Share

4. Tentang Rebecca dan Adrian

"Mas Adri mau teh atau kopi?" setengah berteriak Rebecca bertanya pada Adrian yang duduk di sofa.

"Teh dek," sahut Adrian singkat.

"Oke," jawab Rebecca tak kalah singkat.

Tidak ada lagi percakapan diantara mereka. Rebecca sibuk dengan cangkir dan air panas sedangkan Adrian lebih tertarik dengan tumpukan majalah kuliner di meja kopi yang berada di hadapannya.

Rebecca tak berniat membuka percakapan, karena jujur saja ia lebih nyaman seperti ini. Kehadiran Adrian beberapa hari ini begitu mengganggunya, menimbulkan badai di hati kecilnya. Sekuat apapun hatinya, ia tak akan dapat bertahan lama menanggung sakit hatinya.

Dalam diam Rebecca menuangkan air panas ke dalam cangkir keramik yang sudah diisinya dengan kantung teh celup berlabel Paul Arabia kesukaannya. Sesekali Rebecca melirik Adrian yang duduk membelakanginya.

Menghela napas pelan, Rebecca mengangkat cangkir tersebut dan melangkah ke tempat Adrian. Rebecca meletakkan satu cangkir di hadapan Adrian lalu tersenyum saat Adrian mengucapkan terima kasih.

Setelah menyesap tehnya, Adrian memerhatikan Rebecca yang duduk di sampingnya. Saat ini mereka duduk bersebelahan di atas sofa nyaman yang Rebecca fungsikan sebagai ruang tengah di flat kecilnya. Sepulang dari Hamdan bin Mohammed Smart University Adrian mampir ke flat Rebecca dan berakhir dengan secangkir teh hangat. "Ga nyangka ya dek, foto mas terjual dengan harga yang sangat tinggi," Adrian mencoba membuka suara.

"Ya, sangat gila kurasa, dan juga berlebihan," sahut Rebecca geli. Sedikit bergidik saat ia membayangkan fotonya sedang dipandangi oleh lelaki asing, dan  lelaki itu adalah Hamdan. "dan menakutkan," sambung Rebecca yang langsung disambut gelak tawa oleh Adrian.

"Tapi kayaknya sepadan deh, menurut mas fotonya bagus banget kok, kamunya cantik. Mungkin aja si Pangeran kesengsem sama kamu makanya dia rela keluar duit banyak," canda Adrian.

"Udah ah, mas Adri ngawur," hardik Rebecca.

"Lihat fotonya aja kesengsem, gimana kalau dia ketemu kamu secara langsung dek? Bisa-bisa kamu langsung dinikahin tuh," Adrian tertawa keras tanpa memedulikan ekspresi wajah Rebecca yang berubah.

"Mas Adrian."

Sebenarnya Adrian masih sangat bernapsu untuk tertawa, tapi saat mendengar Rebecca memanggil namanya dengan nada dingin dan serius, seketika itu juga Adrian terdiam membeku.

"Iya dek?" jawab Adrian hati-hati. Ia merubah duduknya agar menghadap Rebecca.

Terlihat Rebecca menarik napas dengan susah payah. Ia mengeratkan pegangan pada cangkir tehnya. Melihat Adrian yang menatapnya serius dan penuh tanya tiba-tiba membuat lidah Rebecca kelu dan susah bicara. Seperti ada batu yang menyumpal tenggorokannya.

"Becca... ada apa?" Adrian mendekat saat ia menyadari perubahan Rebecca.

"M—mas, B—becca ingin bicara ten—tang kita," jelas Rebecca dengan suara yang hampir tidak dapat didengar oleh Adrian kalau saja Adrian tidak memerhatikan gerakan bibir Rebecca.

"Masalah itu, mas ngerti kok dek. Nanti mas yang bilang ke mama kalau kamu nyelesaiin kontrak kerja disini dulu. Ditunda dua tahun lagi ga masalah kok," kata Adrian.

"Bukan mas, bukan itu maksud Becca." Rebecca menggeleng cepat.

"Lalu apa?" Adrian mengernyit bingung.

"Becca minta tolong sama mas Adri buat bilang ke mama kalau kita batalin saja perjodohan ini," kata Rebecca lirih.

"Kenapa dek?" Adrian terlihat shock.

"Karena mbak Sherina sudah pulang, jadi Becca rasa sudah saatnya kita batalkan perjodohan ini," sedikit lega saat ia berhasil mengutarakan maksudnya.

"Kamu ini kenapa sih dek? Kenapa bawa-bawa Sherina? Mas ga ngerti deh sama jalan pikiran kamu." Dua garis kerutan terlihat semakin dalam di kening Adrian.

"Mbak Sherina sudah pulang, berarti mas Adri bisa menjalankan rencana mas Adri dua tahun lalu. Itu juga alasan kenapa Becca tidak mengiyakan permintaan mama untuk segera bertunangan dengan mas Adri. Becca ga mau jadi orang yang ngebatalin rencana yang sudah mas Adri susun," Rebecca mulai berani menatap mata Adrian.

"Rencana? Rencana apa sih dek? Kamu kok jadi aneh." Adrian menyentuh lengan Rebecca.

"Rencana mas Adri yang tetep cinta sama mbak Sherina, mas Adri yang akan nunggu mbak Sherina, dan... mas Adri yang akan ngebatalin perjodohan kita untuk menikah dengan mbak Sherina saat dia pulang ke Indonesia." Rebecca menyelesaikan kalimat panjangnya dengan napas yang tersengal, wujud dari tekanan rasa kekecewaan yang menumpuk selama ini, "dan... sekarang mbak Sherina sudah pulang," lirih Rebecca.

Seketika itu juga Adrian merasakan mulutnya kering, berkali-kali mulutnya terbuka dan tertutup, tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar. Hujaman rasa bersalah menghancurkan hatinya. Bahunya melemas dan segera ia menghela udara sebanyak-banyaknya ke paru-paru, sekedar untuk membuatnya merasa lega.

Setelah mengumpulkan kekuatannya, Adrian menyentuh kedua bahu Rebecca, "Dek, mas Adri... bukan... mas—" Adrian pikir ia sudah dapat mengutarakan maksudnya, tapi ternyata ia tidak cukup kuat untuk melakukannya. Lidahnya kaku dan tenggorokannya tercekat.

"Becca sudah dengar semua mas, Becca dengar apa yang mas Adri dan mbak Sherina bicarakan malam itu, Becca dengar... semuanya...," setelah mengakhiri kalimatnya Rebecca memasang senyum—aku baik-baik saja—miliknya.

"Ya Allah, Becca...." Adrian kehilangan kata-kata. Kesadaran menghantamnya, ia sadar jika secara tidak langsung ia menyakiti hati Rebecca. Segera dirangkumnya jemari Rebecca ke dalam genggamanya. Berharap banyak ia dapat menyampaikan rasa bersalahnya melalui genggaman tersebut.

Masih dengan menggenggam erat jemari Rebecca, Adrian tersadar jika 'malam itu' yang dimaksud oleh Becca adalah saat mereka merayakan perpisahan Sherina di alun-alun kidul Yogyakarta. Jadi malam itu Rebecca menangis karena Rebecca mendengar percakapannya dengan Sherina.

Mata Adrian menerawang saat ingatan pada malam itu terefleksi di kepalanya.

"Sher, aku janji aku akan batalin perjodohanku dengan Becca jika kamu pulang. Untuk sementara ini biar seperti ini, ini lebih baik daripada aku terus dipaksa menikah dengan gadis-gadis pilihan ibu kalau aku menolak perjodohanku dengan Becca." Adrian menggenggam jemari Sherina meyakinkan.

"Tapi jika di antara kalian tumbuh cinta bagaimana? Aku ke Jerman tidak sebentar Dri," ujar Sherina.

"Aku janji aku ga akan jatuh cinta sama Becca. Seperti yang kamu tahu, Becca itu tidak lebih dari seorang adik perempuan bagiku, aku tidak melihatnya sebagai seorang wanita. Karena buatku hanya kamu Sher." Adrian tersenyum senang saat Sherina menghambur ke pelukannya.

Sebuah hentakan keras membawa Adrian kembali ke masa sekarang. Rebecca melepas paksa tangan Adrian. "Ini sudah malam mas, sebaiknya mas segera kembali ke hotel. Becca butuh tidur karena besok ada shift pagi," selesai mengucapkan kalimat yang berisi pengusiran halus tersebut, Rebecca bangkit dari duduknya menuju dapur. Dengan kasar ia membuang sisa teh di cangkirnya ke dalam bak cuci. Tanpa memedulikan Adrian ia mencuci cangkirnya.

Sementara itu Adrian menatap punggung Rebecca nanar. Beribu kata maaf dan penyesalan terkumpul di ujung mulutnya siap untuk dikeluarkan. Tapi seberapa keras Adrian mencoba, semuanya sia-sia karena Adrian kembali menelan perkataannya. Akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti permintaan Rebecca.

"Mas Adri balik ke hotel dulu dek," kata Adrian. Setelah tak juga ada jawaban, Adrian melangkahkan kakinya ke arah pintu.

__to be continued__

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status