermesraan di depan anak-anak jika aku tidak ada di rumah. Sungguh keterlal
“Ayo, Vel. Jangan ladeni mereka. Kasihan anak-anak kalau harus liat ibu dan tantenya berkelahi,” ajak Pak Bahrudin seraya menarik tanganku menjauh dari dua insan menjijikkan itu.Aku terus mengikuti langkah pria berusia empat puluh delapan tahun itu, dan sesekali menoleh ke arah Mas Bima yang masih berdiri mematung sambil menatap kami. Bisa kulihat juga Imelda tengah marah-marah tetapi karena apa aku kurang tahu.Biarlah. Sudah bukan urusanku lagi sekarang. Terserah, mulai detik ini aku tidak akan pernah lagi peduli. Anggap saja mereka itu orang asing dalam hidupku.“Pak, maaf ya, atas ucapan saya tadi. Saya hanya kesal saja sama suami dan adik saya yang sudah mengkhianati saya, jadi berkata seperti itu di depan mereka. Sekali lagi saya minta maaf!” ucapku ketika kami sudah berada di stand gamis karena merasa tidak enak hati kepada Pak Bahrudin. Takut dia berpikir yang tidak-tidak tentang diriku karena ucapanku tadi.“Ucapan yang mana, Vel?” Dia malah balik bertanya.“Soal Bapak punya
“Lancang kamu mengatai suami kamu lalat dan mengusir aku dari rumah ini?!” Dia kembali mengangkat tangannya hendak menampar, akan tetapi dengan sigap kutangkis tangan tersebut lalu memelintirnya dengan sekuat tenaga.“Jangan terus sakiti hati dan fisik aku, karena Velly sekarang bukan seperti Velly yang dulu. Mataku sudah terbuka dan tidak akan lagi bucin juga nurut sama kamu. Aku juga sudah tidak lagi takut sama kamu, Mas!” Menendang senjata pamungkasnya lalu segera masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam.***Suara alarm di ponsel terus menjerit-jerit, membangunkan diriku dari istirahat malam. Gegas membuka mata, mengerjap-ngerjap sambil mencoba mengumpulkan informasi yang aku bawa dari alam mimpi.Tidak lupa juga membaca doa setelah tidur dan segera turun dari tempat peraduan untuk memulai aktivitas seperti biasa.Kebetulan hari ini sedang kedatangan tamu bulanan, sehingga aku bisa langsung berjibaku di dapur walaupun jarum pendek jam masih menunjuk ke angka 04:30 pagi.Sep
“Ada apa, Vel?” tanya Pak Bahrudin saat melihatku sedang duduk terpekur sambil memijat pelipis.“Mas Bima datang ke rumah. Aku takut dia membawa anak-anak pergi. Apa saya boleh izin libur hari ini, Pak? Kalau tidak begini saja, saya bawa berkas-berkas yang harus saya selesaikan dan akan saya kerjakan di rumah. Saya mohon pengertian Bapak, sebab saya begitu mengkhawatirkan anak-anak.” Aku berujar sambil menahan air mata yang sudah menggelayut di pelupuk. Semoga saja pak bos mengizinkan.Pak Bahrudin menghela napas dalam-dalam, menatapku sekilas lalu berlalu begitu saja dari hadapanku tanpa berkata sepatah kata pun.Ya Allah, Pak. Aku pikir Bapak seorang pria berhati malaikat. Ternyata sama saja dengan Mas Bima. Tidak ada pengertiannya sama sekali.“Ayo kita jalan sekarang. Jangan buang-buang waktu. Nanti keburu suami kamu pergi membawa anak-anak!”Aku mendongak menatap pria yang berdiri mengenakan jaket di hadapanku, menerbitkan senyuman sambil menitikkan air mata bahagia.Ah, ternyata
Makanya jangan macam-macam sama aku, Mas. Karena aku juga bisa melakukan hal yang lebih kejam dari yang kamu bayangkan.“Sekarang sebaiknya diapakan laki-laki ini, Mbak?” Pria berkaus merah bata bertanya kepadaku sambil menarik kerah baju suami.“Bawa dia ke kantor polisi. Saya akan menuntut dia karena kasus pencurian juga perzinaan!” lugasku membuat mata Mas Bima membola tidak percaya. Dia berusaha melepaskan diri, akan tetapi dengan sigap para warga memasukkan dia ke dalam mobil.Imelda sudah ada di kantor polisi ketika aku dan Pak Bahrudin sampai. Perempuan yang sudah dibesarkan oleh aku serta Mama dengan penuh kasih sayang itu langsung menghampiri, hendak menyerangku tapi, dengan cekatan kutangkis tangannya, memelintirnya sekuat tenaga sampai dia meringis kesakitan.“Sakit, Velly. Kamu sudah tidak waras ya?” sungutnya muntap.“Itu tidak sebanding dengan apa yang sudah kamu lakukan, Imel!” Melepaskan tangannya dengan kasar hingga ia terhuyung dan hampir terjatuh.“Sejak awal Mas Bi
“Kamu hamil anak Mas Bima, Imel?”“Iya, Mbak. Makanya aku mohon banget, tolong cabut tuntutan Mbak. Aku nggak mau Mas Bima dipenjara. Kasihan calon anakku, Mbak. Dia butuh sosok ayahnya.”Aku beringsut mundur beberapa langkah, membanting bokong di sofa lalu menatap tajam wajah Imelda yang sudah basah oleh air mata.“Anak kamu butuh sosok seorang ayah? Terus, bagaimana dengan anak-anakku, Imel. Mereka juga butuh ayahnya, tapi dengan tega dan tanpa perasaan kamu merebut Mas Bima dari mereka. Sudahlah. Kamu nikmati saja hidup kamu sekarang. Sepertinya lebih baik kita sama-sama tidak memiliki Mas Bima!” sengitku kemudian.“Anak aku sama anak Mbak itu beda. Mas Bima itu tidak sayang sama Danis dan Dariel. Sedangkan sama anak ini, dia pasti akan sangat menyayanginya karena kami membuatnya dengan penuh cinta!” sanggahnya begitu menusuk.“Bukan dengan cinta. Tapi nafsu. Kasihan juga nanti anak kamu karena tidak bisa dinasabkan dengan Mas Bima, sebab terlahir tanpa ikatan pernikahan. Lagian ka