Share

7. Parachute, Chocolate Cake, and a Friend

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Hamdan.

Rebecca mengangguk. Ia menunduk dan menatap jemarinya yang memainkan pinggiran cangkir tehnya. Setelah kejadian memalukan yang berhubungan dengan parasut tadi, Rebecca benar-benar tidak punya muka untuk menghadapi Hamdan. Tapi kini ia justru berakhir di Godiva duduk berhadapan dengan Hamdan.

Setelah bebas dari gulungan parasut dan mendapat tatapan aneh serta menjadi bahan tertawaan banyak orang, Hamdan memaksa Rebecca untuk ikut bersamanya. Memaksa Rebecca duduk di kursi nyaman yang berada di sudut dalam lalu memesankan chocolate pecan cake, teh dan pistachio macaron.

'Bagaimana perasaanmu?" Hamdan kembali bertanya karena Rebecca tak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Baik," jawab Rebecca singkat. Menghilangkan gugup yang sedari tadi tidak juga menghilang, Rebecca menyesap tehnya.

"Apa kau masih bekerja?" Hamdan menelusuri penampilan Rebecca yang masih memakai chef jacket dan dasi.

"Tidak, aku sudah selesai."

"Lalu kenapa kau tidak pulang dan justru berada di pantai?" Hamdan memicingkan matanya.

"Ah... itu, aku hanya mencari udara segar sebelum pulang, setelah dari pantai aku berencana untuk pulang," jelas Rebecca. Sebuah senyuman lembut terulas di bibirnya.

"Ada yang harus kita bicarakan, tapi kita butuh privasi" ujar Hamdan. Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan. Lalu tangannya memberi isyarat. Tidak lama kemudian beberapa orang laki-laki termasuk Ali mendatangi tempat duduk mereka.

Hamdan memberi instruksi yang tidak Rebecca mengerti karena Hamdan berbicara dengan bahasa emirati. Beberapa laki-laki tersebut menganggukkan kepalanya lalu bergerak menyebar ke seluruh restoran.

"Apa yang kau bicarakan pada mereka?"

"Hanya beberapa instruksi untuk membuat restoran ini lebih private untuk kita," Hamdan tersenyum lalu menatap Rebecca lekat, "aku ingin bicara tentang kita, apa kau terganggu dengan foto-foto yang tersebar di media?" sambung Hamdan.

Rebecca mengernyit, dadanya berdesir saat ia mendengar kata 'kita' terucap dari bibir Hamdan. Rasa yang sama seperti yang dulu ia rasakan pada Adrian. Oh Adrian, bagaimana kabarnya sekarang....

Benar kata Hamdan. Beberapa pengunjung yang tadi duduk di dekat mereka kini dipindahkan ke teras dan hanya menyisakan mereka berdua di dalam ruangan. Beberapa laki-laki yang Rebecca duga adalah pengawal Hamdan tengah berdiri di beberapa titik mengawasi sekitar.

"Rebecca, jawab pertanyaanku," Hamdan terdengar tidak sabar karena Rebecca kembali tak menjawab pertanyaannya.

"Ah, maaf. Apa?"

"Oh ya Allah... sedari tadi kau tidak mendengarkanku," Hamdan menggeram tertahan. Gadis benar-benar. Sejak pertama bertemu sudah berhasil membolak-balikkan emosi Hamdan. "Aku bertanya apa pendapatmu tentang foto kita yang tersebar dan disalah artikan oleh orang lain," tambah Hamdan.

"Aku sangat terganggu." Jawaban singkat Rebecca berhasil membuat Hamdan membelalak tak percaya. Tidak menyangka jika gadis di hadapannya ini begitu terus terang. Di suatu saat ia terlihat pemalu, lalu berubah menjadi tertutup, tapi detik berikutnya ia bisa sangat terus terang dan berani. Sangat menarik.

"Aku minta maaf, aku sudah berusaha meminta temanku untuk membuat beberapa media berhenti memberitakan hal salah tentang kita tapi tidak semuanya berhasil. Justru kecurigaan mereka semakin bertambah," jelas Hamdan panjang lebar.

"Apa sebenarnya yang mereka beritakan? Aku tidak mengerti," Rebecca menatap Hamdan meminta penjelasan.

"Emm, ya seperti pada umumnya, kita punya hubungan khusus, bahkan ada yang mengatakan jika kita merahasiakan pernikahan kita dan memiliki anak," Hamdan menunggu reaksi Rebecca, "meskipun sebenarnya aku tidak keberatan," Hamdan tersenyum lebar saat Rebecca menatapnya horor.

"Ini mengerikan. Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Rebecca.

"Kurasa untuk saat ini lebih baik kita diam saja. Aku akan melakukan klarifikasi jika apa yang mereka beritakan semakin tak terkontrol," Hamdan tersenyum menenangkan. Terbias janji di kilat mata Hamdan yang entah kenapa berhasil membuat Rebecca merasa lega.

Hamdan melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, "silahkan nikmati minumanmu, aku harus pergi terlebih dulu, ada pertemuan yang harus kudatangi." Hamdan memundurkan kursinya hendak berdiri.

"Emm, Sir," panggil Rebecca.

"Ya?" Hamdan menatap Rebecca dengan kepala yang ia miringkan pada satu sisi dan menatap Rebecca penuh tanya.

"Maaf, apa kau bisa mengantarku kembali ke Burj Al Arab? A—aku meninggalkan dompet dan ponselku disana," takut-takut Rebecca menatap Hamdan.

"Baiklah, ayo," Hamdan bangkit dari duduknya. Berdiri menunggu Rebecca yang masih merapikan ujung baju kerjanya. Sengaja menunggu Rebecca untuk mempersilahkan Rebecca berjalan di depannya.

Rebecca menggigit bibir bawahnya. Demi Allah ia sangat malu karena harus meminta sesuatu pada Hamdan. Tapi jangan salahkan ia, salahkan Hamdan yang dengan seenak hatinya menyeret Rebecca masuk ke dalam mobil dan membawanya ke Godiva.

Di tempat parkir Ali menunggu di depan Mercedes Benz G63 warna hitam bermesin V8 biturbo dengan plat nomor bertuliskan 'DUBAI II'.

"Rebecca ikut mobil kita," kata Hamdan.

Ali mengangguk lalu membukakan pintu penumpang untuk Rebecca. Setelah mengucapkan terima kasih Rebecca masuk ke dalam mobil dan mengambil tempat duduk terjauh tepat di ujung dekat pintu. Kemudian disusul oleh Hamdan yang duduk di sebelahnya. Hamdan juga duduk di dekat pintu mobil, sehingga jarak di antara mereka sangat lebar.

Pintu mobil kembali terbuka, Ali muncul dengan seorang anak kecil di gendongannya, ia menampakkan wajah bersalahnya. "Maafkan aku, tapi Mohammed menangis meminta satu mobil denganmu," jelas Ali.

Hamdan mengangguk paham lalu merentangkan tangannya untuk menerima Mohammed. Kemudian Hamdan mendudukkan Mohammed di antara dirinya dan Rebecca. Menghela napas panjang, Hamdan bersyukur karena ada Mohammed yang akan menghilangkan rasa canggung mereka.

"Rebecca, kenalkan... temanku Mohammed," ujar Hamdan. Lalu ia berbicara pada Mohammed dengan bahasa emirati. Beberapa detik kemudian Mohammed mengalihkan pandangannya pada Rebecca, tersenyum lebar memamerkan deretan gigi susunya. Tanpa diduga Mohammed berdiri dari duduknya dan menubruk Rebecca, memeluk leher Rebecca erat.

"Dia menyukaimu Rebecca," Hamdan tersenyum seraya mengusap kepala Mohammed.

Rebecca menatap Hamdan tak percaya.

"Dia memelukmu karena dia menyukaimu Rebecca. Itu tandanya Mohammed menganggapmu sebagai temannya."

Begitu juga bagiku, batin Hamdan.

To be continued....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status