Selama berjalan di lobi, laki-laki dengan perut buncit itu terus saja memeluk pinggangku, seolah takut aku akan pergi meninggalkan dia.
Tidak akan, Pak. Sebab aku butuh uang Bapak.Masuk ke dalam kamar yang sudah dipesan, menutup pintu lalu berbincang-bincang sebentar sebelum akhirnya si hidung belang memulai aksinya.Uang lima juta pun masuk ke dalam rekening, ditambah tips dua ratus ribu karena katanya dia puas dengan pelayanan dariku.“Mel, ada temen saya mau pakai jasa kamu kira-kira kamu bersedia tidak?” tanya Pak Petra seraya mengenakan pakaiannya.“Asal bayarannya cocok saya mau dong, Pak. Lumayan buat makan sama jajan saya karena sekarang sudah tidak lagi bekerja,” jawabku.“Yasudah. Nanti saya kasih nomer kontak kamu ke dia.”“Siap, Pak? Kapan dia mau ketemu?”“Kalau sekarang bisa? Apa kamu sudah capek?”Aku menimbang-nimbang sebentar sebelum akhirnya menyetujuinya. Sudah teDengan perasaan dongkol kembali memanggil tukang ojek yang kebetulan mangkal tidak jauh dari pos satpam. Kali ini tujuanku adalah kafe Mandala, ingin melabrak Velly di tempat itu supaya dia semakin malu nanti. Biar orang-orang juga tahu siapa sebenarnya perempuan itu. Cafe dalam keadaan sangat ramai ketika aku sampai. Semakin banyak pengunjung semakin seru, supaya lebih banyak yang menyaksikan pembalasanku terhadap si Velly. Sudah tidak sabar rasanya untuk mempermalukan dia di depan umum.Byur!Perempuan berkemeja merah muda itu terkesiap dan langsung beranjak dari duduknya ketika secara tiba-tiba kusiramkan segelas jus ke wajah sok cantiknya. Dia terlihat syok. Pun dengan si tua bangka."Apa-apaan ini, Imel? Apa yang kamu lakukan?" tanyanya dengan wajah sudah memerah menahan malu. Itu belum seberapa, Velly. Kita belum ke intinya."Kembalikan uang yang kamu ambil, breng-sek. Jangan pernah menguasai harta orang lain, apalagi sam
“Kamu ngapain liatin dia begitu, Mas?” tanyaku sambil menarik tangan suami.“Dia cantik.” Kata itu meluncur begitu enteng dari mulut laki-laki di sebelahku.“Apa kamu bilang?!” Memukul pundak Mas Bima menggunakan tas.“E—enggak, Mel. Maksud Mas kamu lebih cantik daripada Velly!” ralatnya kemudian. Awas saja kalau berani macam-macam.POV Bima.Aku menatap kagum perempuan berambut panjang menjuntai di hadapanku. Dia sekarang terlihat begitu menawan, lebih cantik daripada Imelda.Tetapi, kenapa baru sekarang aku menyadarinya? Mengapa setelah berpisah dia baru berubah?Dulu, ketika masih hidup bersama diriku, Velly selalu terlihat kusam juga bau bawang, tidak memedulikan penampilan. Sekarang dia malah berubah persis seperti bidadari.Beginikah rasanya menyesal paska kehilangan?Lagian perempuan itu. Saat bersuami bukannya rajin-rajin dandan dan perawatan, malah begitu cuek dengan pen
[Sayang. Mas boleh minta uang lima ratus ribu nggak? Ini temen ada yang nelepon katanya anaknya sakit. Dulu Mas punya hutang sama dia dan sekarang ditagih.] Send, Imelda.Terlihat dia sudah membaca pesan dariku dan sedang menulis pesan balasan. Semoga saja dia percaya. Kan selama ini juga Imelda memang mudah sekali dibohongi. Selalu mempercayai ucapan yang keluar dari mulut ini, padahal semua yang terucap hanya dusta semata.Lama-lama enak juga punya istri seperti dia. Bucin, mudah percaya karena saking cintanya.[Aku ada, sih, Mas. Kebetulan teman tadi langsung ngasih DP ke aku sebelum kerja. Tadinya mau aku pakai buat beli baju karena kebanyakan baju aku sudah kekecilan, tapi kalau Mas butuh gak apa-apa dipakai dulu. Kan Mas Bima itu prioritas aku.]Tuh, kan. Apa aku bilang. Imelda itu mudah percaya kepadaku, bahkan ketika pergi pulang pagi setelah bermalam di rumah Arzeti teman kuliahku dan aku beralaskan mencari kerja dia percaya begit
POV Author.Panggilan telepon tiba-tiba terputus. Bima mengepalkan tangan di samping tubuh, merasakan hawa panas di dada membayangkan kalau saat ini istrinya tengah bermadu kasih dengan laki-laki lain."Benar 'kan apa yang saya katakan, Mas?" Bahrudin bertanya seraya menghampiri Bima yang masih berdiri mematung tidak jauh darinya.Yang ditanya hanya menoleh sekilas lalu segera meninggalkan rumah Velly. Kakinya terayun cepat masuk ke dalam mobil, menyusuri jalanan kota sambil terus mencoba menghubungi nomor Imelda yang mendadak dinonaktifkan."Awas saja, Imel. Aku tidak akan memaafkan kamu kalau sampai membagi raga kepada orang lain. Meski aku bukan laki-laki setia, tetapi aku tidak terima jika dikhianati seperti ini!" gumam sang pemilik rahang tegas seraya mencengkram kemudi dengan erat.Mendadak Bima berpikir, mengapa Imelda terus memiliki uang walaupun dia tidak bekerja. Bahkan berapa pun jumlah yang Bima minta perempuan itu selalu menurutinya.Apa jangan-jangan uang yang diberikan
Sambil berdecak kesal sang pemilik kulit bersih mengambil gawai di dalam tas, berniat menghubungi sang suami serta menanyakan keberadaannya, namun, baru mengusap layar ponsel dia sudah mendengkus membaca pesan di jendela notifikasi.[Sayang. Mas pergi cari kerjaan lagi. Tadi sengaja nggak bangunin kamu karena kamu terlihat pulas sekali seperti bayi sedang tidur. Mas ambil uang di dompet kamu satu juta ya? I love you honey.] Isi pesan dari Bima."Kapan aku yang dikasih uang sama kamu, Mas? Perasaan kok malah aku yang jadi tulang punggung di sini!" gerundelnya sambil melempar dompet yang sudah tidak berpenghuni. Padahal uang satu juta itu mau dia pakai untuk membeli baju baru, tetapi malah sudah diambil duluan oleh suaminya."Ah, sudah lah. Di ATM kan masih ada. Aku bisa gunakan uang itu untuk bersenang-senang. Kalau habis, ya tinggal nyari lagi. Yang penting Mas Bima senang dan tidak berpikir untuk meninggalkan aku!" Dia bermonolog untuk menghibur dir
“Terserah kamu mau percaya sama aku apa enggak, Mas. Sekarang sebaiknya kamu datang ke kantor polisi saja dan bantu istri siri kamu keluar dari sana!” “Kita jalan sama-sa..” Belum selesai Bima bicara, Velly sudah memutuskan panggilan telepon secara sepihak. Bima mendengkus kesal. Ia lalu lekas mematikan laptop, beranjak dari tempat duduknya berniat pergi ke kantor polisi. “Loh, kamu mau ke mana, Sayang?” tanya Arzeti saat melihat lelaki yang sejak dulu dia kagumi berjalan tergesa-gesa keluar. Bima memang bekerja di perusahaan milik paman perempuan itu, dengan perjanjian akan menjadi kekasih Arzeti jika diterima di perusahaan ternama tersebut. “Ada urusan sebentar. Aku pamit pulang dulu, ya. Malam ini aku nggak ke rumah karena ada urusan mendesak!” Dia menyambar bibir kekasih gelapnya lalu segera mengayunkan kaki menuju parkiran. Sepanjang jalan Bima terus saja memikirkan ucapan Velly. Dia sebenarnya sedikit percaya kepada sang mantan istri, sebab ia juga mencurigai kalau Imelda m
"Apa yang sedang kalian lakukan?" teriak Imelda seraya menghampiri dua sejoli yang sedang bermadu kasih itu, menarik rambut Arzeti hingga di sela-sela jarinya dipenuhi oleh rambut yang terbawa. Dada Imelda naik turun menahan amarah, sedang kedua mata berhias bulu palsu itu mulai memanas seiring rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Plak! Belum puas menjambak rambut perebut suaminya, tangan halus perempuan itu mendarat dengan kasar di pipi Arzeti, membuat wanita yang sudah berpenampilan acak-acakan itu meringis sembari mengusap pipinya yang memerah serta terasa nyeri. Plak! Kini giliran tangan Arzeti yang mendarat di wajah lawannya. Dia hendak membalas menjambak Imelda, akan tetapi dengan sigap Bima menarik tubuh ramping wanita yang baru saja dia ajak menyelam ke samudera dosa itu. "Sudah, jangan pada ribut. Malu kalau nanti ada yang dengar dan melihat kita dalam keadaan seperti ini?" cegah Bima sambil terus menghalangi Arzeti yang sudah terlihat begitu emosi dan hendak menyerang
"Entah di mana aku akan menyembunyikan rasa malu ini kepada Velly. Dulu dengan sombongnya aku membanggakan Mas Bima yang lebih memilih diriku dibandingkan dengan dirinya. Sekarang, hidup Velly perlahan mulai bangkit juga bahagia, sedangkan aku malah terombang-ambing di tengah lautan luka," ucap Imelda sambil mengusap air mata menggunakan punggung tangan. Tidak lama kemudian sebuah mobil berwarna hitam memasuki parkiran kantor. Bahrudin serta Velly keluar dari dalam mobil tersebut sambil bercengkrama juga bercanda ria, membuat Imelda merasa iri melihat Velly selalu berada di tengah-tengah orang yang tulus menyayangi. Dengan langkah ragu perempuan berbaju biru itu menghampiri sang kakak, menghambur ke dalam pelukannya meluapkan lara yang sedang menghimpit dada. "Kamu kenapa, Imel. Kenapa datang-datang langsung nangis? Ada apa?" tanya Velly dengan nada khawatir. Biarpun Imelda telah mencacah-cacah hatinya, sebagai seorang kakak yang sudah mengasuh perempuan itu dari kecil tetap saja m