Sambil berdecak kesal sang pemilik kulit bersih mengambil gawai di dalam tas, berniat menghubungi sang suami serta menanyakan keberadaannya, namun, baru mengusap layar ponsel dia sudah mendengkus membaca pesan di jendela notifikasi.
[Sayang. Mas pergi cari kerjaan lagi. Tadi sengaja nggak bangunin kamu karena kamu terlihat pulas sekali seperti bayi sedang tidur. Mas ambil uang di dompet kamu satu juta ya? I love you honey.] Isi pesan dari Bima."Kapan aku yang dikasih uang sama kamu, Mas? Perasaan kok malah aku yang jadi tulang punggung di sini!" gerundelnya sambil melempar dompet yang sudah tidak berpenghuni. Padahal uang satu juta itu mau dia pakai untuk membeli baju baru, tetapi malah sudah diambil duluan oleh suaminya."Ah, sudah lah. Di ATM kan masih ada. Aku bisa gunakan uang itu untuk bersenang-senang. Kalau habis, ya tinggal nyari lagi. Yang penting Mas Bima senang dan tidak berpikir untuk meninggalkan aku!" Dia bermonolog untuk menghibur dir“Terserah kamu mau percaya sama aku apa enggak, Mas. Sekarang sebaiknya kamu datang ke kantor polisi saja dan bantu istri siri kamu keluar dari sana!” “Kita jalan sama-sa..” Belum selesai Bima bicara, Velly sudah memutuskan panggilan telepon secara sepihak. Bima mendengkus kesal. Ia lalu lekas mematikan laptop, beranjak dari tempat duduknya berniat pergi ke kantor polisi. “Loh, kamu mau ke mana, Sayang?” tanya Arzeti saat melihat lelaki yang sejak dulu dia kagumi berjalan tergesa-gesa keluar. Bima memang bekerja di perusahaan milik paman perempuan itu, dengan perjanjian akan menjadi kekasih Arzeti jika diterima di perusahaan ternama tersebut. “Ada urusan sebentar. Aku pamit pulang dulu, ya. Malam ini aku nggak ke rumah karena ada urusan mendesak!” Dia menyambar bibir kekasih gelapnya lalu segera mengayunkan kaki menuju parkiran. Sepanjang jalan Bima terus saja memikirkan ucapan Velly. Dia sebenarnya sedikit percaya kepada sang mantan istri, sebab ia juga mencurigai kalau Imelda m
"Apa yang sedang kalian lakukan?" teriak Imelda seraya menghampiri dua sejoli yang sedang bermadu kasih itu, menarik rambut Arzeti hingga di sela-sela jarinya dipenuhi oleh rambut yang terbawa. Dada Imelda naik turun menahan amarah, sedang kedua mata berhias bulu palsu itu mulai memanas seiring rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Plak! Belum puas menjambak rambut perebut suaminya, tangan halus perempuan itu mendarat dengan kasar di pipi Arzeti, membuat wanita yang sudah berpenampilan acak-acakan itu meringis sembari mengusap pipinya yang memerah serta terasa nyeri. Plak! Kini giliran tangan Arzeti yang mendarat di wajah lawannya. Dia hendak membalas menjambak Imelda, akan tetapi dengan sigap Bima menarik tubuh ramping wanita yang baru saja dia ajak menyelam ke samudera dosa itu. "Sudah, jangan pada ribut. Malu kalau nanti ada yang dengar dan melihat kita dalam keadaan seperti ini?" cegah Bima sambil terus menghalangi Arzeti yang sudah terlihat begitu emosi dan hendak menyerang
"Entah di mana aku akan menyembunyikan rasa malu ini kepada Velly. Dulu dengan sombongnya aku membanggakan Mas Bima yang lebih memilih diriku dibandingkan dengan dirinya. Sekarang, hidup Velly perlahan mulai bangkit juga bahagia, sedangkan aku malah terombang-ambing di tengah lautan luka," ucap Imelda sambil mengusap air mata menggunakan punggung tangan. Tidak lama kemudian sebuah mobil berwarna hitam memasuki parkiran kantor. Bahrudin serta Velly keluar dari dalam mobil tersebut sambil bercengkrama juga bercanda ria, membuat Imelda merasa iri melihat Velly selalu berada di tengah-tengah orang yang tulus menyayangi. Dengan langkah ragu perempuan berbaju biru itu menghampiri sang kakak, menghambur ke dalam pelukannya meluapkan lara yang sedang menghimpit dada. "Kamu kenapa, Imel. Kenapa datang-datang langsung nangis? Ada apa?" tanya Velly dengan nada khawatir. Biarpun Imelda telah mencacah-cacah hatinya, sebagai seorang kakak yang sudah mengasuh perempuan itu dari kecil tetap saja m
"Sampai kapan pun kamu tetap keluarga aku, Mel. Tapi untuk tinggal satu atap lagi aku nggak bisa. Aku sudah merasa nyaman hidup bersama kedua jagoanku." "Vell, sudah waktunya kerja. Saya menggaji kamu itu bukan untuk mengobrol saja tapi untuk memajukan perusahaan ini," timpal Bahrudin yang sejak tadi diam menyimak pembicaraan kedua perempuan di hadapannya. Sang pemilik mata dengan iris coklat itu mengangguk lalu berpamitan kepada Imelda, berjalan bersisian dengan sang bos menuju ruang kerjanya. "Maaf kalau ucapan saya tadi terlalu kasar, Vel. Saya cuma tidak mau kamu berlama-lama dengan perempuan itu dan akhirnya hati kamu luluh oleh bujuk rayunya." Bahrudin berujar setelah mereka berada di dalam ruangan. Bibir Velly melekuk senyum bak lengkungan bulan sabit yang berpendar di langit, membuat hati Bahrudin selalu bergetar jika melihatnya. Pria itu kemudian menundukkan wajah, menghindari tatapan Velly yang bagai magnet yang menarik hatinya
"Maaf, Mas. Saya belum punya uang." "Kalau tidak punya uang jangan bertingkah. Sudah miskin harta, miskin adab pula. Datang ke rumah orang langsung teriak-teriak dan melempari batu." "Sekali lagi saya minta maaf. Saya melakukan itu karena kesal sama penghuni rumah yang lama." "Kenapa merasa kesal? Bukannya kamu yang sudah merebut suami pemilik rumah itu? Harusnya dia yang kesal sama kamu." Imelda menunduk malu mendengar ucapan Roger. "Sudah. Sekarang kamu bayar ganti ruginya. Total tujuh juta. Kalau tidak kamu saya laporkan ke kantor polisi!" ancam pria itu kemudian. "Tapi saya nggak punya uang, Mas. Bagaimana kalau Mas bawa saja saya ke rumah, menemani Mas, dan kita anggap urusan kita selesai. Impas." Pria berambut panjang itu tertawa mendengar penawaran Imelda. "Saya sudah punya kekasih dan tidak berminat sama barang bekas!" ujarnya kemudian begitu menusuk hati lawan bicaranya. "Sini, bayar uang ganti ruginya. Saya nggak mau tahu!"
"Ampun, Bu. Sakit. Jangan perlakukan saya seperti ini. Saya ini manusia bukan binatang!" pekik Imelda sembari mencoba melepaskan diri dari jambakkan perempuan yang ternyata istrinya Petra itu. Kepalanya terasa kebas saking kerasnya si perempuan menjambak, bahkan di sela-sela jari wanita itu banyak sekali rambut yang terbawa."Kamu memang bukan binatang. Tapi kelakuan kamu sudah persis seperti binatang liar!" sungut istri Petra sambil terus membawa perempuan itu keluar dari hotel, mendudukkannya di parkiran kemudian dengan emosi yang sudah meninggi dan tidak bisa terkendali dia mencukur rambut gundik suaminya hingga menyisakan sedikit saja."Berani kamu mengganggu suami saya lagi, saya tidak akan segan-segan melakukan hal yang lebih kejam daripada ini!" ancam istri Petra kemudian.Wanita dengan jambul katulistiwa itu kemudian kembali masuk, kali ini menarik suaminya lalu memasukkannya ke dalam mobil sambil menampar wajah Petra berkali-kali.
Tanpa dikomando buliran-buliran air bening meluncur begitu saja dari balik kelopak, membasahi pipinya yang kian putih bersih, lalu segera dia hapus menggunakan punggung tangan.“Ya Allah, Sayang. Apa yang terjadi sama kamu? Kenapa kamu menjadi seperti ini?” tanya Velly seraya mengusap kepala adiknya dengan perasaan prihatin.“Pasien mencoba mengakhiri hidupnya dengan cara memotong urat nadi di pergelangan tangan. Beruntung nyawa beliau dan juga bayi dalam kandungannya masih bisa diselamatkan,” terang suster sembari memeriksa selang infus.“Terus, bagaimana keadaan adik saya sekarang, Sus?”“Alhamdulillah Bu Imelda sudah melewati masa kritisnya. Insyaallah beliau tidak apa-apa, Bu. Untuk lebih jelasnya biar nanti dokter yang menerangkannya kepada Ibu.”“Terima kasih, Suster.”“Sama-sama, Ibu. Yasudah. Kalau begitu saya permisi dulu mau memeriksa pasien yang lainnya.”“Baik, Sus.”Velly
“Memangnya kriteria calon suami yang kamu impikan itu seperti apa, Vel?” tanya Bahrudin kemudian.“Belum terpikirkan, Pak. Masih ingin fokus mengurus anak-anak. Belum berani juga, karena takut kembali dikecewakan juga dikhianati. Sakit tahu, Pak. Bikin trauma untuk menikah lagi!” Kini mata Velly sudah dipenuhi kabut, dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening meluncur begitu saja melewati pipinya.Bahrudin ingin sekali menghapus air mata itu, juga mengatakan kepada Velly kalau jika ia diberi kesempatan untuk menjadi pendamping hidupnya, akan ia jadikan Velly sebagai ratu di hatinya, juga permata paling berharga yang akan selalu dia jaga.Namun, lagi-lagi kata-kata itu hanya tertahan di bibir. Umurnya yang sudah kepala empat dan hampir mendekati kepala lima membuat pria itu tidak memiliki keberanian mengungkapkan perasaan.Takut ditolak, itu yang selalu dia khawatirkan.“Bapak sendiri, kapan Bapak akan mengakhiri masa duda Bapak? Memangnya nggak kepengen apa punya pendamping hi