"E-enggak, kok. Aku mengatakan jujur semuanya." "Iya, kah?" Mas Haris mengangguk. Lalu menatap Arumi yang tengah terbaring dengan mata tertutup itu. Sejujurnya, aku tak boleh membencinya meski aku kesal karena Mas Haris ternyata menjadikanku media balas dendam saja. Karena bagaimana pun, Arumi juga korban kecelakaan di mana aku ada di dalam mobil itu. Namun, aku bukan tak ingin tanggung jawab. Bukan kah semua itu kesalahan keluarga Kinos? S*aln emang dia, sudah nabrak malah seenaknya pergi tanpa kabar dan memberi sejumlah uang pada yang bukan keluarga kandung Rumi. Dia malah menempatkan aku di posisi ini. Benar-benar lelaki menyebalkan. Andai saja dia tak kabur, pasti aku tak harus berada di sini! "Kenapa dia koma begini, Mas?" tanyaku. "Dulu, dia ditabrak oleh orang. Laki-laki yang nyetir, di sebelahnya ada pacarnya. Pas malam tahun baru, aku rencana mau jemput dia, mau kuajak ke rumah Ibu untuk liburan. Tapi, aku malah mendapati kecelakaan itu di depan mataku sendiri." Aku bis
"A-arumi." Untuk sesaat aku tertawa. Bukan seperti ini yang kuharapkan. Aku malah berharap Mas Haris bisa memarahiku agar aku bisa melampiaskan amarah ini. Tapi apa ini? Ia malah tak berkutik hingga membuatku bingung. "Aku nggak bermaksud-""Sudah, aku mau pulang. Kamu kalau mau di sini, silakan. Seperti katamu, dia butuh kamu, Mas. Sementara aku istrimu, hanya lah orang lain yang ingin kamu balaskan dendamnya. Aku, tak berhak kamu lindungi. Tak berhak kamu cintai, dan tak berhak kamu ngertiin perasaannya. Aku..." Mas Haris memelukku. Seketika air mataku mengalir deras. Allahu Rabbi ... Kenapa aku terjebak di pernikahan yang menyesakkan ini? "Lepas, Mas. Nggak usah akting lagi. Aku sudah tahu semuanya," ucapku sambil melepaskan pelukannya dan pergi keluar.Tak kuhiraukan panggilan Mas Haris. Aku terus berjalan menuju mobil Kalisa dan meminta wanita itu masuk ke mobil. Setelahnya kusuruh ia melajukan mobil menuju rumahnya. "Lu yakin mau pulang ke rumah gue dulu? Nggak mau ke cafe
"Bilang saja, bakal lu jelaskan besok ketika pulang. Ntar gue anter." "Serius?" "Iya, lah. Ga tega gue lihat lu lagi kaya gini malah pulang duluan." "Ya kan pakai ojek online." "Tetep aja, lah!""Ya udah." Aku pun mengetik sesuai saran yang dibilang oleh Kalisa tadi, lalu membuka media sosial. Banyak sekali teman-teman dunia maya yang memposting foto bersama pasangannya. Jika diingat-ingat, aku memang jarang sekali mengambil foto bersama Mas Haris. Mungkin ia malas, karena bagaimana pun, dalam hati dan pikirannya, aku adalah orang yang telah menyebabkan tunangannya koma. --Pagi hari. Aku sudah bersiap untuk pulang. Semalaman telepon dan pesan beruntun datang dari Mas Haris. Kuabaikan, hingga akhirnya tak tahan mendengar deringnya lalu kumatikan ponsel. Saat kubuka, hampir seratus pesan yang masuk. Tujuh puluh pesan darinya. Hanya spam memanggil namaku. "Kenapa? Haris ngehubungi?" "Iya, semalam. Kok bawa koper?" "Gue udah ngehubungin laki. Mau nginep di rumah nyokap." "Wah,
Seketika kepalaku sakit. Kata-kata yang dilontarkan oleh Mas Haris semakin berputar di kepala. "Arum? Arumi?" Aku langsung melepaskan tangan Mas Haris yang ada di pundakku. Saat ini tujuanku hanyalah Bunda. Aku segera berdiri, meski Mas Haris sempat menghalangi, namun aku segera menghentakkan tangannya. "Arum!" Aku berlari ke rumah Bunda, sampai di sana Kalisa masih duduk bersama Bunda. Matanya berkaca menatapku. "Bunda, jujur sama Arumi. Apa yang pernah terjadi?" "Bunda... Bunda ..." "Bunda! Katakan!" teriakku. "Rum! Jangan bentak bundamu!" bentak Kalisa. Seketika aku terdiam. Ya Allahu Rabbi! Apa yang telah kuperbuat? Astaghfirullah. "Bunda, maafkan Arumi, Bun. Arumi cuma ...""Kamu memang nggak ingat apa-apa setelah kejadian itu, Nak." Aku terdiam mendengar kata-kata Bunda. Aku tak ingat apapun? "Kamu memang sadar di tempat saat mengalami kecelakaan. Kamu bahkan teriak histeris saat melihat orang yang tertabrak itu. Tapi, setelahnya kamu pingsan. Sadar-sadar di rumah sa
Ting!Sebuah pesan masuk, dari Kalisa. Kubuka dan kubaca. [Bunda pasti punya alasan kenapa nyembunyiin semua ini dari lu. Saran gue, coba dengarkan dulu penjelasan Bunda. Gue pamit pulang ke rumah nyokap dulu. Nanti sore ke sini.] Kuletakkan lagi ponsel, lalu mencoba memejamkan mata. Hati tak tega marah pada Bunda, tapi bagaimana lagi? Aku punya alasan untuk melakukan itu. Aku berpikir lagi. Apa yang terjadi waktu itu? Kenapa aku sama sekali tak ingat? Kata Bunda dan Mas Haris aku bahkan histeris melihat tubuh Arumi. Memangnya Arumi bagaimana? "Aah, kepalaku sakit." Kurasakan nyeri yang teramat di bagian kepala. Sepertinya nihil, aku tak dapat mengingat apapun. --"Rum, ini Ayah." Aku membuka mata saat mendengar suara Ayah di balik pintu. Aku mencoba untuk duduk. "Boleh kami berikan kejelasan? Mau sampai kapan kamu mengurung diri? Keluar lah, biar Bunda jelaskan semuanya." Kali ini suara Bunda yang terdengar. Mau tak mau, aku akhirnya keluar setelah berpikir beberapa saat. Di
Kutatap dua bola mata Mas Haris. Ia masih diam membeku, mungkin tak menyangka jika aku akan menantangnya seperti ini. "Mas? Kenapa diam saja?""A-aku...""Kenapa? Apa sekarang kamu ragu, Mas?" tanyaku. "Bukan begitu, tapi..." "Lalu?" tanyaku."Aku..." "Intinya ini semua memang salahku, kan? Meski yang menabrak mantan pacarku, tapi aku ada di dalam mobil yang sama. Maka, aku takkan menceritakan pada siapapun tentang ini semua, termasuk Bunda. Jadi, kamu bebas membalaskan dendammu padaku." Aku berdiri, hendak masuk ke dalam kamar. Rasanya lelah sekali badan ini. Harus menghadapi fakta yang berkali-kali membuat tubuhku bergetar. "Aku, dengar semuanya tadi," ucap Mas Haris sambil mencekal tanganku. "Dengar apa?" tanyaku tanpa menoleh padanya. "Semua yang sudah diceritakan Bunda tadi. Aku dengar semua. Aku hendak masuk ke rumah Bunda, tapi urung karena mendengar kalian tengah membicarakan hal itu," ucapnya."Lalu?" Mas Haris menatapku. Yang membuatku terkejut, matanya memerah. Dia
Kuhela napas, lalu membuka pintu karena kamar mandi terletak di dekat dapur. Aku harus melaksanakan salat magrib yang sebentar lagi waktunya akan habis. "Rum." Kulihat Mas Haris tengah duduk di meja makan. Wajahnya memerah, namun sekuat mungkin kutahan untuk tak memedulikannya. Aku berada di kebimbangan. Antara cinta dan kecewa. "Aku mau salat, habis itu mau tidur. Jangan ganggu dulu, Mas. Aku butuh waktu." Kali ini, Mas Haris diam tak membantah. Ia mungkin menyetujui permintaanku barusan. Bagus lah. --Pagi hari.Aku terbangun, dan sedikit terkejut melihat Mas Haris sudah berdiri di depan pintu kamarku dengan memegang sajadah dan juga memakai baju koko. Ini kali pertama, aku melihatnya mau salat tanpa harus aku bangunkan terlebih dahulu. "Mau salat bareng?" tawarnya.Aku mengangguk, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Setelah melaksanakan salat subuh, Mas Haris menawarkan untuk membuatkan sarapan. Apa ini? Kenapa ia berlebihan sekali? "Cukup aktingnya, Mas.""Siapa yang aktin
"Ke-kenapa, Mas?" tanyaku, meski dalam hati sudah bisa menebak alasan apa yang membuatnya begitu bahagia. "Arum, Rumi sadar." Tiba-tiba tubuhku oleng. Aku mundur satu langkah ke belakang hingga memegangi kursi makan. Rumi, sudah sadar? Lalu, bagaimana ke depannya? "Oh, ya?" Mas Haris mengangguk. "Aku akan ke Kota dulu." Aku menatapnya. Baru saja ia mengatakan cinta padaku, namun kini sudah akan pergi menemui tunangannya di masa lalu? Bagaimana aku bisa yakin dengan cintamu, Mas? "Aku ikut," ucapku. "Ikut? Kenapa?" "Kok kenapa? Bukannya aku istrimu?" "Iya, tapi nanti Rumi..." "Bukan kah katamu, kamu mencintaiku? Apa sekarang cinta itu tiba-tiba lenyap karena kamu mendengar Rumi telah sadar?" tanyaku. "Bukan begitu maksudku, tapi-" "Aku ikut." Aku pun masuk ke dalam kamar, berganti pakaian dan menyiapkan pakaian ganti. Karena aku memiliki firasat, Mas Haris akan di sana selama beberapa hari hingga akhirnya nanti harus kembali bekerja. Dalam perjalanan, kami sama-sama diam