Share

5. Masih Tentang Rebecca dan Adrian

Saat mendengar suara pintu di tutup, Rebecca jatuh terduduk dan luruh dalam tangis. Sedari tadi ia menahan isakannya, bahkan kakinya lemas tak dapat menahan beban tubuhnya. Dua tahun sudah Rebecca menahan perasaan ini. Berbagai macam cara sudah ia lakukan hingga setahun belakangan Dubai menjadi pilihannya untuk lari. Meski ia berasal dari kalangan berada, tapi Rebecca rela bekerja keras demi melupakan kejadian pahit tersebut. Dua tahun sudah ia menelan kekecewaannya pada Adrian. Rebecca tidak menyangka jika Adrian lelaki yang dicintainya hanyalah seorang lelaki pengecut yang tega memanfaatkannya.

Dan selesai sudah. Malam ini adalah malam terakhir ia menanggung semua rasa itu. Ikatan mereka sudah terputus. Tak perlu ada lagi sandiwara yang harus ia mainkan di hadapan ibu dan keluarganya. Tak apa jika hatinya sakit, tak apa jika ia merasa terluka, karena Rebecca yakin seiring berjalannya waktu semua rasa sakit ini akan sembuh. Begitu juga dengan cintanya, Rebecca yakin suatu saat cintanya akan bermuara pada orang yang tepat. Dan bukan Adrian....

*****

Rebecca mematikan ponselnya tepat saat panggilan Adrian berhenti dan hanya menjadi panggilan tak terjawab. Terakhir Rebecca membaca pesan Adrian yang ingin bertemu dengannya sebelum Adrian pulang ke Indonesia. Sudah dua hari ini ia mengabaikan Adrian. Bahkan hari ini sepulang kerja ia tidak pulang dulu ke flat untuk sekedar membersihkan diri. Rebecca lebih memilih menumpang mandi di mess dan langsung menuju ke Omnia Gourmet tempat pertemuan pertama tim Hamdan Food and Nutrition Organization diselenggarakan.

Sebenarnya undangannya jam delapan malam, tapi Rebecca sudah duduk manis di Omnia sejak jam enam sore. Bahkan Rebecca sudah menghabiskan segelas chia smoothies dan memesan sepiring pasta verde, tidak mungkin kan ia hanya menumpang duduk saja.

"Hei, bukankah kau juga sepuluh besar yang terpilih?" seorang wanita berambut pirang dengan potongan pendek seperti laki-laki menghampiri tempat duduk Rebecca.

Mulut Rebecca terbuka, "Ya Tuhan... Mrs. Rowe? Sylvenia Rowe?" Rebecca terkejut bukan main, seorang Sylvenia Rowe chef wanita terbaik di Dubai menghampiri dan menyapanya?

"Ya, Rowe... siapa lagi?" Sylvenia tersenyum dan menjabat tangan Rebecca.

"Rebecca Vanderzee," Rebecca memperkenalkan namanya.

"Katakan padaku, kenapa kau datang sesore ini? bukankah pertemuan akan dilaksanakan jam delapan nanti?" Sylvenia menaikkan alisnya menuntut jawaban.

"Aku tinggal sedikit jauh dari Burj al Arab, jadi kurasa jika langsung kesini akan sedikit efisien, dan juga... aku butuh suasana lain," jelas Rebecca yang disambung dengan tawa.

"Ah... baiklah. Nikmati makanannya, aku ada sedikit urusan di belakang dan akan bergabung lagi jam delapan nanti," Sylvenia mengerling lalu meninggalkan Rebecca.

Sylvenia Rowe merupakan chef asal London yang memelajari kuliner khas Emirati dan memutuskan membuat restoran berkualitas yang menyajikan hidangan emirati dengan sentuhan eropa. Kabar baiknya Sylvenia juga masuk ke dalam tim Hamdan Food and Nutrition Organization, bahkan Sylvenia menempati nomor satu di kompetisi kemarin. Sedikit rasa bangga membuat hati Rebecca berbunga, ia akan bekerja sama dengan orang-orang hebat kali ini.

Seorang pelayan menghampiri Rebecca dengan segelas blue lemonade, "salam dari Mrs. Rowe," ujar pelayan tersebut sesaat setelah meletakkan gelas di meja Rebecca. Rebecca berterima kasih lalu tersenyum.

Baru saja Rebecca menyuapkan pastanya, seseorang menarik kursi dan duduk di hadapannya. Hampir saja Rebecca tersedak saat melihat orang yang duduk di depannya. Hamdan duduk di hadapannya dengan seulas senyum ramah seperti biasanya. Hanya saja penampilannya sedikit berbeda dari yang biasa Rebecca lihat. T-shirt putih dengan jaket biru membuat hamdan terlihat jauh lebih santai.

"Yang Mulia," Rebecca berdiri lalu ia membungkuk memberi hormat.

"Rebecca, berhenti bersikap seperti itu, bersikap saja seperti bisa. Seperti dengan teman contohnya," Hamdan memasang wajah seriusnya.

"Ah, iya baiklah," Rebecca mengangguk menyetujui permintaan Hamdan. Meski sebenarnya ia merasa tidak nyaman.

"Apa Sylvenia menyediakan tempat pertemuannya disini?" tanya Hamdan.

"Saya rasa tidak, sebenarnya saya datang terlalu awal sehingga saya memutuskan untuk menikmati makan malam terlebih dahulu," jawab Rebecca.

"Oh ayolah, apa yang kukatakan padamu tentang bersikap seperti teman? Apa aku semenakutkan itu sehingga kau harus bersikap sopan seperti ini?" Hamdan memainkan serbet makan di hadapannya, tapi pandangan matanya fokus pada Rebecca.

"Maaf," lirih Rebecca.

Hamdan tertawa dan ia segera memanggil pelayan untuk memesan secangkir kopi. Setelah pelayan mencatat pesanannya dan berlalu, Hamdan kembali memerhatikan Rebecca. Matanya melembut saat manik coklat pekatnya bertemu dengan milik Rebecca.

"Rebecca, apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?" ucap Rebecca. Sudah dua hari ini ia tidak tenang karena menyimpan sebuah pertanyaan yang mengganggunya.

"Aku melihat fotomu di fotografi award yang aku selenggarakan, apa aku boleh tahu, apa hubunganmu dengan fotografer bernama Adrian itu?"

Rebecca mengangkat kepalanya menatap Hamdan. Matanya mengerjap tak percaya. Dan tanpa sadar Rebecca sudah menjawab pertanyaan Hamdan begitu saja, "dia temanku... dari Indonesia." Rebecca mengernyit saat ia dapat melihat kilat tak percaya dari mata Hamdan.

Hamdan mengangguk mahfum, "aku membeli foto tersebut kemarin. Aku menyukai ekspresimu disana. Apa kau sengaja dibuat menangis atau kau memang menangis dengan perasaanmu?"

"Ah, itu diambil secara candid," jawab Rebecca.

"Apa aku boleh tahu kenapa kau menangis?" Hamdan menaikkan sebelah alisnya.

Mulut Rebecca terbuka lalu tertutup lagi. Otaknya bekerja keras menyususn kalimat sebagai jawaban. Lalu hati kecilnya berkata, dia bukan siapa-siapamu, kau berhak tidak menjawab pertanyaannya.

Rebecca mengulas senyum, "kurasa aku berhak untuk tidak mengatakan alasan di balik air mata tersebut, Yang Mulia,' ujar Rebecca dengan penuh penekanan di kalimat terakhir.

Hamdan merasa takjub, baru kali ini ada seorang wanita selain ibunya yang berani berbicara dengan nada tegas padanya. Tiba-tiba saja ide jahil muncul di kepalanya.

"Oh ya, foto itu," kata Hamdan menggantung menunggu reaksi dari Rebecca. Saat Rebecca menatapnya, Hamdan melanjutkan kalimatnya, "aku memasangnya di salah satu dinding kamarku yang tepat berada di depan tempat tidurku, dan anehnya aku bermimpi buruk karena sebelumnya aku memandangi fotomu hingga aku tertidur dan lupa berdoa,"  Hamdan mengakhiri kalimatnya dengan seulas senyum miring. Rasa geli berkilat-kilat dari sepasang matanya.

Rebecca menatap Hamdan tak percaya. Sepasang mata bundarnya membulat sempurna, bahkan bibirnya sedikit terbuka. Kemudian Rebecca mencebik kesal sembari melemparkan serbet makan ke arah Hamdan saat dengan tak bersalah Hamdan mengatakan jika dia hanya bercanda.

"Maaf, maaf, aku refleks melakukannya," ujar Rebecca cepat saat ia sadar jika ia melemparkan serbet makan ke wajah orang nomor dua di Dubai tersebut.

Hamdan sempat shock saat serbet makan itu mendarat di wajahnya. Sebelumnya tidak ada yang berani melakukan hal seperti ini padanya. Dan kini seorang Rebecca cupcake melakukannya, anehnya ia tidak bisa marah. Terlebih saat ia melihat sorot mata bersalah milik Rebecca. Semua rasa kesalnya menguap begitu saja dan justru berganti dengan rasa bahagia yang terwujud dengan gelak tawanya yang lepas.

*****

"Dek, besok pagi mas sudah harus kembali ke Indonesia," ujar Adrian pelan. Tangannya bermain-main dengan pinggiran gelas di hadapannya.

Setelah lebih dari dua hari akhirnya ia berhasil bertemu dengan Rebecca. Itu pun harus ia lakukan dengan penuh perjuangan. Seharian tadi Adrian menunggu Rebecca pulang bekerja di depan pintu flat Rebecca. Beruntung karena Rebecca masih memiliki perasaan dan mempersilahkan Adrian masuk ke dalam. Bahkan Rebecca menyuguhkan makanan kecil dan jus jeruk untuknya.

"Hati-hati ya mas, salam buat ibu dan keluarga disana," sahut Rebecca riang, berbanding terbalik dengan suasana hatinya.

"Mas rasa kita masih harus membicarakan banyak hal sebelum mas pulang. Tentang kita dek," Adrian menghela napas pelan.

"Bukankah kita sudah sampai di keputusan akhir mas? Kita batalkan perjodohan ini, maka tidak ada yang tersakiti. Kita berdua akan bahagia," Rebecca menatap Adrian yang duduk di sampingnya.

"Begitu kah?" Adrian mengernyit.

Rebecca mengangguk dan menatap mata Adrian meyakinkan. Saat Adrian kembali menunduk menatap gelasnya, Rebecca menyalakan televisi. Berharap rasa canggung yang menyelimuti mereka segera menghilang. Tapi percuma, meski televisi menyala mereka tetap asyik dengan pemikiran mereka masing-masing.

Denting microwave memecah keheningan mereka. Tadi Rebecca menghangatkan macaroni schotel yang rencananya untuk makan malam mereka berdua. Rebecca segera bergegas ke dapur. Mengambil sarung tangan, Rebecca membuka microwave dan mengeluarkan macaroni schotel tersebut. Setelah memotongnya menjadi beberapa bagian dan meletakkannya di piring, Rebecca membawanya ke meja makan.

Saat Rebecca menuangkan air minum, Adrian memanggilnya. "Dek kesini deh, lihat ini apa?" panggil Adrian.

Rebecca berjalan ke ruang tengah, dan ia berhenti di belakang sofa tempat Adrian duduk sambil menonton televisi. Punggungnya menegang dan kakinya membeku tak bisa melangkah. Tayangan televisi yang kini berada di hadapannya sedang menayangkan slideshow beberapa foto.

Mungkin tidak akan aneh bagi Rebecca jika foto tersebut tidak menayangkanfoto biasa. Tapi secara bergantian slideshow tersebut menampilkan kebersamaan Rebecca dan Hamdan. Mulai dari pertemuan tidak sengaja mereka di Home Bakery bersama keponakan Hamdan, lalu foto hasil jepretan Adrian yang dibeli Hamdan, berurutan muncul foto Rebecca dan Hamdan saat mereka berada di Omnia Gourmet. Foto terakhir membuat dada Rebecca berdesir saat Hamdan terlihat tertawa lepas seraya menatapnya dengan sorot lembut.

"Apa karena dia dek? Kamu memutuskan membatalkan perjodohan kita apa karena dia?" nada bicara Adrian terdengar marah. "Kenapa kamu ga bilang ke mas Adri kalau sebenarnya kamu sudah kenal baik dengan putera mahkota itu?" Adrian menatap Rebecca tajam. Bibirnya membentuk satu garis keras.

Rebecca terdiam tak bisa menjawab semua pertanyaan sarkatis yang Adrian lontarkan. Kepalanya terlalu penuh untuk sekedar mengatakan sanggahan.

To be continued....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status