Share

6. Parachute, Chocolate Cake, and a Friend

"Apa kau tahu siapa yang mengambil foto tersebut?" Ali Al Harbi meletakkan cangkir kopinya dan matanya fokus menatap Hamdan.

Sedangkan Hamdan justru tak berpaling dari iPhone-nya. Tapi ia masih menyahuti pertanyaan Ali. "Aku tidak tahu, Zabeel dan Essa tidak akan berani menyebarkan foto sejenis itu. Lagipula sewaktu di Omnia aku tidak bersama Essa dan timnya. Saat itu aku datang sendiri, dan datang lebih awal karena aku langsung mampir sepulang dari gym," jelas Hamdan panjang lebar dan masih tidak mengalihkan pandangannya dari benda canggih di genggaman tangannya.

"Kau harus lebih berhati-hati, bagaimana bisa kau bertingkah bodoh seperti itu?" Ali menaikkan suaranya. Menuntut Hamdan agar memerhatikannya.

Tapi sayang sepertinya Hamdan masih tak berniat meninggalkan layar ponselnya. Bahkan Mohammed kecil yang meminta perhatian darinya tak ia pedulikan. Hamdan masih asyik memangku dagunya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya masih sibuk dengan ponselnya.

"Ah... aku ingat sekarang. Bukankah gadis itu adalah salah satu peserta yang terpilih menjadi sepuluh besar?" tanya Ali.

Hamdan mengangguk.

"Lalu bagaimana bisa kalian saling bertemu di luar?" Ali kembali melakukan intervensi.

"Sebelum ada kompetisi itu aku sudah bertemu dengannya. Tiga kali. Pertama aku tak sengaja menabraknya sewaktu bersepeda di Deira. Lalu kedua saat ulang tahun Aisha, selanjutnya saat aku mengajak Zayed dan Saeed sarapan di Home Bakery aku kembali bertemu dengan Rebecca," jelas Hamdan tak mempedulikan Ali yang nampak mulai kesal padanya.

"Jadi namanya Rebecca hum?" Ali menaikkan sebelah alisnya saat Hamdan kembali meresponnya dengan anggukan kepala. Ali mengernyit saat ia melihat tingkah Mohammed—putera kelimanya—yang tengah berdiri di samping Hamdan dan ikut menatap lurus pada layar ponsel Hamdan. Ekspresi Mohammed terlihat sangat lucu.

"Ya Hamdan! Apa kau masih menganggapku ada?" Ali benar-benar terlihat kesal. Menurutnya Hamdan sudah bertingkah sangat tidak sopan padanya. Dari segi status dan kedudukan, boleh saja Hamdan seorang pangeran, tapi dari segi umur Ali jauh lebih tua dari Hamdan. Dan tidak seharusnya Hamdan tidak mengacuhkannya seperti saat ini.

"Sheikh...," panggil Mohammed pada Hamdan, "whos te girl?" anak laki-laki berusia 4 tahun itu bertanya dengan kalimat berbahasa Inggris yang tak jelas namun masih dapat dimengerti oleh Ali. Ali membulatkan matanya tertarik. Segera saja ia berdiri dan menghampiri tempat duduk Hamdan.

Ali berdiri di belakang Hamdan yang tidak menyadari tindakannya. Hampir saja tawa Ali menyembur saat ia tahu apa obyek yang sedari tadi menyita perhatian Hamdan. Tapi sayangnya sifat jahil Ali sedang di atas angin, dan dengan cepat ia merebut ponsel Hamdan.

"Oh Ya Allah... sepertinya ada yang sedang dimabuk cinta kurasa," Ali tersenyum lebar dan tak bisa menyembunyikan rasa geli di matanya. Jadi sedari tadi Hamdan tak mengacuhkannya karena Hamdan sedang memandangi foto Rebecca di ponselnya. Ali menatap layar ponsel dan Hamdan secara bergantian dengan alis yang dinaik-turunkan.

Hamdan tersenyum, "Ayo Mohammed, saatnya kita...," Hamdan meraih Mohammed ke dalam gendongannya, ia menggantung kalimatnya berharap Mohammed menyahutinya.

"Jump... and fly!" teriak Mohammed riang dengan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi lalu membentuk tanda khas Uni Emirat Arab—mengacungkan jempol, telunjuk dan jari tengah, sedangkan jari manis dan kelingking terlipat ke dalam.

*****

Rebecca menutup pintu lokernya dengan sangat keras. Napasnya tersengal menahan amarah. Ia mendengar beberapa staff wanita membicarakannya di ruang ganti. Bahkan mereka tidak perlu sungkan hanya untuk mengecilkan suaranya. Menggunakan bahasa Inggris pula.

Mencengkeram apron dengan erat, Rebecca memejamkan matanya yang memanas tatkala serangkaian kalimat penuh tuduhan kembali terdengar.

"Rebecca tidaklah lebih dari seorang gadis penggoda. Lihat apa yang dilakukannya pada putera mahkota kita."

"Menurutku Rebecca menggodanya agar dia bisa memenangkan kompetisi kemarin. Dia hanya gadis busuk yang tidak bisa apa-apa. Dan anehnya Mr. Jacques, chef  restoran fine dining yang ahli masakan Perancis itu justru tidak masuk dalam sepuluh besar tersebut."

"Rebecca memang menjijikkan."

"Kukira cukup Robin korbannya, tak kusangka jika Sheikh Hamdan juga terjebak pada perangkapnya."

Sial! Bahkan mereka tidak menghentikan gunjingan mereka meskipun Rebecca masuk ke dalam ruang ganti. Rebecca menatap mereka satu persatu. Tapi tidak ada reaksi apapun, mereka terus membicarakan Rebecca seolah-olah Rebecca tidak ada di depannya.

Tak tahan dengan semua perlakuan itu, Rebecca berbalik dan segera keluar dari ruang ganti. Dengan marah ia membanting pintu dengan keras. Rebecca melangkahkan kakinya lebar-lebar. Tak terasa air mata yang sedari tadi tertahan di pelupuk matanya kini meluncur bebas ke pipinya.

Lift pegawai adalah satu-satunya tujuan Rebecca sekarang. Dan dapur adalah tempat terakhir yang ingin ia datangi saat ini. Lift pegawai yang lumayan luas tersebut segera meluncur ke bawah. Basement adalah tujuan utama Rebecca sekarang

Setelah berada di basement, Rebecca segera keluar dari lift dan berjalan cepat. Pada pilar ke lima Rebecca berbelok ke kiri. Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Terus berjalan hingga ia dapat melihat seberkas cahaya yang lebih terang dibanding pencahayaan basement yang minim.

Hamparan pasir di pantai Jumeirah menyapa pengelihatannya. Rebecca bisa merasakan safety shoes-nya menginjak pasir. Menghirup napas sebanyak-banyaknya, Rebecca mencoba membuat hatinya lapang. Ini sudah hari ketiga kebebasannya dirampas secara paksa. Hari pertama sangat buruk, kemanapun ia pergi semua orang mengenalinya. Memandangnya sinis penuh rasa tak suka.

Hari kedua para pencari berita mulai berbondong-bondong menunggunya di depan flat, di setiap jalanan menuju Burj al Arab, bahkan ada yang nekat menyerobot masuk ke dalam dapur restoran. Dan hari ini adalah yang terburuk. Rekan kerjanya dengan sepihak menuduhnya menjadi wanita tidak benar yang menggoda seorang pangeran. Sial! Rebecca mengumpat dalam hati.

Rebecca berjalan cepat menuju tepi pantai. Agak kesulitan memang, mungkin karena efek safety shoes yang ia gunakan sehingga ia sedikit terseok saat berjalan melewati pasir putih bersih di bawah kakinya.

Perasaannya masih campur aduk. Kesal, marah, sedih, benci dan apapun namanya yang pasti semuanya membuat dada Rebecca sesak. Menghentikan langkahnya Rebecca berteriak kencang, "Sial! Nadira sialan! Ahmed sialan! Shameera sialan! Robin juga sialan! Paparazi sialan! Reporter sialan! Semuanya sialan!"

Rebecca tersengal, matanya memanas tapi dengan sekuat tenaga ia berusaha menahan air mata sialan itu agar tak menetes dari matanya. Baru kali ini ia merasa sendirian dan kesepian. Tidak ada seorangpun yang benar-benar tulus berteman dengannya, bahkan Naina yang sudah dianggapnya saudara ternyata membicarakan hal buruk di belakangnya.

Beberapa orang yang berada di pantai Jumeirah menatap Rebecca aneh. Selain karena Rebecca yang berteriak juga karena bahasa yang Rebecca gunakan. Tak peduli dengan orang-orang yang menatapnya, bahkan ada beberapa laki-laki yang melambaikan tangan seperti sedang mengusir Rebecca.

Bukannya pergi, Rebecca justru berkacak pinggang dan kembali berteriak, "Siaaal! Naina sialan! Kalian yang ada disini juga sialan! dan—dan sialan Hamdan lelaki sialan! Benar-benar lelaki siala—" umpatan Rebecca terpotong dan disusul dengan tubuhnya yang tersungkur di pasir dan kain lebar berwarna kuning menutupi tubuhnya. Lalu sekarang ditambah dengan tubuh lain yang menindih punggungnya.

"Ya Allah, ya Allah...." sebuah suara yang berat membuat Rebecca menegang. Sontak ia menggerakkan tubuhnya agar terbebas dari sesuatu yang menindih punggungnya.

Ketika Rebecca berusaha melepaskan diri, ia justru semakin terbelit oleh tali temali yang tersambung dengan kain lebar yang menutupi tubuhnya hingga Rebecca kembali terjerembab dan Rebecca justru menubruk tubuh asing di bawahnya.

Rebecca merasakan de javu. Sejenak ia mengalami disorientasi lalu ia mengerjapkan matanya saat sepasang tangan menyentuh pinggangnya. "Rebecca, jangan banyak bergerak. Kau justru membuat kita berdua semakin terbungkus dan terbelit tali parasut." Suara itu terasa tidak asing. Bahkan orang itu menyebut namanya.

Rebecca mendongak, matanya terbelalak saat ia melihat siapa sosok yang berada di bawah tubuhnya. "Dan—Ham—Dan," ucap Rebecca seperti orang gagap. Sedangkan Hamdan  yang terbaring di bawah tubuhnya tengah tersenyum geli seakan menikmati posisi mereka berdua. Mata mereka bertemu dan seketika itu juga waktu seakan berhenti. Senyum Hamdan menghilang. Jantung Rebecca berdetak tak karuan, setiap detiknya bertambah semakin cepat. Bahkan Rebecca sempat berpikir dia akan mati saat itu juga. Bagaimana tidak, saat ini saja napasnya sudah berhenti.

"Bernapas Rebecca," bisik Hamdan lalu ia kembali terkekeh geli saat dengan gelagapan Rebecca menghirup udara rakus.

Bersamaan dengan itu parasut yang menutupi mereka terbuka. Beberapa orang terlihat panik dan membantu Hamdan serta Rebecca keluar dari sana. Ali Al Harbi menghentikan gerakan tangannya saat ia menyadari keadaan Hamdan dan sedang bersama siapa ia sekarang.

Tersenyum geli, "sudah biarkan saja. Mereka bisa sendiri," kata Ali. Ia justru pergi menjauh dan mengajak temannya pergi meninggalkan Rebecca dan Hamdan yang masih terbungkus parasut.

Rebecca ternganga tak percaya. Sedangkan Hamdan lebih bisa menguasai dirinya. "Rebecca," panggil Hamdan.

"Ya," jawab Rebecca.

"Kau mau keluar dari sini atau masih ingin disini bersamaku?" tanya Hamdan.

Rebecca mengernyit tak mengerti.

"Kau ingin bebas dari posisi ini atau masih suka terbungkus denganku seperti gulungan shawarma?" Hamdan mengedip lalu terbahak saat Rebecca merona.

*** To be continued ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status