Aku menggeleng. Lalu membisikkan rencana yang sudah ada di kepalaku pada Kalisa.
"Lu yakin?""Sangat yakin.""Ya sudah, besok gue antar. Gue pantau dari kejauhan."Aku mengangguk, lalu ingat jika belum salat isya. Kami pun salat bersama. Dalam do'a aku meminta diketukkan hati Mas Haris agar tak membalas dendamnya lagi padaku. Tapi, jika mengingat Arumi yang lain, untuk apa aku berdo'a seperti ini? Andai aku jadi Rumi, sudah pasti tunanganku akan melakukan hal yang sama, kan?--Pagi hari.Aku tengah menonton televisi sambil menikmati pisang goreng yang dibuat oleh asisten rumah tangga Kalisa. Enak, sejenak aku melupakan kejadian kemarin."Lu perginya siang, kan?""Iya. Kayaknya kalau siang Mas Haris nggak ada. Makanya gue mau ke sana.""Yakin, gak ada?""Iya. Orang sendalnya aja gak keliatan di depan. Kata Ibu warung nasi juga, Mas Haris datangnya pagi sama sore. Siangnya entah ke mana?""Lu nggak curiga?""Curiga lah, pasti. Tapi, gue mau selesaiin satu-satu dulu.""Lu harus kuat."Aku mengangguk, "Mumpung perjalanan rumah tangga kami belum terlalu jauh, Lis.""Maksudnya, kalian mau cerai?""Aku harus menyiapkan mental untuk itu dari sekarang. Karena mengetahui ada wanita lain dan alasan sesungguhnya Mas Haris menikahiku saja, aku sudah enggan untuk melihatnya lagi.""Bagus. Gue mau ke toko buku dulu. Lu mau ikut?"Aku menggeleng. Kalisa memang gemar sekali membaca buku sedari remaja. Padahal sekarang ini sudah banyak novel di platform-platform. Namun sepertinya wanita itu lebih suka mengoleksi bentuk fisiknya.Sebuah pesan masuk dari Mas Haris. Seperti biasa, ia menanyakan kabarku.[Baik, Mas. Aku lagi nonton tivi. Kamu lagi apa?][Aku lagi tiduran, Rum. Kemarin Ibu datang, kamu nggak ada katanya?]Nah, kan? Aku sudah mengira jika Ibu datang hanya untuk mengontrolku dan melaporkannya oada Mas Haris. Benar-benar keluarga jahat.[Iya, Mas. Kemarin lagi ke toko buah, lalu mampir ke toko Ayah. Pulang bareng Ayah.][Oh, iya. Mas kira ke mana. Ya sudah, Mas mau mandi dulu, ya. Baru pulang dari kantor.]"Kantor pret! Paling-paling lagi ngeliatin Arumi-mu tiduran.""Kenapa, Neng?" tanya Bik Asih, asisten rumah tangga di sini."Nggak papa, Bik. Enak pisangnya.""Iya, dong. Saya dulu jualan buah soalnya.""Apa hubungannya?" tanyaku sambil mengerutkan kening."Ya nggak ada, sih."Aku terkekeh, lalu meneruskan menonton televisi.--Habis dzuhur, aku segera ke rumah itu lagi. Tampak sepi, aku segera masuk ke halaman dan mengetuk pintu.Tak lama, pintu pun terbuka. Seorang perempuan mengenakan pakaian suster menanyakan maksud kedatanganku. Tanpa menjawab, aku segera masuk dan melihat ke kamar yang terbuka lebar.Benar. Di dalam sana terbaring seorang perempuan dengan berbagai selang yang menancap di tubuhnya. Cantik, pantas saja Mas Haris tergila-gila padanya. Seketika, aku limbung. Padahal sudah kucoba untuk menguatkan hati, nyatanya tetap sakit jika tau kebenerannya."Bu, Ibu siapa? Kenapa main masuk begitu saja?" tanya Perawat yang tadi membukakan pintu untukku. Kulihat namanya, Reni."Saya Arumi. Istri dari Mas Haris. Kenapa?"Perawat yang tengah terlelap itu, langsung bangun begitu mendengar suaraku. Kulihat namanya, Mira. Ia segera mengeluarkan ponselnya."Ke-kenapa mau ke sini?""Jangan coba-coba menelepon Mas Haris!" sentakku.Wanita itu menatapku, lalu mengangguk. Ponselnya ia masukkan ke dalam sakunya lagi."Ke mana, Mas Haris?""Pak Haris ...""Iya, ke mana?""Ada apa, Sus?"Tepat! Aku langsung keluar dari kamar dan berdiri di depan Mas Haris yang tengah menggulung baju lengannya."A-a-arumi!"Mau apa kamu sekarang, Mas?"A-arumi?" Aku tersenyum miring di hadapannya. Tak kusangka, jika wajah yang sok mencintaiku ini, ternyata telah menusukku dari belakang. "Kamu, ngapain di sini?" "Mas sendiri ngapain di sini?" tanyaku. "Oh, a-aku lagi jenguk saudara, Rum." "Oh, yang sakit di dalam itu, saudaramu?" tanyaku. Mas Haris mengangguk. Kupikir, jika ketahuan begini ia akan marah atau apa? Mengingat kemarin dia mengatakan benci dan dendam padaku ke temannya sewaktu di cafe. Tapi lihat lah sekarang. Dia bahkan tak mau menatapku. Keringat sebiji jagung keluar dari dahi dan pipinya. Dan sikapnya, kenapa gugup sekali? Ayo lah, Mas! Keluarkan kebencian yang kamu beritahu kemarin. "Kok aku nggak tahu kalau ada saudaramu di sini?" tanyaku, mencoba melihat kejujuran dalam matanya. Namun, nihil. Karena ia malah mencurigaiku. "Kamu, kenapa bisa sampai di sini? Kamu, membuntutiku?" "Aku dari rumah teman kemarin. Di sekitar sini juga. Terus nggak sengaja lihat kamu ke sini. Istri mana yang tak curiga?" tanyaku
"E-enggak, kok. Aku mengatakan jujur semuanya." "Iya, kah?" Mas Haris mengangguk. Lalu menatap Arumi yang tengah terbaring dengan mata tertutup itu. Sejujurnya, aku tak boleh membencinya meski aku kesal karena Mas Haris ternyata menjadikanku media balas dendam saja. Karena bagaimana pun, Arumi juga korban kecelakaan di mana aku ada di dalam mobil itu. Namun, aku bukan tak ingin tanggung jawab. Bukan kah semua itu kesalahan keluarga Kinos? S*aln emang dia, sudah nabrak malah seenaknya pergi tanpa kabar dan memberi sejumlah uang pada yang bukan keluarga kandung Rumi. Dia malah menempatkan aku di posisi ini. Benar-benar lelaki menyebalkan. Andai saja dia tak kabur, pasti aku tak harus berada di sini! "Kenapa dia koma begini, Mas?" tanyaku. "Dulu, dia ditabrak oleh orang. Laki-laki yang nyetir, di sebelahnya ada pacarnya. Pas malam tahun baru, aku rencana mau jemput dia, mau kuajak ke rumah Ibu untuk liburan. Tapi, aku malah mendapati kecelakaan itu di depan mataku sendiri." Aku bis
"A-arumi." Untuk sesaat aku tertawa. Bukan seperti ini yang kuharapkan. Aku malah berharap Mas Haris bisa memarahiku agar aku bisa melampiaskan amarah ini. Tapi apa ini? Ia malah tak berkutik hingga membuatku bingung. "Aku nggak bermaksud-""Sudah, aku mau pulang. Kamu kalau mau di sini, silakan. Seperti katamu, dia butuh kamu, Mas. Sementara aku istrimu, hanya lah orang lain yang ingin kamu balaskan dendamnya. Aku, tak berhak kamu lindungi. Tak berhak kamu cintai, dan tak berhak kamu ngertiin perasaannya. Aku..." Mas Haris memelukku. Seketika air mataku mengalir deras. Allahu Rabbi ... Kenapa aku terjebak di pernikahan yang menyesakkan ini? "Lepas, Mas. Nggak usah akting lagi. Aku sudah tahu semuanya," ucapku sambil melepaskan pelukannya dan pergi keluar.Tak kuhiraukan panggilan Mas Haris. Aku terus berjalan menuju mobil Kalisa dan meminta wanita itu masuk ke mobil. Setelahnya kusuruh ia melajukan mobil menuju rumahnya. "Lu yakin mau pulang ke rumah gue dulu? Nggak mau ke cafe
"Bilang saja, bakal lu jelaskan besok ketika pulang. Ntar gue anter." "Serius?" "Iya, lah. Ga tega gue lihat lu lagi kaya gini malah pulang duluan." "Ya kan pakai ojek online." "Tetep aja, lah!""Ya udah." Aku pun mengetik sesuai saran yang dibilang oleh Kalisa tadi, lalu membuka media sosial. Banyak sekali teman-teman dunia maya yang memposting foto bersama pasangannya. Jika diingat-ingat, aku memang jarang sekali mengambil foto bersama Mas Haris. Mungkin ia malas, karena bagaimana pun, dalam hati dan pikirannya, aku adalah orang yang telah menyebabkan tunangannya koma. --Pagi hari. Aku sudah bersiap untuk pulang. Semalaman telepon dan pesan beruntun datang dari Mas Haris. Kuabaikan, hingga akhirnya tak tahan mendengar deringnya lalu kumatikan ponsel. Saat kubuka, hampir seratus pesan yang masuk. Tujuh puluh pesan darinya. Hanya spam memanggil namaku. "Kenapa? Haris ngehubungi?" "Iya, semalam. Kok bawa koper?" "Gue udah ngehubungin laki. Mau nginep di rumah nyokap." "Wah,
Seketika kepalaku sakit. Kata-kata yang dilontarkan oleh Mas Haris semakin berputar di kepala. "Arum? Arumi?" Aku langsung melepaskan tangan Mas Haris yang ada di pundakku. Saat ini tujuanku hanyalah Bunda. Aku segera berdiri, meski Mas Haris sempat menghalangi, namun aku segera menghentakkan tangannya. "Arum!" Aku berlari ke rumah Bunda, sampai di sana Kalisa masih duduk bersama Bunda. Matanya berkaca menatapku. "Bunda, jujur sama Arumi. Apa yang pernah terjadi?" "Bunda... Bunda ..." "Bunda! Katakan!" teriakku. "Rum! Jangan bentak bundamu!" bentak Kalisa. Seketika aku terdiam. Ya Allahu Rabbi! Apa yang telah kuperbuat? Astaghfirullah. "Bunda, maafkan Arumi, Bun. Arumi cuma ...""Kamu memang nggak ingat apa-apa setelah kejadian itu, Nak." Aku terdiam mendengar kata-kata Bunda. Aku tak ingat apapun? "Kamu memang sadar di tempat saat mengalami kecelakaan. Kamu bahkan teriak histeris saat melihat orang yang tertabrak itu. Tapi, setelahnya kamu pingsan. Sadar-sadar di rumah sa
Ting!Sebuah pesan masuk, dari Kalisa. Kubuka dan kubaca. [Bunda pasti punya alasan kenapa nyembunyiin semua ini dari lu. Saran gue, coba dengarkan dulu penjelasan Bunda. Gue pamit pulang ke rumah nyokap dulu. Nanti sore ke sini.] Kuletakkan lagi ponsel, lalu mencoba memejamkan mata. Hati tak tega marah pada Bunda, tapi bagaimana lagi? Aku punya alasan untuk melakukan itu. Aku berpikir lagi. Apa yang terjadi waktu itu? Kenapa aku sama sekali tak ingat? Kata Bunda dan Mas Haris aku bahkan histeris melihat tubuh Arumi. Memangnya Arumi bagaimana? "Aah, kepalaku sakit." Kurasakan nyeri yang teramat di bagian kepala. Sepertinya nihil, aku tak dapat mengingat apapun. --"Rum, ini Ayah." Aku membuka mata saat mendengar suara Ayah di balik pintu. Aku mencoba untuk duduk. "Boleh kami berikan kejelasan? Mau sampai kapan kamu mengurung diri? Keluar lah, biar Bunda jelaskan semuanya." Kali ini suara Bunda yang terdengar. Mau tak mau, aku akhirnya keluar setelah berpikir beberapa saat. Di
Kutatap dua bola mata Mas Haris. Ia masih diam membeku, mungkin tak menyangka jika aku akan menantangnya seperti ini. "Mas? Kenapa diam saja?""A-aku...""Kenapa? Apa sekarang kamu ragu, Mas?" tanyaku. "Bukan begitu, tapi..." "Lalu?" tanyaku."Aku..." "Intinya ini semua memang salahku, kan? Meski yang menabrak mantan pacarku, tapi aku ada di dalam mobil yang sama. Maka, aku takkan menceritakan pada siapapun tentang ini semua, termasuk Bunda. Jadi, kamu bebas membalaskan dendammu padaku." Aku berdiri, hendak masuk ke dalam kamar. Rasanya lelah sekali badan ini. Harus menghadapi fakta yang berkali-kali membuat tubuhku bergetar. "Aku, dengar semuanya tadi," ucap Mas Haris sambil mencekal tanganku. "Dengar apa?" tanyaku tanpa menoleh padanya. "Semua yang sudah diceritakan Bunda tadi. Aku dengar semua. Aku hendak masuk ke rumah Bunda, tapi urung karena mendengar kalian tengah membicarakan hal itu," ucapnya."Lalu?" Mas Haris menatapku. Yang membuatku terkejut, matanya memerah. Dia
Kuhela napas, lalu membuka pintu karena kamar mandi terletak di dekat dapur. Aku harus melaksanakan salat magrib yang sebentar lagi waktunya akan habis. "Rum." Kulihat Mas Haris tengah duduk di meja makan. Wajahnya memerah, namun sekuat mungkin kutahan untuk tak memedulikannya. Aku berada di kebimbangan. Antara cinta dan kecewa. "Aku mau salat, habis itu mau tidur. Jangan ganggu dulu, Mas. Aku butuh waktu." Kali ini, Mas Haris diam tak membantah. Ia mungkin menyetujui permintaanku barusan. Bagus lah. --Pagi hari.Aku terbangun, dan sedikit terkejut melihat Mas Haris sudah berdiri di depan pintu kamarku dengan memegang sajadah dan juga memakai baju koko. Ini kali pertama, aku melihatnya mau salat tanpa harus aku bangunkan terlebih dahulu. "Mau salat bareng?" tawarnya.Aku mengangguk, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Setelah melaksanakan salat subuh, Mas Haris menawarkan untuk membuatkan sarapan. Apa ini? Kenapa ia berlebihan sekali? "Cukup aktingnya, Mas.""Siapa yang aktin