Air mataku menetes. Kesedihan yang sedari kemarin kurasakan, akhirnya tak mampu lagi kubendung. Pertahananku runtuh, aku terisak. "Jangan pernah tinggalkan aku meski itu karena permintaan Ibu. Aku sudah nyaman sama aku. Dan perasaanku pada Rumi, sudah menghilang semuanya," ucap Mas Haris. 'Itu malah membuatku semakin berat melepasmu, Mas. Berhentilah mencintaiku,' bathinku. --Sore hari. Kami sampai di rumah sebelum adzan ashar berkumandang. Ternyata, Nadia sudah pulang. Wanita yang kini sudah beranjak dewasa itu menghambur ke pelukanku. "Kangen, Kak." "Alah, baru juga bulan kemarin ketemu." "Ishhh! Susah tahu nemu temen kaya Kak Yumii." Yumi adalah panggilan dari Nadia padaku. Dulu, dia anak cadel. Susah sekali mengatakan huruf R dan K. Ia selalu mengubahnya menjadi Y atau L dan T. Dan itu kebawa sampai sekarang saat ia memanggil namaku. "Eh, Mas Haris!" ucap Nadia sambil menyalami kakak iparnya itu. Kami pun masuk ke dalam rumah Bunda, dan duduk di ruang tamu. Tak lama ke
"Siapa?" tanya Mas Haris. "Rumi." Mas Haris mengangkat panggilan itu. Belum juga mengeluarkan suara, sudah terdengar gelak tawa dari seberang sana. Aku sampai mengerutkan dahi. Kenapa dengan Rumi? "Hahaha, aku dengar, kamu menceraikan Mas Haris? Hahaha, bagus, Arum! Nggak sia-sia aku menyuruh Ibu untuk membujukmu agar mau menerimaku sebagai madu," ucap Rumi dengan tawa membahana. Bagai tersambar petir di siang bolong, aku dan Mas Haris terkejut. Jadi, ini semua rencana Rumi? "A-apa maksudmu?" tanyaku. "Yah, meski aku sakit hati karena tahu kalian ternyata suami istri, tapi aku senang karena kamu akhirnya meengalah. Awalnya aku kaget pas Ibu dan Lina membicarakan kalian. Sakit hatinya itu, loh. Aku koma tiga tahun, tapi tunanganku malah menikahi kamu. Syukur lah kalau kalian akan bercerai. Aku tak perlu susah payah merebut Mas Haris karena kamu sudah melepaskannya." Setelahnya telepon di tutup begitu saja. Mas Haris bahkan terbengong mendengar ucapan Rumi. Bukan dia saja, melain
"Arum pikirkan nanti, Bu."--Malam hari.Aku membicarakan semua itu dengan Bunda dan Ayah, sementara Nadia tengah pergi entah ke mana. Reaksi Ayah dan Bunda benar-benar di luar dugaanku. "Kamu, mengajukan gugatan cerai, Rum?" tanya Bunda. "Iya, Bun. Apa Bunda dan Ayah akan menghalangi?" Bunda dan Ayah saling memandang, kemudian tersenyum. "Kami takkan menghalangi. Ini rumah tanggamu, kamu yang menjalani. Pesan Ayah dan Bunda, jangan terlalu gegabah. Karena pada dasarnya, Allah membenci perceraian." "Pernikahan ini dimulai dengan niat yang tidak baik. Arumi khawatir, akan mendatangkan keburukan selama kami melangsungkan rumah tangga ini." "Apa Haris setuju?" Aku menggeleng. Bahkan tadi di rumah pun, ia marah karena aku bersikeras meminta cerai darinya. "Ayah dan Bunda cuma bisa mendo'akan yang terbaik untuk semua, terutama untuk kamu, Nak. Selagi kamu senang, bahagia, dan nyaman, Bunda takkan melarang." Aku mengangguk. Pernikahan ini, memang harus diakhiri. Menyakitkan memang
"Mas, kamu ngapain?" tanyaku saat melihat Mas Haris tengah bersujud di belakangku. "Tolong, jangan ceraikan aku, Rum. Kita bisa memulainya lagi dari awal. Memang salahku yang tanpa hati berniat membalaskan dendam padamu. Tapi percaya lah, Rum. Di hatiku cuma ada kamu seorang sekarang!" ucap Mas Haris mengiba."Maaf, Mas. Keputusanku sudah bulat. Sudah tidak bisa ditolerir dan juga diganggu gugat lagi. Sebuah hubungan yang dimulai dengan niat yang buruk, tak akan bisa berlangsung lama."Mas Haris menangis, sementara aku berjalan meninggalkannya. Biar lah, tak usah kupedulikan. Dia laki-laki. Bukankah katanya kalau laki-laki bisa dengan mudahnya berpindah hati? Semoga kamu menemukan kebahagiaanmu bersama Rumi, Mas.Aku pun melangkah menuju halaman rumah Bunda. Kulihat wanita itu merentangkan nyawanya, beliau memasang wajah sendu. "Selamat datang kembali, anakku," ucap Bunda, dengan tangis tertahan."Bunda." Aku mendekatkan diri pada wanita yang sudah melahirkanku itu. Air mata yang s
"Tadi jam sepuluh, Ayah suruh Haris buat pulang. Kami gak tega liat dia di depan rumah terus. Tetangga juga pada berkerumun karena kaget mendengar teriakan Haris. Bunda, gak tega lihat dia begitu. Tapi, Bunda lebih gak tega lagi melihat anak perempuan Bunda hidup bersama bayang masa lalu suaminya. Kamu yakin sudah ikhlas, Rum?" tanya Bunda. Untuk sesaat aku terdiam. Ikhlas? Sesuatu yang sangat sulit kugapai saat ini. Aku terpaksa mengangguk, karena tak ingin melihat Bunda kepikiran. "Sabar. Akan ada pelangi setelah hujan," ucap Bunda. "Aamiin." -Pagi hari. "Haris tadi nitip kunci, sama nafkah buat kamu," ucap Bunda ketika aku keluar dari kamar. "Kenapa Bunda terima uangnya? Harusnya kasihkan saja ke dia." "Sudah, tapi dia maksa." Aku mengangguk, lalu masuk lagi ke kamar untuk menaruh benda tadi, sekaligus mengecek amplopnya. Ternyata, selain uang juga ada surat di dalamnya.[Dear, Arumi Putri Nur Handayani. Aku tak salah menyebut nama, kan? Hehe. Aku minta maaf atas semua k
"Jodoh tak akan ke mana, kita pasti akan dipertemukan kembali," ucap Mas Haris yang membuatku mengangguk. Benar, jodoh tak akan ke mana. Aku pun berbalik, lalu bersama Nadia melangkah menuju mobil. Setiap langkah, tak hentinya aku beristighfar. Sekarang, status kami sudah lain. Aku dan dia, sudah beda jalan. Bukan karena membenci, namun karena mencintai. Miris. Nadia menggandeng tanganku, ia terus menguatkan hingga akhirnya kami sampai di mobil dan pulang ke rumah. Sampai di rumah, aku melihat beberapa tetangga memperhatikanku. Wajar, mereka pasti masih penasaran kenapa Mas Haris di luar rumah, saat itu. Bunda memelukku. Menguatkan dan mengatakan bahwa akan ada kebahagiaan setelah ini. Aku mengangguk seraya meng-aamiinkan. Ah, Bunda. Beruntungnya aku memiliki orang tua sepertimu dan Ayah. Aku masuk ke dalam kamar. Di kamar, aku menangis lagi. Ah, padahal aku sudah janji untuk tak mengeluarkan air mata. Namun jika begini, rasanya sangat sakit.Allahu Rabbi... --Esok hari. Aku b
Aku terdiam. Bingung harus menjawab apa? Masa iya kujawab jika aku adalah calon istri Mas Haris? Apa kata mereka nantinya? Duh, mentalku kena. Dasar ibu-ibu nggak ada kerjaan. Setiap hari pemandangan yang kulihat adalah Mas Haris yang seperti orang tak memiliki tujuan hidup. Kegiatannya selalu kerja, pulang, mandi, makan, salat. Ia semakin mengabaikanku. "Mas, kenapa kamu berubah?" tanyaku saat Mas Haris tengah duduk di teras, pandangannya lurus menatap ke bintang dan bulan yang ada di langit. "Siapa yang berubah, Rum?" tanya Mas Haris sambil mendorong kursi rodaku. "Kamu sekarang menjadi pendiam. Berbeda sekali dengan dulu. Dulu, kamu bahkan selalu-""Dari waktu ke waktu, tumbuhan yang segar pun bisa berubah menjadi layu lalu mengering. Semua manusia, nggak mungkin sama sifat dan sikapnya dari waktu ke waktu." "Begitupun perasaanmu sama aku?" tanyaku pada Mas Haris. "Nggak. Aku masih sayang sama kamu." "Sebagai?" Lama Mas Haris terdiam, kemudian tersenyum dan mengajakku masuk
Aku mengambil ponsel, lalu mencari nomor seseorang di masa lampau. Setelah dapat, segera kukirim pesan padanya.[Oke. Tapi sekarang sudah beda harga.] [Sip.]Aku tersenyum, lalu memasukkan ponsel ke saku celana lagi, dan membantu Ibu memasak. Aku, tak pernah seumur hidupku tak mendapatkan apa yang kuinginkan. Jika aku sudah menginginkan sesuatu, aku pasti akan mendapatkannya. Siang hari. Aku sedang menyiram bunga kesukaan Ibu di halaman, saat kulihat Gina lewat. Gina, satu-satunya teman perempuan Mas Haris. Aku sangat tak suka dengannya. Perempuan yang selalu bisa membuat Mas Haris menolak ajakanku dengan alasan pertemanan. Meski kami tak pernah bertemu, tapi beberapa kali aku pernah melihat wajahnya sehingga dengan mudah mengenali."Gina!" teriakku. Gina menoleh, lalu menunjuk dirinya sendiri. Ia pun mendekat, mungkin tak menyangka jika aku memang mengenalinya. "Maaf, Mbak, panggil saya?" "Iya, nama kamu Gina, kan?""Oh, iya. Mbak yang namanya Arumi juga kan? Yang saudara jauhn