Aris segera di tangani dokter, suhu tubuhnya terasa panas, bahkan tenaga medis yang membantu memindahkannya ke ranjang beroda merasakan hawa panas itu."Pasien demam tinggi," ucap salah satu petugas medis.Giri memarkir mobil di parkiran, Ningsih mendampingi Aris. Walau Aris tak ingin melihat wajahnya, dia bersikap seolah-olah sebagai isteri yang penuh perhatian.Perawat datang mengukur suhu tubuh Aris, namun beberapa detik kemudian mereka kebingungan, karena hasilnya normal. Begitu juga saat mereka mengukur tekanan darahnya, Semuanya normal. Denyut nadi juga normal namun pasien terlihat sangat lemas. Dokter segera datang menghampiri."Apa yang anda rasakan ?" Aris sulit untuk menjawab karena tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Dokter memeriksa Aris secara intensif, dokter wanita ini sedikit heran, tubuh pasien ketika di raba sangat panas tetapi menggunakan alat pengukur suhu tubuh hasilnya malah normal.Pasien disarankan untuk rekam jantung, dan hasilnya normal. Akhirnya diambil sa
Badar bertemu dengan Giri di depan ruangan VIP."Tuan, syukurlah anda datang."Giri menyambut Badar dengan riang, dia baru berencana menghubunginya tak tahunya yang di nanti sudah tiba."Bagaimana kondisi Aris, dia sakit apa ?" tanya Badar."Itu tuan, tuan Aris sakitnya aneh, tubuhnya sangat panas tetapi hasil pemeriksaan dokter semuanya normal. Tadi dokter baru saja memeriksanya," tutur Giri."Baiklah, ayo kita lihat bersama."Giri dan Nita berjalan beriringan, diikuti Badar. Mereka segera masuk ke dalam ruangan. Badar melihat Ningsih yang terus mengompres Aris menyapanya."Apa kabar bu Ningsih, bagaimana kondisinya ?""Belum ada perubahan," jawab Ningsih pelan.Badar meraba dahi temannya, dia sedikit terkejut karena tangannya seakan memegang bara api."Bisakah kalian tinggalkan kami berdua ?" pinta Badar. Dia merasakan keanehan di tubuh Aris.Ningsih nampak keberatan, tapi melihat Badar yang terus menatapnya tajam, akhirnya dia keluar disusul Nela, Giri dan Nita."Apa yang terjadi p
Ningsih menahan geram, dia terpaksa menunggu waktu yang tepat untuk masuk ke dalam ruangan itu. Dia menunggu sampai Badar pulang, tetapi yang dinantinya tak kunjung keluar.Badar memiliki firasat yang tidak enak, menurutnya Aris tak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Dia lalu mengirimkan pesan pada isterinya jika dia akan tidur di Rumah Sakit.Di luar Ningsih sangat uring-uringan, dia tak tau apa yang harus dia lakukan. Bagaimana dia bisa mencampurkan bubuk racun itu jika untuk masuk saja dia tak bisa.Ningsih menunggu, dia rela tak tidur dan hanya duduk diruang tunggu pasien. Menjelang malam dia melihat Giri berjalan dengan terburu-buru masuk ke ruang perawat. Tak lama kemudian perawat bergegas mengikuti langkah Giri.Ningsih berlari mengejar mereka, melihat kepanikan di wajah Giri dia sudah bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Dia ikut masuk ke dalam ruangan. Terlihatlah olehnya Nela yang sedang menangisi ayahnya yang terbujur kaku."Ayah, bangunlah ayah. Jangan tinggalkan aku...huh
Nathan menemani Nela tidur malam ini, setelah memastikan Nela sudah tertidur, Nathan masuk ke dalam kamarnya. Saat dia membuka lemari, dia sempat tertegun, karena melihat beberapa pakaian ayahnya ada di dalam lemarinya. Nathan lalu keluar menemui Giri yang sedang duduk di teras dengan beberapa warga lainnya."Paman, aku ingin bicara berdua denganmu."Giri lalu pamit kepada beberapa warga dan masuk ke dalam rumah mengikuti langkah Nathan.Nathan mengajak Giri masuk ke dalam kamarnya."Tolong ceritakan padaku, apa yang terjadi setelah kepergianku, mengapa bisa pakaian ayahku ada di dalam lemariku ?""Selama kau pergi, ayahmu tidur di kamarmu," jawab Giri sambil menunduk. Wajah Nathan mengingatkannya pada majikannya itu."Lalu apa yang dilakukan ibuku ?""Tuan dan nyonya tak pernah bertegur sapa, kami tak tak tahu apa yang terjadi, bahkan adikmu sendiri tak tahu."Nathan terdiam, terlalu banyak kejadian di rumah ini yang tak di ketahuinya."Lalu ayah sakit apa ?""Itu dia dek, penyakit
Nela hanya bisa menangis melepaskan kepergian kakaknya, dia tak bisa menahan Nathan untuk tinggal di rumah. Walau sebenarnya ada usaha ayahnya yang harus dilanjutkan Nathan, tapi karena Nathan mengatakan terikat kontrak dengan perusahaan, akhirnya dia hanya bisa merelakannya pergi."Paman, untuk semua penghasilan dari semua penjualan beras dicatat saja, aku akan memeriksa semua laporannya saat kembali nanti."Giri mendapatkan tanggung jawab berat dari Nathan, akhirnya hanya mengangguk. Nathan memeluk erat Nela lalu segera pergi. Dia tak lagi berpamitan dengan Ningsih, karena sejak meinggalnya Aris, Ningsih kembali lagi ke rumah orang tuanya.Tak ada yang tau jika Ningsih sedang merencanakan sesuatu, dia hanya menunggu waktu yang tepat untuk kembali lagi ke rumah itu sebagai nyonya besar.Nela merasa sendiri, namun dia tak ingin larut dalam kesedihan. Kepergian ayahnya sebagai cambuk baginya untuk bisa mandiri tanpa tergantung pada orang lain.Terhitung mulai hari ini Nela membuat atur
Kedua pasangan suami isteri ini tak sempat lagi mengabari Nela karena tak ingin mengganggu jam belajarnya. Keduanya harus kembali ke kampung halamannya di seberang pulau. Mereka teringat pertama kali bertemu dengan almarhum majikannya saat mereka mencari pekerjaan menjadi buruh tani di desa ini. Karena kebaikan Aris mereka bahkan ditawari tinggal di rumahnya.Kini mereka di usir secara halus. Untuk pulang kampung, mereka harus tiga kali naik angkot barulah sampai di kampung halamannya. Masih terbayang oleh mereka bagaimana pagi itu Ningsih datang bersama rentenir. Giri tak percaya jika almarhum majikannya berhutang pada rentenir. Namun karena mereka menunjukkan buktinya, Giri terpaksa hanya bisa terdiam. Saat mereka membawa mobil dan truknya dia tak bisa berbuat apa-apa."Sekarang aku minta kalian pergi dari rumah ini, karena aku tak sanggup membayar kalian lagi," ucap Ningsih saat itu."Nyonya tak perlu membayar kami, tapi izinkan kami tinggal di rumah ini menyelesaikan tugas yang di
Tindakan Ningsih pada Nela terlalu berlebihan, dia tak pernah memberi waktu pada Nela untuk istirahat sepulang sekolah. Ada-ada saja yang dia perintahkan untuk di kerjakan Nela. Dari menyiapkan sendal saja harus dilakukan Nela. Sendalnya harus bersih, tak boleh ada debu menempel sedikitpun. Jika ketahuan ada debunya maka sendal itu langsung melayang ke kepala Nela."Jangan pernah lakukan kesalahan lagi, apa kau mengerti ?" Ningsih menarik rambut Nela yang sedang berjongkok membersihkan sendal Ningsih, sehingga membuat Nela nyaris terjengkang ke belakang."Iya bu," Nela masih tetap sabar menghadapi semua perlakukan ibunya."Ibu akan ke kota, saat ibu pulang, rumah ini harus sudah bersih. Pakaian kotor harus sudah di cuci."Nela tak menyahut, dipandanginya Ningsih yang sudah pergi begitu saja, melajukan motornya tanpa menengok lagi ke belakang. Sebisa mungkin Nela membagi waktunya, ujian semester sudah di depan mata. Tidak biasanya Nela mengantuk di kelas, kali ini dia benar-benar tak
Sesuai janjinya, pagi itu Linda menjemput Nela di rumahnya. Linda hanya membunyikan klakson dan nampklah Nela yang berjalan tertatih-tatih dengan seragam sekolahnya."Apa yang terjadi?" tanya Linda."Aku tak sengaja menjatuhkan gelas, dan pecahannya mengenai tumitku." Nela terpaksa berbohong, pagi itu setelah membersihkan rumah, Nela bersiap-siap mandi. Setelah mandi terdengarlah teriakan Ningsih, tanpa pikir panjang Nela membuka pintu kamarnya dan berlari menemui ibunya. Dan ahhh....Nela meringis kesakitan, entah siapa yang menaruh pecahan kaca di depan pintu kamarnya, tumitnya berdarah."Kalau begitu kita mampir di puskesmas untuk mengobati lukamu agar tidak infeksi.""Tidak perlu, aku melihat tanaman obat di halaman sekolah. Aku akan mengobati lukaku dengan tanaman itu, ayo kita pergi.""Sepanjang yang kutahu, tanaman obat itu tidak ada deh, yang ada itu tanaman bunga" gumam Linda.Saat menjalankan motornya, dia sempat melihat Ningsih yang mengintip mereka dari celah jendela. Lin