Share

3. Adrian Sastrohardjo

Rebecca menggelengkan kepalanya beberapa kali, sedetik kemudian ia memejamkan matanya. Tidak berapa lama, ia kembali membuka matanya dan menatap lurus ke langit-langit kamar. Pikirannya menerawang dan kembali memutar kejadian beberapa jam lalu. Entah dunia yang terlalu sempit atau memang hidup Rebecca hanya bergerak di seputaran ini saja. Resah semakin menggelayuti hatinya tatkala bayangan Hamdan yang tersenyum seraya mengucapkan selamat terlintas di kepalanya.

Memutar posisi tidurnya berkali-kali namun Rebecca tak kunjung tertidur, resah terlanjur menggerus habis rasa kantuknya. Tanpa sadar tangan kirinya bergerak mengusap telapak tangan kanannya. Rebecca memejamkan matanya saat dengan anehnya ia masih merasakan bekas hangat disana. Bekas jemari Hamdan yang menjabat tangannya sewaktu mengucapkan selamat karena Rebecca berhasil menjadi sepuluh besar. Bahkan Rebecca berada diurutan lima terbaik.

"Ini gila, benar-benar gila," gumam Rebecca berkali-kali.

Tidak banyak interaksi yang terjadi diantara mereka, hanya sebatas jabatan tangan dan foto bersama. Tapi entah kenapa hal ini sangat membekas bagi Rebecca. Terutama saat mendengar suara Hamdan menyebutkan nama lengkapnya. Desiran aneh yang diiringi getaran di dada sempat membuat Rebecca mematung seakan nyawanya meninggalkan tubuhnya untuk beberapa saat.

Sewaktu panitia memperkenalkan Hamdan, Rebecca dibuat sangat terkejut karena ternyata Fazza Foundation yang menanungi kompetisi ini adalah milik Hamdan, dan Hamdan adalah orang yang berada dibalik ide—memberi makan dunia—tersebut. Lalu belum berhenti sampai disini saja. Sepuluh besar yang terpilih akan dikumpulkan menjadi satu tim yang dipimpin langsung oleh Hamdan untuk melaksanakan program amal mereka. Negara pertama yang mereka kunjungi adalah Uzbekistan yang konon adalah tempat pertama yang membuat Hamdan memunculkan ide ini.

Setelah beberapa kali pertemuan tak disengaja, mulai saat ini mereka akan berada di satu forum yang sama. Kalau begini apa yang harus Rebecca lakukan? semenjak bertemu di Home Bakery minggu lalu, Rebecca menandai Hamdan sebagai 'Lelaki Berbahaya' dan sejak saat itu Rebecca selalu berdoa agar tidak lagi bertemu dengan Hamdan. Tapi sepertinya nasib tidak berpihak pada Rebecca.

"Astaghfirullah," Rebecca menghela napas panjang. Lalu bangkit dari tidurnya dan menuju kamar mandi berniat mengambil air wudhu. Sepertinya lebih baik ia menghabiskan malam dengan mendekatkan diri pada Sang Pencipta daripada bertingkah layaknya remaja yang tengah galau dengan urusan mengenai lawan jenis.

Selesai sholat dan berdoa Rebecca merasakan sedikit ketenangan. Saat berniat untuk tidur, Rebecca melihat ponsel pintarnya yang berkedip meminta perhatian. Ada panggilan masuk, ketika Rebecca hendak mengangkatnya panggilan tersebut terputus. Rebecca memeriksa pemberitahuan, dan ia terkejut saat melihat 5 missed call, dan 7 pesan W******p, semuanya dari orang yang sama, yaitu Adrian.

Rebecca mengernyitkan keningnya, memikirkan alasan Adrian menghubunginya selarut ini. Tengah malam di Dubai berarti dini hari di Indonesia. Hampir saja ponsel yang berada di genggaman Rebecca terjatuh manakala Adrian kembali menghubunginya.

Berdehem sebentar, Rebecca menggeser tombol hijau lalu mendekatkan ponsel ke telinganya. "Ha—halo assalamualaikum," ujar Rebecca lirih.

"Waalaikumsalam, Becca belum tidur?" jawab Adrian lembut.

"Belum mas, baru saja sholat malam." Rebecca menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.

"Mas ga ganggu kan?" tanya Adrian.

"Engga mas. Emm, ada apa ya mas, kok selarut ini telepon?" Rebecca bertanya untuk mencari jawaban atas tingkah aneh Adrian yang biasanya sangat jarang menghubunginya. Hati kecil Rebecca berteriak semoga tujuan Adrian bukan karena disuruh mama memaksa Rebecca pulang ke Indonesia.

"Ehm begini dek, lusa mas mau ke Dubai. Ada event fotografi yang mas ikutin disana. Kalau ada waktu adek bisa ga nemenin mas?" terselip keraguan di akhir kalimat panjang yang diurai oleh Adrian.

"Insya Allah mas, nanti bisa disesuaikan sama jadwal Becca. Rencananya berapa hari mas?"

"Semingguan dek, tapi event-nya cuma 3 hari. Selebihnya mas pengen liburan disana dan... sekaligus ketemu sama kamu," jelas Adrian. Suara Adrian terdengar lembut dan terlampau tenang untuk sekedar menimbulkan badai di hati Rebecca.

"Hmm, begitu ya. Nanti mas Adri stay dimana?" tanya Rebecca yang sepertinya mulai kehilangan bahan pembicaraan.

"Di Marina hotel, tempatnya sekitaran Jumeirah dek. Harganya lumayan murah tapi pelayanan dan pemandangannya tidak mengecewakan," Adrian tertawa "nginep di hotel tempatmu kerja mas bisa bangkrut nanti, kalau semalam sih ga masalah lha ini seminggu." Adrian kembali tertawa, namun kali ini Rebecca juga ikut terkikik geli. Sesaat rasa canggung yang terbentuk mulai menghilang. Tapi itu tidak lah lama karena hening kembali meraja.

"Dek, kapan hari mama telepon. Mama bilang Becca belum bisa pulang. Bener dek?" Adrian kembali membuka suara. Adrian sudah terbiasa memanggil mama Rebecca dengan sebutan 'mama' juga.

Oh, akhirnya dimulai, pikir Rebecca. "Iya mas, sebenarnya kontrak kerja Becca berakhir dua tahun lagi," terang Rebecca. Ia tahu Adrian bukanlah tipe lelaki pengadu. Jadi Rebecca tidak khawatir jika Adrian mengadukannya ke mama.

"Kenapa bohong? Kalau mama tahu dia bisa marah dek," Adrian mengambil jeda dan terdengar helaan napas berat. "Rebecca, kalau alasan kamu bohong dan pergi ke Dubai karena mas Adri, sebaiknya kamu pulang dan jangan lari. Biar nanti mas yang jelasin ke mama soal kita." Tegas Adrian.

"Engga mas, Becca di Dubai karena Becca suka disini," kata Becca namun terdengar gamang.

"Maafkan mas Adri dek, tidurlah... adek pasti lelah. Wassalamualaikum," putus Adrian dan tanpa menunggu jawaban salam dari Rebecca ia sudah memutus sambungan secara sepihak.

Rebecca termangu memandangi ponselnya dalam diam. Percakapannya dengan Adrian barusan sangat mengganjal dan meninggalkan rasa bersalah di hatinya. Berulang kali ia mengulang perkataan Adrian 'sebaiknya pulang dan jangan lari'. Jangan lari... jangan lari... jangan lari....

Ya, aku memang lari. Lari darimu mas, batin Rebecca membenarkan.

*****

Dengan tergesa Rebecca melepaskan seragamnya dan mengganti dengan kemeja warna pastel yang langsung ia timpa dengan coat biru dongker. Dubai mulai memasuki musim dingin. Meski tidak ada salju tapi suhunya lumayan rendah. Terlebih lagi sekarang sudah hampir malam.

Setelah serah terima tugas dengan Nadira dan Mike, Rebecca segera menuju lift pegawai dan menuju pintu keluar. Rebecca terpaksa memanggil taksi karena ia terburu-buru harus segera menjemput Adrian yang seharusnya sudah sampai sejak setengah jam lalu. Entah hal gila apa yang membuat Rebecca setuju menjemput Adrian.

Dan disinilah dia sekarang, setengah berlari melewati kerumunan orang di pintu kedatangan bandara Internasional Dubai. Pandangan matanya nyalang mencari sosok Adrian dan ia tidak menemukan Adrian ada disana. Sejenak ia berpikir lalu ia memutuskan untuk mencari Adrian di cafe bandara.

"Becca," sebuah suara familiar mengurungkan niat Rebecca yang hendak melangkahkan kakinya ke arah cafe.

Sontak Rebecca membalik badannya. Di hadapannya hanya berjarak beberapa langkah tengah berdiri seorang lelaki yang melambaikan tangan dan tersenyum padanya. Adrian Sastrohardjo berdiri tegap dengan lugage di tangan kiri, ransel dipunggungnya dan kamera SLR tergantung di lehernya.

Tidak ada yang berubah dari sosok Adrian, dia masih tampak hangat seperti dulu. Rambut hitamnya tersisir rapi mengakibatkan tampilan Adrian terlihat klinis dan penuh percaya diri. Sepasang mata legam yang tidak terlalu lebar masih bersinar penuh canda, hanya saja Adrian sedikit terlihat lebih dewasa dan matang. Berbeda dengan Adrian setahun lalu yang masih terlihat menggebu.

"Mas Adri," sapa Rebecca pada akhirnya setelah beberapa saat ia kehilangan kata-kata. "Sudah menunggu lama?" tambah Rebecca.

"Tidak, baru saja selesai dengan tetek bengek administrasi migrasi." Adrian tersenyum, memamerkan deretan giginya yang putih.

Adrian berjalan mendekat ke Rebecca. "Setahun ga ketemu tambah cantik kamu dek," gurau Adrian sembari menyentuh puncak kepala Rebecca yang terbalut pashmina warna hitam.

"Mau langsung ke hotel mas?" tanya Rebecca.

"Ya, sepertinya aku butuh istirahat." Adrian segera berjalan mendahului Rebecca.

Tidak ada lagi percakapan di antara mereka hingga mereka sudah berada di dalam taksi. Merasa tak nyaman Rebecca mencoba membuka percakapan. "Kok bisa sih mas Adrian ikut event fotografi di Dubai?"

"Oh itu, sebenarnya sih mas lagi iseng. Ga sengaja lihat postingan di i*******m kalau Hamdan Pangeran Dubai ngadain lomba fotografi tingkat internasional. Terus mas ikutan dan ga nyangka ternyata bisa sampai penjurian akhir dan mas diundang ke Dubai untuk pengumuman juara secara langsung. Sekaligus lelang karya terbaik, yang sebagian penghasilan disumbangkan untuk amal," jelas Adrian panjang lebar tanpa menyadari jika ekspresi gadis di sampingnya berubah drastis.

"Oh, begitu," gumam Rebecca hampir tak terdengar.

Dalam hati Rebecca mengumpat, "Kenapa harus Hamdan lagi? Sial!"

Kenapa semua yang ada di sekitar Rebecca selalu berhubungan dengan Hamdan? Bahkan Adrian yang jauh-jauh dari Indonesia pun ke Dubai karena Hamdan. Benar-benar gila.

"Dek, nanti pas di flatmu mampir bentar ya. Musti bongkar koper, soalnya mas bawa gudeg titipan mama," kata Adrian sembari menatap Rebecca yang masih diam membeku.

*****

"Sheikh, kami sudah memilih lima puluh besar peserta yang menurut kami sangat menakjubkan," Ghanim Al Zaabel meletakkan daftar nama peserta yang dinyatakan lolos pada tahap seleksi awal. Disusul oleh Ghulam yang juga meletakkan hasil print out karya para peserta.

Dua bersaudara Zaabel tersebut terlihat sangat bersemangat. Menjadi bagian dari 'Hamdan Bin Mohammed Al Rasheed Photography Award' merupakan kehormatan tersendiri bagi mereka berdua. Terlebih lagi ini adalah pertama kalinya diadakan.

Hamdan menaikkan sebelah alisnya lalu membuka daftar nama peserta. "Tidak kusangka banyak sekali yang tertarik dengan event ini," Hamdan membuka suara, "Kapan pengumuman pemenang diadakan?" tambah Hamdan. Sebelah alisnya terangkat saat menatap Zaabel bersaudara.

"Tiga hari lagi Sheikh," jawab Ghanim.

"Tiga hari lagi dan kita belum menemukan pemenangnya. Dan sekarang aku bingung untuk menentukan mana yang terbaik," Hamdan mendesah "semuanya hampir setema, membuatku bosan," Hamdan membalik-balik print out foto.

"Mungkin mereka tahu jika anda menyukai hal-hal berbau alam, maka dari itu mereka mencoba mengambil hati anda melalui foto tersebut," analisa Ghanim.

Tangan Hamdan terhenti saat ia membalik halaman terakhir. Tatapan matanya berhenti pada obyek yang berada di foto tersebut. Seharusnya tidak ada yang menarik darisana. Tapi sosok yang menjadi obyek lah yang menarik perhatian Hamdan. Pandangan mata gadis yang menjadi obyek di foto tersebut menerawang dan penuh luka, terlebih setitik kristal bening menetes dari matanya.

Dihadirkan dalam versi desaturate, bagi Hamdan wajah putih dengan pashmina hitam itu meremas hatinya seakan sanggup menenggelamkan Hamdan ke dalam pusaran rasa putus asa dan kehilangan harapan. Air mata yang menetes di pipi pucat tersebut menimbulkan berbagai macam pertanyaan di kepalanya, kiranya apa yang membuat gadis tersebut begitu terluka.

Hamdan menghela napas berat. Jika dia memang terluka apa aku bisa menyembuhkannya? tanyanya dalam hati.

"Sheikh? Apa anda baik-baik saja?" tanya Ghanim saat ia melihat raut wajah Hamdan berubah keruh. Lalu Ghanim menggedikkan bahunya saat Hamdan tidak menanggapi pertanyaannya.

*****

"Hai!" Adrian melambaikan tangannya riang.

Rebecca tersenyum membalas lambaian tangan Adrian. Hari ini Rebecca libur dan Adrian memaksa Rebecca untuk menemaninya berkeliling Dubai sebelum ia menghadiri acara penghargaan fotografi besok. Dan sepagi ini Adrian sudah berdiri di depan flat Rebecca dengan tampang tanpa dosanya.

"Oke, hari ini kita akan ke Jumeirah beach, lalu Magical garden lalu ke gurun dan... ah iya, Burj Khalifa," dengan semangat Adrian menyebutkan berbagai destinasi wisata terkenal di Dubai.

"Hanya itu mas? Sayang sekali, padahal di Dubai banyak sekali tujuan wisata yang sangat menarik untuk dikunjungi."

"Untuk hari ini cukup itu saja. Sebenarnya mas pengen ke Fujairah, katanya disana pemandangan bawah airnya sangat menakjubkan," kata Adrian, tangannya terjulur ke depan dan meraih coat Rebecca dan menarik resletingnya sampai ke atas, "hawanya dingin, kalau bisa pakai yang lebih tebal dari ini jika tidak ingin sakit," tambah Adrian.

"Ayo berangkat." Adrian berjalan mendahului Rebecca.

Sedangkan Rebecca terdiam, sedetik kemudian ia menggelengkan kepalanya dan tersenyum miris. Ia lebih memilih mengikuti langkah kaki Adrian menuju halte bus metro yang akan membawa mereka ke magical garden.

Di dalam bus pun mereka tak banyak bicara. Setelah menghela napas pelan, Rebecca melihat Adrian yang duduk di sebelahnya. Lelaki itu tetap sama seperti dulu, dekat tapi susah dijangkau.

"Mbak Sherina apa kabar mas?" Rebecca tidak dapat menyembunyikan nada suaranya yang sumbang.

Adrian melihat Rebecca sekilas lalu kembali menatap lurus ke depan, "Alhamdulilah dia baik-baik saja. Insya Allah bulan depan dia pulang,"

"Pasti mau ngurusin rencana kalian yang tertunda ya?" mulut Rebecca semakin terasa kering.

"Becca, apa maksudmu?" Adrian memalingkan wajahnya ke arah Rebecca dan menatap ke dalam manik hazel tersebut. Mencoba mencari tahu apa yang dipikirkan oleh Rebecca.

"Oh! Mas Adri liat itu deh, itu namanya abra. Mirip sama kapal-kapal penumpang di sungai Barito yang ada di Kalimantan. Disini abra dijadiin transportasi penghubung Deira city sama Bur Dubai. Nanti nyoba naik itu kayaknya seru mas," Rebecca memutar matanya yang tiba-tiba memanas. Matanya menghindari Adrian yang menatapnya lekat.

Rebecca tahu jika Adrian sedang menuntut penjelasan atas apa yang baru ia katakan. Tapi tidak berapa lama kemudian, sepertinya Adrian memilih mengalah. Lelaki itu menghela napas pelan, ia tahu jika Rebecca mencoba menghindari pertanyaannya.

"Dek, kamu tahu ga foto apa yang mas ikutin lomba?" Adrian mencoba menghilangkan canggung yang tiba-tiba berkuasa.

"A—apa mas?"

"Ini," Adrian menyodorkan Canon 70D miliknya ke Rebecca.

Rebecca terdiam, "kok mas Adri bisa punya foto Becca yang kayak gini sih? Diikutin lomba pula, kan malu mas...," Rebecca menyerahkan kembali kamera Adrian lalu ia berpura-pura marah dan memalingkan wajahnya menatap jendela bus metro. Rebecca menggigit bibir bawahnya menyembunyikan wajah piasnya.

"Kamu inget ga dek pas kita ke alun-alun kidul? Waktu itu kan kita ngerayain perpisahan Sherina yang mau ke Jerman," Adrian mengambil jeda,"pas kita mau pulang eh tiba-tiba kamu ngilang. Mas cariin kamu malah ngelamun, mas deketin ga taunya kamu malah nangis... ya udah mas foto aja. Eh pas diedit ga taunya bagus banget...." Adrian tergelak saat Rebecca menatapnya dengan isyarat—ngomong macem-macem tak gemplang kowe—seketika itu juga Adrian terdiam.

Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Adrian kembali memasang wajah tanpa dosa miliknya, "emang waktu itu ngapain sih dek kok pake nangis segala?" tanya Adrian tiba-tiba.

"Ga kenapa-kenapa!" hardik Rebecca.

"Ih... adek manis ngambek," Adrian menggoda Rebecca.

Sama sekali tak berniat menanggapi gurauan Adrian, Rebecca justru tenggelam ke dalam ingatannya pada waktu itu. Ingatan yang membawanya kembali merasakan luka yang sampai sekarang masih berbekas.

*****

Dengan langkah ragu Rebecca memasuki hall luas yang terletak di lantai satu Hamdan bin Mohammed Smart University tempat diselenggarakannya Hamdan bin Mohammed Al Rashid Photography Award. Entah kegilaan apa yang dilakukan Rebecca pada masa lalu, karena sekarang kemana pun kakinya melangkah selalu ada kata 'Hamdan' disana.

Seperti sekarang ini contohnya, ia kembali tak dapat menolak permintaan Adrian yang menginginkan Rebecca sebagai partner nya di acara award ini. Dan disinilah ia sekarang berakhir. Duduk di sebuah meja bundar yang di tata menghadap panggung besar. Setengah bosan ia mendengarkan pembawa acara membacakan berbagai macam nominasi.

Hingga guncangan di lengan kanannya membuat Rebecca sadar. Mengerjap beberapa kali ia mencoba berkonsentrasi dan menangkap gerakan bibir Adrian.

"Dek, dek," Adrian kembali mengguncang pundak Rebecca. "Aku menang dek, juara tiga," ujar Adrian setengah teriak. Lalu Adrian berjalan ke tengah panggung.

Adrian sudah kembali duduk di samping Rebecca dengan sebuah piala ada di genggaman tangan Adrian. "Selamat ya mas," ucap Rebecca tulus. Rebecca menjabat tangan Adrian hangat.

"Dek, itu ya putera mahkotanya? Si Hamdan?" tanya Adrian sembari menunjuk lelaki yang memakai thawb dan tengah menyerahkan piala kepada juara pertama yang Rebecca dengar tadi berasal dari Inggris.

Rebecca mengangguk, dalam diam ia memerhatikan Hamdan yang seperti biasa selalu mengumbar senyum ramahnya. Sekarang Hamdan sudah tidak memakai kruk untuk menyanggah beban tubuhnya. Mungkin cedera kakinya sudah sembuh. Tanpa sadar Rebecca mengucap syukur.

"Kita pulangnya nunggu acara lelang dulu ya dek," saran Adrian. Dan Rebecca hanya mengangguk pasrah.

*****

Entah sudah fotografi ke-berapa yang terjual dan entah berapa jumlah uang yang terkumpul. Rebecca tak begitu memerhatikan.

"Baiklah, kini kita sampai di hasil fotografi para juara," suara pembawa acara memecah keramaian dan justru disambut dengan gemuruh tepuk tangan, "yang pertama adalah, karya fotografer asal Indonesia, Mr. Adrian Sastrohardjo dengan karyanya yang berjudul 'Tears Streaming Down' sederhana, penuh rahasia, dan menyampaikan sisi seorang wanita yang selalu bisa menampilkan sisi tegar serta rapuh secara bersamaan," sambung pembawa acara.

"Kami buka dengan penawaran awal sepuluh ribu dollar Amerika."

Rebecca menggelengkan kepalanya, ia tak sanggup membayangkan jika foto yang menampilkan dirinya yang sedang menangis itu menjadi milik seseorang. Sungguh memalukan, batinnya.

"Lima belas ribu!" seorang pria paruh baya dengan postur tubuh tambun mengangkat papan harga.

Rebecca bergidik ngeri sedangkan Adrian terkekeh tak jelas.

"Dua puluh lima ribu!"

"Lima puluh ribu!"

"Tujuh puluh lima ribu!"

"Wow, fantastis! Tujuh puluh lima ribu. Apa ada yang menawar lebih tinggi lagi?" tanya pembawa acara.

Tidak ada lagi yang sepertinya berniat mengangkat papan harganya demi kegilaan ini.

"Ini gila!" Rebecca berbisik marah di telinga Adrian. "Aku akan membunuhmu kalau sampai pria tambun mata keranjang itu benar-benar membeli foto itu!" ancam Rebecca yang justru hanya ditanggapi dengan kekehan ringan dari Adrian.

"Ini hanya foto Becca... cobalah untuk tidak terlalu serius."

"Satu,"

"Dua,"

"Oh Ya Tuhan...," Rebecca meremas jemarinya gugup lalu memejamkan matanya.

"Ti... oh tunggu sebentar," pembawa acara itu berhasil membuat Rebecca membuka kembali matanya yang tadi terpejam.

Seorang pria memakai thawb tengah berbincang dengan pembawa acara. Mereka berbisik-bisik seakan apa yang mereka bicarakan tidak boleh ada yang mendengar selain mereka.

"Maaf, penawaran harga barusan harus tertunda. Baru saja Mr. Ali Al Harbi memberitahukan jika ada seseorang yang menawar foto ini dengan harga yang fantastis, yaitu satu juta dollar," pembawa acara berambut rapi tersebut mengambil jeda, "apa ada yang mau menawar dengan harga yang lebih tinggi?" sambungnya.

"Satu juta, satu juta, satu juta...." bisik Rebecca tak percaya. Begitu juga dnegan Adrian, bahkan mulutnya terbuka sempurna.

"Satu... dua... tiga... baiklah, Tears Streaming Down terjual dengan harga satu juta dollar kepada Sheikh Hamdan bin Mohammed Al Rasheed," riuh rendah tepuk tangan menyambut perkataan pembawa acara.

"Dek, ternyata bukan pria tambun mata keranjang yang bisa menikmati fotomu. Tapi pria tampan putera mahkota Dubai," bisik Adrian di telinga Rebecca. membuat Rebecca membeku seketika.

To be continued....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status