Share

8. Perjalanan ke Uzbekistan

“Ya Hamdan, apa yang terjadi akhir-akhir ini?”

Hamdan terkejut hingga tersedak teh yang ia minum. Ia terkejut setengah mati saat mendapati ibunya tiba-tiba berdiri di ambang pintu penghubung teras belakang dengan kolam renang indoor. Meletakkan cangkir tehnya, Hamdan bangkit dari duduknya dan menyambut ibunya dengan sebuah pelukan hangat.

“Ibu, apa yang membawamu kesini?” Hamdan mengecup punggung tangan ibunya.

“Apa seorang ibu dilarang untuk mengunjugi puteranya?” mata indah milik Sheikha Hind berkedip lucu.

Hamdan tertawa membalas pertanyaan ibunya, “aku juga merindukanmu ibu.” Hamdan kembali memeluk ibunya lalu membimbing beliau untuk duduk di sofa tempatnya menghabiskan sore di halaman belakang House of Falasi—tempat tinggal Hamdan.

“Siapa yang mengantar ibu kemari?” tanya Hamdan, jemarinya menggenggam tangan ibunya erat.

“Adikmu Ahmed yang mengantar ibu kesini, tapi langsung pergi.”

“Apa ibu sudah makan?”

“Dan... berhenti mengalihkan pembicaraan, jawab dulu pertanyaan ibu tentang apa yang terjadi dan apa yang tidak ibu ketahui akhir-akhir ini,” dari balik niqab yang dikenakannya, Sheikha Hind menatap Hamdan dengan penuh selidik.

“Tidak banyak ibu, hanya penandatanganan kerja sama bilateral dengan Afghanistan, lalu peluncuran strategi pemerintahan 2021, kemudian tim yang bergerak di bidang makanan dan gizi sudah mulai bergerak, dan bulan depan aku akan turun di endurance race yang diadakan oleh ayah,” jelas Hamdan panjang lebar.

“Hanya itu?”

Hamdan mengangguk.

“Kudengar dari pamanmu Saeed, seorang gadis yang masuk ke dalam tim Hamdan Food and Nutrition Organization sedang mencoba mendekatimu, apa itu benar nak?” nada bicara ibunya begitu tenang, datar dan seakan tidak mengandung emosi. Tapi dibalik itu Hamdan dapat menlihat kilatan amarah dari satu-satunya anggota tubuh yang tidak tertutupi kain hitam tersebut, yaitu mata beliau.

“Ibu, itu tidak benar. Dia tidak pernah mendekatiku. Kami hanya tidak sengaja—sering—bertemu, itu saja.” Hamdan tersenyum mencoba meyakinkan ibunya. Tapi mengingat jika gadis yang ibunya maksudkan adalah Rebecca, hal tersebut justru membuat kepala Hamdan kembali memutar kejadian di pantai Jumeirah. Saat itu ia dan Rebecca berada di posisi yang tidak menguntungkan tapi menyenangkan baginya.

Masih dapat ia ingat bagaimana ia berusaha menggerakkan parasut agar sedikit berbelok ke kiri dan menjauhi seseorang yang tengah berdiri tepat di titik pendaratannya. Tapi angin tidak bersahabat sehingga dapat dipastikan Hamdan menabrak wanita tersebut. Hampir saja Hamdan meluapkan kekesalannya pada wanita tersebut karena membahayakan nyawa mereka berdua.

Tapi kekesalan itu menguar begitu saja saat ia mengetahui jika Rebecca lah wanita itu. Kekesalannya justru terganti dengan seulas senyum tatkala beban tubuh Rebecca  menimpanya. Saat itu posisi mereka berdua sangat dekat, bahkan hingga kini indera penciuman Hamdan masih dapat membaui wangi seorang Rebecca. Perpaduan unik dari parfum Hayaati bercampur dengan harum segar roti yang baru keluar dari panggangan.

Hamdan tersenyum lalu menggelengkan kepalanya saat pikirannya semakin melantur kemana-mana.

“Ya Hamdan, ibu mohon kau jangan bermain-main. Gadis itu tidak memiliki asal usul yang jelas. Ibu mohon berhenti bermain hati dengannya,” Sheikha Hind meremas jemari Hamdan. Kekhawatiran terdengar jelas dari suaranya.

“Ibu aku tidak sedang bermain hati dengan siapa pun,” Hamdan mengusap punggung tangan ibunya. Mencoba meyakinkan.

“Aku ibumu nak, aku yang melahirkanmu. Aku dapat merasakan apa yang sedang dirasakan oleh anak-anakku. Dan kini aku merasakan keraguan serta ketertarikan yang sedang kau coba tutupi. Gadis itu tak lebih dari seorang keturunan Eurasia.”

Hamdan mendongak, menatap ibunya tak percaya. Dalam hati ia bertanya-tanya sudah sejauh mana ibunya mengetahui siapa Rebecca. “Namanya Rebecca, ibu....”

“Ibu tidak peduli, dan ibu akan segera mempersiapkan lamaran untuk Putri Rania bint Zayeed Al Khalifa. Dan ibu harap agar kau segera menjauhi gadis eurasia yang bahkan tidak mempunyai ayah tersebut.”

Sheikha Hind bangkit dari duduknya. “Kau harus ingat ini... ya Hamdan, kau adalah seorang putera mahkota, calon pemimpin Uni Emirat Arab, tidak sembarangan wanita yang dapat mendampingimu!” tegas Sheikha Hind, ia berjalan masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Hamdan yang masih termangu menatap ruangan kosong tempat ibunya duduk. Rasa tidak nyaman mulai mengusiknya, bukan karena ibunya akan melamar Rania untuknya, tapi kenyataan jika Rebecca tidak mempunyai ayah lah yang membuat Hamdan terdiam.

*****

Rebecca memeriksa barang bawaannya beberapa kali. Mulai dari kunci kombinasi kopernya sudah terpasang atau belum, passport sudah terbawa atau belum, hingga bantal leher yang ia gantung di pegangan koper pun tak luput dari perhatiannya. Sebelum check in Rebecca harus menunggu seluruh tim berkumpul karena rencananya nanti mereka berangkat dengan menyewa satu pesawat khusus.

Sudah ada sekitar lima orang yang datang termasuk Rebecca. Hanya beberapa nama yang Rebecca tahu, tapi Rebecca tidak berani menyapa mereka. Selain karena mereka laki-laki, Rebecca juga termasuk orang yang tidak mudah bergaul dengan orang baru.

Tidak berapa lama seorang wanita berambut pirang dengan model pixy cut terlihat berjalan membelah keramaian. Sylvenia Rowe terlihat sangat percaya diri dengan tampilan maskulinnya. Wanita yang sudah tidak muda lagi itu terlihat begitu dihormati. Beberapa anggota tim yang sudah datang segera menyapa dan memberi pelukan untuk Sylvenia.

Begitu juga dengan Rebecca, “apa kabar Sylvenia?” sapa Rebecca. Sylvenia tidak suka jika dipanggil dengan embel-embel nyonya dan sebagainya. Dia mengatakan itu membuatnya terlihat lebih tua. Meskipun pada kenyataannya dia memang sudah tidak muda lagi.

“Luar biasa sayang. Bagaimana denganmu?” Sylvenia balas memeluk Rebecca. Ia tersenyum ramah.

“Aku juga luar biasa. Senang bertemu denganmu lagi Syl,” ujar Rebecca tulus.

Seorang pemuda menginterupsi percakapan mereka. Pemuda tersebut menjelaskan jika mereka bisa berpindah ke ruang tunggu kelas satu. Disana beberapa anggota tim beserta putera mahkota sudah menunggu.

*****

Rebecca terbangun saat ia merasakan mobil yang ia tumpangi berhenti. Mengerang pelan, Rebecca meluruskan tangannya yang lelah. Hampir 7 jam di pesawat lalu dilanjut dengan perjalanan darat selama 5 jam nyatanya sanggup membuat Rebecca merasakan disorientasi. Dengan malas ia kembali memejamkan matanya.

“Rebecca! cepat keluar dear,” ketukan di jendela mobil membuat Rebecca benar-benar terjaga. Sylvenia melambaikan tangannya. Mulai sekarang Rebecca mendikte dirinya untuk selalu berada di dekat Sylvenia, mengingat hanya mereka berdua yang berjenis kelamin perempuan di rombongan ini.

Menguap malas, Rebecca merapikan baju dan juga hijabnya. Setelah yakin jika penampilannya sudah lebih baik, Rebecca segera keluar dari mobil yang mengantarkannya dari bandara internasional Uzbekistan ke tempat tujuan yaitu sebuah perkampungan kumuh di tengah gurun pasir.

Langit sudah mulai gelap meski semburat jingga masih nampak. Sejauh mata memandang hanya terlihat hamparan pasir keemasan. Beberapa orang terlihat mengeluarkan koper-koper dari dalam mobil yang khusus mereka gunakan untuk mengangkut barang. Beberapa lagi memasang tenda yang seminggu ini akan menjadi tempat mereka berteduh. Awalnya Rebecca berpikir jika yang ikut rombongan ini hanya anggota tim dan beberapa helper saja. Tapi kehadiran putera mahkota sepertinya membuat segalanya berubah. Berubah menjadi lebih “luar biasa” dan "ekstra" tentu saja.

Rebecca terdiam sejenak, menatap hamparan pasir lembut yang sesekali terbawa angin dan terhempas mengenai wajahnya. Tiba-tiba napasnya berat, "semangat Rebecca!" serunya pelan, memberi semangat kepada dirinya sendiri.

***To be cobtinued***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status