Share

Bab 8

Aku menggeleng. Lalu membisikkan rencana yang sudah ada di kepalaku pada Kalisa.

"Lu yakin?"

"Sangat yakin."

"Ya sudah, besok gue antar. Gue pantau dari kejauhan."

Aku mengangguk, lalu ingat jika belum salat isya. Kami pun salat bersama. Dalam do'a aku meminta diketukkan hati Mas Haris agar tak membalas dendamnya lagi padaku. Tapi, jika mengingat Arumi yang lain, untuk apa aku berdo'a seperti ini? Andai aku jadi Rumi, sudah pasti tunanganku akan melakukan hal yang sama, kan?

--

Pagi hari.

Aku tengah menonton televisi sambil menikmati pisang goreng yang dibuat oleh asisten rumah tangga Kalisa. Enak, sejenak aku melupakan kejadian kemarin.

"Lu perginya siang, kan?"

"Iya. Kayaknya kalau siang Mas Haris nggak ada. Makanya gue mau ke sana."

"Yakin, gak ada?"

"Iya. Orang sendalnya aja gak keliatan di depan. Kata Ibu warung nasi juga, Mas Haris datangnya pagi sama sore. Siangnya entah ke mana?"

"Lu nggak curiga?"

"Curiga lah, pasti. Tapi, gue mau selesaiin satu-satu dulu."

"Lu harus kuat."

Aku mengangguk, "Mumpung perjalanan rumah tangga kami belum terlalu jauh, Lis."

"Maksudnya, kalian mau cerai?"

"Aku harus menyiapkan mental untuk itu dari sekarang. Karena mengetahui ada wanita lain dan alasan sesungguhnya Mas Haris menikahiku saja, aku sudah enggan untuk melihatnya lagi."

"Bagus. Gue mau ke toko buku dulu. Lu mau ikut?"

Aku menggeleng. Kalisa memang gemar sekali membaca buku sedari remaja. Padahal sekarang ini sudah banyak novel di platform-platform. Namun sepertinya wanita itu lebih suka mengoleksi bentuk fisiknya.

Sebuah pesan masuk dari Mas Haris. Seperti biasa, ia menanyakan kabarku.

[Baik, Mas. Aku lagi nonton tivi. Kamu lagi apa?]

[Aku lagi tiduran, Rum. Kemarin Ibu datang, kamu nggak ada katanya?]

Nah, kan? Aku sudah mengira jika Ibu datang hanya untuk mengontrolku dan melaporkannya oada Mas Haris. Benar-benar keluarga jahat.

[Iya, Mas. Kemarin lagi ke toko buah, lalu mampir ke toko Ayah. Pulang bareng Ayah.]

[Oh, iya. Mas kira ke mana. Ya sudah, Mas mau mandi dulu, ya. Baru pulang dari kantor.]

"Kantor pret! Paling-paling lagi ngeliatin Arumi-mu tiduran."

"Kenapa, Neng?" tanya Bik Asih, asisten rumah tangga di sini.

"Nggak papa, Bik. Enak pisangnya."

"Iya, dong. Saya dulu jualan buah soalnya."

"Apa hubungannya?" tanyaku sambil mengerutkan kening.

"Ya nggak ada, sih."

Aku terkekeh, lalu meneruskan menonton televisi.

--

Habis dzuhur, aku segera ke rumah itu lagi. Tampak sepi, aku segera masuk ke halaman dan mengetuk pintu.

Tak lama, pintu pun terbuka. Seorang perempuan mengenakan pakaian suster menanyakan maksud kedatanganku. Tanpa menjawab, aku segera masuk dan melihat ke kamar yang terbuka lebar.

Benar. Di dalam sana terbaring seorang perempuan dengan berbagai selang yang menancap di tubuhnya. Cantik, pantas saja Mas Haris tergila-gila padanya. Seketika, aku limbung. Padahal sudah kucoba untuk menguatkan hati, nyatanya tetap sakit jika tau kebenerannya.

"Bu, Ibu siapa? Kenapa main masuk begitu saja?" tanya Perawat yang tadi membukakan pintu untukku. Kulihat namanya, Reni.

"Saya Arumi. Istri dari Mas Haris. Kenapa?"

Perawat yang tengah terlelap itu, langsung bangun begitu mendengar suaraku. Kulihat namanya, Mira. Ia segera mengeluarkan ponselnya.

"Ke-kenapa mau ke sini?"

"Jangan coba-coba menelepon Mas Haris!" sentakku.

Wanita itu menatapku, lalu mengangguk. Ponselnya ia masukkan ke dalam sakunya lagi.

"Ke mana, Mas Haris?"

"Pak Haris ..."

"Iya, ke mana?"

"Ada apa, Sus?"

Tepat! Aku langsung keluar dari kamar dan berdiri di depan Mas Haris yang tengah menggulung baju lengannya.

"A-a-arumi!"

Mau apa kamu sekarang, Mas?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status