“Ayo, Vel. Jangan ladeni mereka. Kasihan anak-anak kalau harus liat ibu dan tantenya berkelahi,” ajak Pak Bahrudin seraya menarik tanganku menjauh dari dua insan menjijikkan itu.Aku terus mengikuti langkah pria berusia empat puluh delapan tahun itu, dan sesekali menoleh ke arah Mas Bima yang masih berdiri mematung sambil menatap kami. Bisa kulihat juga Imelda tengah marah-marah tetapi karena apa aku kurang tahu.Biarlah. Sudah bukan urusanku lagi sekarang. Terserah, mulai detik ini aku tidak akan pernah lagi peduli. Anggap saja mereka itu orang asing dalam hidupku.“Pak, maaf ya, atas ucapan saya tadi. Saya hanya kesal saja sama suami dan adik saya yang sudah mengkhianati saya, jadi berkata seperti itu di depan mereka. Sekali lagi saya minta maaf!” ucapku ketika kami sudah berada di stand gamis karena merasa tidak enak hati kepada Pak Bahrudin. Takut dia berpikir yang tidak-tidak tentang diriku karena ucapanku tadi.“Ucapan yang mana, Vel?” Dia malah balik bertanya.“Soal Bapak punya
“Lancang kamu mengatai suami kamu lalat dan mengusir aku dari rumah ini?!” Dia kembali mengangkat tangannya hendak menampar, akan tetapi dengan sigap kutangkis tangan tersebut lalu memelintirnya dengan sekuat tenaga.“Jangan terus sakiti hati dan fisik aku, karena Velly sekarang bukan seperti Velly yang dulu. Mataku sudah terbuka dan tidak akan lagi bucin juga nurut sama kamu. Aku juga sudah tidak lagi takut sama kamu, Mas!” Menendang senjata pamungkasnya lalu segera masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam.***Suara alarm di ponsel terus menjerit-jerit, membangunkan diriku dari istirahat malam. Gegas membuka mata, mengerjap-ngerjap sambil mencoba mengumpulkan informasi yang aku bawa dari alam mimpi.Tidak lupa juga membaca doa setelah tidur dan segera turun dari tempat peraduan untuk memulai aktivitas seperti biasa.Kebetulan hari ini sedang kedatangan tamu bulanan, sehingga aku bisa langsung berjibaku di dapur walaupun jarum pendek jam masih menunjuk ke angka 04:30 pagi.Sep
“Ada apa, Vel?” tanya Pak Bahrudin saat melihatku sedang duduk terpekur sambil memijat pelipis.“Mas Bima datang ke rumah. Aku takut dia membawa anak-anak pergi. Apa saya boleh izin libur hari ini, Pak? Kalau tidak begini saja, saya bawa berkas-berkas yang harus saya selesaikan dan akan saya kerjakan di rumah. Saya mohon pengertian Bapak, sebab saya begitu mengkhawatirkan anak-anak.” Aku berujar sambil menahan air mata yang sudah menggelayut di pelupuk. Semoga saja pak bos mengizinkan.Pak Bahrudin menghela napas dalam-dalam, menatapku sekilas lalu berlalu begitu saja dari hadapanku tanpa berkata sepatah kata pun.Ya Allah, Pak. Aku pikir Bapak seorang pria berhati malaikat. Ternyata sama saja dengan Mas Bima. Tidak ada pengertiannya sama sekali.“Ayo kita jalan sekarang. Jangan buang-buang waktu. Nanti keburu suami kamu pergi membawa anak-anak!”Aku mendongak menatap pria yang berdiri mengenakan jaket di hadapanku, menerbitkan senyuman sambil menitikkan air mata bahagia.Ah, ternyata
Makanya jangan macam-macam sama aku, Mas. Karena aku juga bisa melakukan hal yang lebih kejam dari yang kamu bayangkan.“Sekarang sebaiknya diapakan laki-laki ini, Mbak?” Pria berkaus merah bata bertanya kepadaku sambil menarik kerah baju suami.“Bawa dia ke kantor polisi. Saya akan menuntut dia karena kasus pencurian juga perzinaan!” lugasku membuat mata Mas Bima membola tidak percaya. Dia berusaha melepaskan diri, akan tetapi dengan sigap para warga memasukkan dia ke dalam mobil.Imelda sudah ada di kantor polisi ketika aku dan Pak Bahrudin sampai. Perempuan yang sudah dibesarkan oleh aku serta Mama dengan penuh kasih sayang itu langsung menghampiri, hendak menyerangku tapi, dengan cekatan kutangkis tangannya, memelintirnya sekuat tenaga sampai dia meringis kesakitan.“Sakit, Velly. Kamu sudah tidak waras ya?” sungutnya muntap.“Itu tidak sebanding dengan apa yang sudah kamu lakukan, Imel!” Melepaskan tangannya dengan kasar hingga ia terhuyung dan hampir terjatuh.“Sejak awal Mas Bi
“Kamu hamil anak Mas Bima, Imel?”“Iya, Mbak. Makanya aku mohon banget, tolong cabut tuntutan Mbak. Aku nggak mau Mas Bima dipenjara. Kasihan calon anakku, Mbak. Dia butuh sosok ayahnya.”Aku beringsut mundur beberapa langkah, membanting bokong di sofa lalu menatap tajam wajah Imelda yang sudah basah oleh air mata.“Anak kamu butuh sosok seorang ayah? Terus, bagaimana dengan anak-anakku, Imel. Mereka juga butuh ayahnya, tapi dengan tega dan tanpa perasaan kamu merebut Mas Bima dari mereka. Sudahlah. Kamu nikmati saja hidup kamu sekarang. Sepertinya lebih baik kita sama-sama tidak memiliki Mas Bima!” sengitku kemudian.“Anak aku sama anak Mbak itu beda. Mas Bima itu tidak sayang sama Danis dan Dariel. Sedangkan sama anak ini, dia pasti akan sangat menyayanginya karena kami membuatnya dengan penuh cinta!” sanggahnya begitu menusuk.“Bukan dengan cinta. Tapi nafsu. Kasihan juga nanti anak kamu karena tidak bisa dinasabkan dengan Mas Bima, sebab terlahir tanpa ikatan pernikahan. Lagian ka
Jangan-jangan dikira aku ada hubungan spesial dengan Pak Bahrudin dan dia berniat menggoda laki-laki itu. Semoga saja bosku itu tidak tergoda. Kasihan jika sampai terjerat cinta palsu Imelda. Meletakkan gawai di atas nakas, membersihkan wajah lalu mengusapkan krim malam agar mukaku terlihat glowing. Mumpung anak-anak sedang bermain dengan Mbak Narti bisa sedikit memanjakan diri. Dulu ketika masih ada Mas Bima di rumah ini, dia itu selalu mengomel jika aku berlama-lama di depan cermin. “Kamu mau seharian di depan kaca juga tetep aja jelek, Velly. Nggak usah sok-sokkan merawat diri deh. Percuma!” omelnya selalu. Dia memang terkadang aneh. Menuntut aku untuk terlihat cantik, tetapi tidak memberi waktu untuk perawatan. Apalagi jika dimintai uang untuk membeli skincare. Ah, sudahlah Velly. Lupakan yang sudah berlalu. Lebih baik sekarang memikirkan masa depan kamu dan anak-anak. Setelah selesai memanjakan diri. Kini saatnya kembali bermain bersama kedua buah hati. “Lagi pada ngapain?
Hingga tanpa terasa jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam. Pria bertubuh tambun tersebut segera pamit undur diri kepada sang tuan rumah.“Besok saya ke sini lagi jam sembilan pagi. Anak-anak harus sudah siap ya? Biar mainnya agak lama di rumah!” pesan Bahrudin seraya masuk ke dalam mobil.Velly menjawab dengan anggukan kepala lalu melambaikan tangan saat mobil sang bos mulai bergerak meninggalkan pekarangan rumah. Ia kemudian lekas masuk ke dalam. Menyuruh anak-anak segera tidur karena sudah terlalu malam.Suara cericip burung di pagi hari menjadi alarm yang membangunkan perempuan berusia tiga puluh tiga tahun itu.Bergegas dia menyibak selimut, membuka tirai serta jendela membiarkan segarnya udara pagi masuk ke dalam bilik.Dariel serta Danis sudah duduk di tengah-tengah ranjang, begitu semangat ingin bermain ke rumah Bahrudin.“Mama, Papa sudah datang?” tanya Dariel sambil mengucek mata.“Papa?” Velly menatap si sulung dengan mimik bingung. Sebab selama hidupnya, Da
“Oh, ya?”“Kenapa? Cemburu? Sakit hati karena semua laki-laki yang mendekati kamu ternyata lebih tertarik sama aku, Velly. Wajar dong. Aku ini cantik. Humble. Nggak kaya kamu. Sudah jelek, culun lagi!”Velly mendongak menatap sengit wajah adik tirinya.“Kenapa? Marah? Lihat. Ini perbuatan Mas Rudi semalam. Tua-tua ternyata dia hot juga loh, Vell. Aku aja ampe kewalahan meladeninya.”“Kamu lagi ngehalu, Imel? Kamu tahu, semalam Pak Bahrudin di rumah aku sampai malam. Bahkan ketika kamu menggoda dia lewat video call, beliau lagi sama aku. Ternyata kamu semurahan itu, ya Mel. Mengobral tubuh secara gratis kepada setiap lelaki. Menjijikkan.”Imelda mengepalkan tangan di samping tubuh. Merasa malu sendiri karena berniat memanasi hati Velly tapi malah hatinya sendiri yang hangus terbakar.***POV ImeldaAku segera keluar dari ruangan Velly sambil menahan kesal karena berusaha mempermalukan dia malah ternyata aku yang dipermalukan.Keterlaluan si tua bangka itu. Sok alim banget. Susah digoda