Aku berbalik menuju mobil, lalu menatap Arum yang sedang memakan rujak. Entah apa yang Kinos katakan, hingga wanita itu tertawa begitu lebar. Apakah kamu sudah melupakan aku, Rum? Apa kamu, sudah berhasil move on dan memilih Kinos? Apa kita tak bisa bersama? Kenapa, Rum? Kenapa kamu tak bisa menungguku? Kunyalakan mobil, lalu melaju melewatinya. Entah karena sengaja atau tidak, tepat mobilmu melewatinya, Arum menoleh dan memeperhatikan. Dia, tak mungkin tahu aku di dalam sini, kan? Mobil kulajukan ke tukang buah. Rumi mengirim pesan untuk membelikan buah sebagai cuci mulut setelah makan. Ah, Rumi. Kenapa perasaan ini habis tak bersisa untukmu? Seakan aku tak pernah mencintaimu, padahal dulu kami melewati hari dengan selalu bersama-sama. "Jeruknya sekilo, sama anggurnya dua kilo, ya, Pak," ucapku. "Ini, Pak." "Berapa?""Dua ratus lima belas ribu." Kuulurkan uang dan membawa buah itu ke dalam mobil. Pantas mahal, ternyata anggurnya kualitas super. Besarnya saja melebihi jempolku
Tok! Tok! Kuketuk pintu. Tak lama kemudian, wajah Ayah yang pertama kali kulihat. Beliau sedikit terkejut melihatku datang, lalu memelukku. "Ayah sudah bilang, kalau mau main, main aja. Asal siang hari. Kenapa tak pernah datang." "Sibuk, Yah," jawabku. "Ayo duduk, biar Ayah panggilkan Bunda." Aku mengangguk. Dulu, aku bisa bebas keluar masuk rumah ini. Namun sekarang rasanya berbeda, aku terasa canggung berada di sini. Apalagi statusku sekarang adalah tamu. Ke mana Arumi? Kenapa tak kelihatan? Apa tak di rumah, ya? Tak lama Bunda keluar, menghampiriku dan memeluk. Mereka berdua, meski baru beberapa tahun hidup bersama, namun sudah seperti orang tua kandungku sendiri. "Kok gak kasih kabar mau ke sini, Ris? Kan Bunda bisa masak dulu." "Nggak papa, Bun. Lagian Haris cuma sebentar saja." Bunda mengangguk. Lalu kami mulai bercerita. Hingga lama aku tak melihat Arumi keluar, sepertinya dia memang sedang tak di rumah."Arumi ke mana, Bun?" "Arumi? Di-dia, lagi pergi ke luar sebenta
"Kenapa dia semarah itu, sih, cuma gara-gara tehnya diminum sama kamu, Han?" tanyaku pada Hana. "Misinya gak berjalan lancar," gumam Hana, namun aku bisa mendengarnya dengan jelas. "Hah? Misi apa?""Eh? Enggak, kok. Mas salah denger. Udah ah, aku mau ke kamar, mau belajar. Besok ada ulangan." "Belajar yang rajin ya, adikku," ucapku sambil nsngacak rambutnya. "Ish! Kebisaan," ucap Hana sambil membenarkan rambutnya.Hana sikapnya berubah padaku sejak tahu kalau aku menikahi Arum hanya untuk balas dendam. Ya wajar, sih. Ia pasti kecewa. Karena ia paling dekat dengan Arum. Yang mengetahui tujuan pernikahanku adalah Ibu dan Lina saja. Aku pun masuk ke dalam kamar, menatap langit-langit kamar sambil merebahkan diri. Ucapan Kinos tadi terngiang di kepala. - Flashback, On-"Bunda, sebenarnya, Kinos ingin menikahi Arum." Terdengae ucapan Kinos pada Bunda sewaktu aku datang kembali ingin memberikan buah dan kue. "Menikah?" "Iya, Bunda. Apakah Bunda setuju?" "Tapi, Arum belum selesai
"Apa, Bu? Menikah?" "Iya. Kamu dan Rumi kan sudah lama menjalin hubungan. Sudah saling tahu satu sama lain," ucap Ibu yang membuat senyumku mengembang. "Haris pikirkan nanti, Bu." Saat mendengar suara langkah kaki dari dalam, aku segera memutar kursi rodaku menuju dapur dan berpura-pura mengambil minum. Saat menoleh, Mas Haris tengah memprerhatikanku. "Kenapa, Mas?" tanyaku. "Oh, nggak. Aku mau beli sarapan, kamu mau nitip?" tanyanya. "Boleh, apa aku boleh ikut, Mas?" tanyaku. Kami dulu sering sekali jalan-jalan bersama. "Nggak usah, Rum, biar aku saja." Aku mengangguk, meski kecewa. Sepertinya Mas Haris memang malu jalan denganku. Yah, siapa yang tak malu jika memiliki pasangan yang hanya punya sebelah kaki dan sebelah pergelangan tangan? Tak lama kemudian, Lina keluar sambil memakai jaket, ia tersenyum menatapku. "Mbak, mau ikut jalan-jalan pagi?" tawarnya. "Apa kamu nggak malu, Lin?" tanyaku. "Ngapain malu? Mau, nggak?" Aku mengangguk. Setelah beberapa hari tinggal di
"Ha-Hana?" "Lagi bikin apa, Mbak? Kenapa ga panggil Hana? Kan nanti dibantuin," ucapnya. "O-oh, ini mau bikin teh buat Mas Haris," jawabku. "Oh, dia ngelamun lagi, ya? Kayaknya memang cinta banget sama Mbak Arum, makanya sampe ngelamun terus," ucap Hana sambil berlalu ke kamarnya. Meski kesal karena dia membawa-bawa Arum, tapi setidaknya aku bisa bernapas lega karena dia tak curiga. Andai tadi ketahuan, bisa-bisa aku langsung diusir dari sini. "Membayangkannya saja aku udah merinding," ucapku sambil menatap botol kecil yang sempat kumasukan ke dalam saku. "Kamu harapanku satu-satunya. Semoga setelah ini Mas Haris akan berpaling dari Arum dan kembali padaku," Kupegang teh itu dengan tangan normalku, sementara untuk memutar roda, aku menggunakan lengan sebelah kiri. Meski terasa kaku, namun aku seperti sudah terbiasa sekarang. Aku mendekat pada Mas Haris, dan menyerahkan air minum itu di setelahnya. Setelahnya aku tersenyum, dan memanggil Mas Haris yang seperti tengah melamun.
"Bu, sepertinya memang Arum sudah bahagia." Terdengar suara Mas Haris di kamar ibunya."Iyakah? Sabar, Nak, mungkin kalian memang tak berjodoh." Mas Haris, sampai kapan kamu akan memikirkan Arum terus? Kenapa kamu tak bisa melihatku? --Pov Haris Kini setiap pulang kerja, kegiatanku bertambah dengan melihat Arum. Wanita itu, kini terlihat semakin bahagia. Setiap hari, selalu ada Kinos di setiap sorenya. Apakah mereka benar-benar akan bahagia? "Sepertinya Arum memang sudah bahagia, Bu," ucapku kala aku berada di kamar Ibu. Aku memang lebih dekat dengan Ibu dari pada Bapak. Dan lagi, Ibu lebih bisa diajak curhat. Bapak sedari awal memang menyayangkan kami yang bercerai, karena beliau memang sudah menyukai Arum. Bahkan dulu, beliau tak menyakai Rumi sebanyak menyukai Arum. Dari sini aku sadar, Arum juga telah banyak memberikan hal positif bagi keluargaku. Meski umur pernikahan kami hanya sampai di empat bulan. "Iyakah? Sabar, Nak, mungkin kalian memang tak berjodoh."Ucapan Ibu b
Arum dan Kinos menoleh. Wajah wanita yang sangat kucintai itu terkejut. Ah, padahal setiap hari aku melihatnya, namun kenapa aku seperti lama tak melihatnya? Kenapa ia bertambah cantik? "Mas Haris?""Ngapain kamu di sini?" tanya Kinos, sok ikut campur. "Lebih baik kamu diam, karena ini urusanku dengan Arumi." "Tak bisa begitu, lah. Arumi kan-""Calon istrimu?" "Eh?" Aku menoleh pada Arumi yang terlihat terkejut. "Waktu itu, kamu bukannya sudah ke mobil, Mas?" tanya Arum. Aku hanya diam saja. "Jadi kamu mendengar semuanya?" Aku berjalan mendekat padanya, terlihat mata Arumi berkaca-kaca. "Jadi kapan, kamu mau ngasih tahu sama aku kalau kamu hamil? Kalau ada anakku di dalam perutmu?" tanyaku, berusaha menahan tangis. "Rum, sebaiknya kita pulang," ajak Kinos."Sebaiknya kamu pulang, dan kalau kamu tahu diri, sebaiknya kamu pergi. Karena ini tak ada sangkut pautmya denganmu," ucapku. "Iya, Mas, aku hamil anakmu." Air mata itu lolos begitu saja. Bahagia, sedih, dan kecewa, bercam
Arum hanya diam saja, tapi aku bisa melihat mendung di wajahnya. Ini semua gara-gara Rumi. Aku mendorong kursi rodanya sampai ke teras. Ia terlihat senang, mungkin mengira aku ingin berduaan dengannya. "Kenapa, Mas?" tanyanya dengan senyum lebar. "Kenapa kamu ngomong kaya gitu di depan Arum tadi?" tanyaku pada Rumi. "Memang kenapa, Mas? Aku hanya berusaha mengundangnya ke acara pernikahan kita nanti." "Nggak, ada niat lain pada dirimu. Iya, kan?" Rumi terlihat kegalagapan. Nah, panik kan dia? "Ngga kok, Mas. Kenapa kamu mikirnya jelek gitu ke aku, sih?" "Arum lagi hamil, anakku. Jadi, jangan sampai kamu mempengaruhi kehamilannya, Rum." "Ha-hamil?" tanyanya."Ya," jawabku sambil berlalu meninggalkannya. -Pov Rumi Aku terkejut melihat kedatangan Arum ke sini. Mau apa wanita itu? Kenapa ia bisa datang dengan Mas Haris? Apa mereka datang bersama? Jadi, Mas Haris habis dari rumahnya? Perlakuan Ibu dan adik-adik Mas Haris pada wanita itu sungguh berlebihan. Bahkan Hana, yang pad