"Tenang, tarik napas dulu. Tadi, kamarnya kamu kunci, nggak?" tanya Mas Haris. Aku menggeleng, karena tadi aku ngantuk sekali, sehingga tak terpikirkan untuk mengunci pintu. "Kenapa?" "Lupa, Mas. Aku ngantuk tadi."Mas Haris mengusap pundakku. Bukan apa-apa, perhiasan itu pemberian Bunda sewaktu aku hendak menikah, dan itu merupakan kalung warisan turun temurun dari almarhumah Nenek. Bagaimana aku menceritakannya pada Bunda nanti? "Sudah, nanti kita pikirkan bagaimana caranya. Sekarang, kita keluar. Kamu belum makan, kan?" Aku mengangguk, kemudian mengambil hijab dan berjalan keluar bersama Mas Haris. Meski sedang tak selera, namun Bunda sedari tadi memperhatikanku karena aku tak kunjung memakan sayur katuk yang sudah beliau buat. "Jangan tampakkan kita ada masalah, Rum. Nanti kita cari sama-sama, siapa tahu nyelip," ucap Mas Haris. "Iya, Mas. Jangan sampai hilang. Kata Bunda, itu kalung dari Nenek ketika Bunda menikah," ucapku. "Hampir tiga puluh tahunan dong, ya?" "Iya." R
"Tapi, Bu-" "Haris, bisa antar kami?" tanya Ibu yang membuat keningku berkerut. Kenapa meminta antar? Bukankah Bapak membawa mobil sendiri ke sini? "Antar, Bu?" "Iya." Mas Haris pun mengangguk, kemudian masuk ke dalam kamar untuk mengambil kunci. Aku segera mengikutinya, dan menjelaskan tentang sikapku tadi. "Mas, aku nggak bermaksud untuk melakukan itu semua. Aku nggak mencurigai keluargamu. Aku cuma nanya aja, sesuai kesepakatan kita, kan?" tanyaku pada Mas Haris yang tengah memakai jaket. "Iya, Rum. Mas ngerti, kok. Ya sudah, Mas antar mereka dulu, ya? Mungkin Bapak kecapekan, jadi malas nyetir. Nantj biar mobil Bapak, dibawa sama Lina." Aku mengangguk kemudian mengantar mereka sampai ke teras, meski sikap Ibu padaku berubah seratus delapan puluh derajat. "Hati-hati di jalan, Bu," ucapku. Ibu hanya mengangguk, kemudian masuk ke daam mobil. Aku melambaikan tangan saat Lina membunyikan klakson mobil dan melesat pergi. "Bagaimana bisa kalung dari nenekmu hilang, Rum? Itu sud
"Ha-hana," ucapku, sungguh tak kusangka jika adik bungsu suamiku itu tega sekali melakukan hal itu. Aku mendekat pada mereka, hingga aku sadari, ada dua ekspresi di sini. Hana seakan tertekan, dan Wulan yang demikian senangnya.Aku semakin mendekat, membuat jarak di antara kami kian mengikis. Adik bungsu suamiku itu menunduk, sementara Wulan mengangguk-anggukan kepala. "Hana," ucapku. Hana mendongak, kedua matanya membeliak lebar. Sementara Wulan, yang tengah meniti inci demi inci kalung itu, langsung menyembunyikan di sakunya. Tapi telat, karena aku sudah melihatnya sedari tadi. B*d*h sekali mereka yang bahkan tak menyadari ada aku di sini. Minimal, mereka harus melihat situasi, jika memang hal ini adalah sesuatu yang mereka sembunyikan. "Kak Arum." "Rum, ngapain di sini?" tanya Wulan. Aku tebak, wanita itu tengah gelisah bukan main. Aku jadi tahu mental asli perempuan ular di hadapanku ini. Ia akan menjelma menjadi singa, di tempat yang dia kira bahwa dia lah penguasanya. Namu
Kumasukkan kalung ke tempat yang lebih rahasia lagi, lalu mengambil baju dan masuk ke dalam kamar mandi. Kami memang menerapkan kebersihan, sebelum akhirnya memegang anak terlebih itu adalah bayi. "Aduh, anak Mama, main sama Kakek tadi, ya?" Renda tersenyum sambil memperlihatkan lidahnya, membuatku semakin gemas dengan bayi berusia empat puluh satu hari itu. "Nggak nyangka ya, Sayang? Kamu sudah lahir. Jadi lah penguat bagi Mama, ya? Hanya kamu, yang akan menjadi tujuan akhir Mama. Kamu, yang akan terus mendampingi Mama." Kupeluk tubuh mungil itu, hingga ia bergerak seakan tak nyaman. Buru-buru aku membenarkan posisinya. "Kamu kenapa, Nak?" tanya Bunda. "Nggak papa, Bun,' jawabku. Rasanya, belum tepat jika aku mengobrolkan ini semua dengan Bunda, kan? "Setiap orang tua pasti akan tahu, jika anaknya sedang baik-baik saja, atau tidak baik-baik saja. Cerita lah, Bunda akan dengarkan. Atau, mau cerita sama Haris saja nanti?" tanya Bunda. Aku menggigit bibir bawahku. Cerita dengan M
"Jawab, Han! Karena apa?" bentak Mas Haris. "Sabar toh Ris! Hana ini adikmu. Jangan kasar-kasar!" "Tapi dia salah, Bu. Nggak seharusnya dilindungi seperti ini," ucap Mas Haris. Kupegang tangannya seraya menggeleng. Jika diteruskan, yang ada malah jadi panjang. Kugenggam tangan Hana, gadis yang masih duduk di bangku SMa itu mendongak, matanya sudah berkaca-kaca. "Cerita lah, Han. Kakak nggak marah seandainya alasanmu masuk akal," ucapku. "Be-benar, Kak?" tanya Hana dengan suara bergetar. "Iya. Jujur lah, biar masalah ini cepat selesai. Kasihan Renda di rumah sama Bunda, kalau masalah ini masih berlarut-larut," ucapku seraya tersenyum. Hana memelukku erat, isak tangisnya semakin kencang terdengar. Tubuhnya bergetar. Ada apa gerangan, Han? Kenapa seperti ya kamu malah berat untuk mengungkapkannya? "Maafkan Hana, Kak. Hana terpaksa melakukannya karena diancam oleh Mbak Wulan.""Diancam?" tanyaku seraya melepas pelukan. "Iya." "Memang apa yang dia gunakan untuk mengancammu sehing
"Kamu mengirimi Wulan uang, Ris?" tanya Ibu. "Nggak, Bu! Arum hanya mengada-ada saja. Mana mungkin Haris mengirimi dia uang?" "Mas!" teriakku, hingga jahitan di perut terasa sedikit perih. "Apa, sih, Dek?" "Kalau kamu mau begini terus, aku nyesal udah nikah lagi sama kamu. Mending pisah!" ucapku. Bapak mengelus pundakku, sementara Ibu langsung memeluk. Sementara Mas Haris masih terdiam. "Jangan begini, Nduk. Haris, beritahu kami apa alasanmu mengirimi uang untuk Wulan?" tanya Bapak, yang sedari tadi diam. Mas Haris terlihat frustasi. Ia mengacak rambutnya dan akhirnya duduk di sebelah Lina. Kepalanya menunduk, seolah ia menyesali perbuatannya. "Maaf, Rum. Aku cuma kasihan sama dia. Aku yang membuat dia keluar kerja." "Kok kamu? Andai dia gak jahat sama aku, dia pasti nggak akn berhenti kerja dengan terpaksa begitu, Mas. Jangan menyalahkan dirimu. Aku benci itu." "Apa yang diucapkan oleh Arum itu benar, Ris. Andai, Wulan bisa bersikap lebih dewasa, pasti dia takkan mengalami
"Kinos?" Mas Haris berdiri di hadapanku, membuatku jadi menoleh padanya. "Mau apa kamu ke sini?" "Aku ingin bertemu dengan Arumi." "Mau apa bertemu dengan istriku?""Maksud aku, mau bertemu dengan Rumi. Yang pake kursi roda. Aku, kangen sama dia."Mataku seketika membeliak, begitupun dengan Mas Haris yang langsung minggir dan menatapku. Kinos, kangen Rumi? Tunggu, sebenarnya apa yang terjadi? "Duduk dulu, Kin," ucapku mempersilakannya duduk. Kinos mengangguk dan duduk di kursi satu lagi. Mas Haris duduk di depannya, sementara aku masuk untuk membuatkan minuman. Dalam hati bertanya-tanya, ada urusan apa Kinos sampai ingin menemui Rumi? Kangen? Apa mereka memiliki hubungan?Aku menggelengkan kepala. Tak mungkin. Bukankah Rumi mencintai Mas Haris? Lagi pula, sudah delapan bulan sejak wanita itu masuk ke pesantren. Bagaimana mereka bisa memiliki hubungan?"Silakan diminum," ucapku sambil menaruh cangkir berisi teh susu kesukaannya. "Makasih, Rum. Jadi, kedatanganku ke sini, ingin m
"Duh, yang cemburu," ucapku. "Dih, siapa juga yang cemburu?!" Mas Haris pun masuk ke dalam rumah, meninggalkanku yang terbengong sendiri dengan sikapnya. Allah, kenapa pula dia cemburuan? --Sesuai kesepakatan, hari ini Kinos datang lagi dengan dua orang anggota keluarganya pada pukul satu siang. Aku kenal mereka, om dan tante dari pihak Mamanya Kinos. Rumi juga sudah pulang dijemput oleh Mas Haris dan Hana kemarin. "Rumi? Ya Allah, lama sekali, Nak? Baru sekarang kita ketemu," ucap Tante Viola. "Iya, Tante. Alhamdulillah, baik. Tante sama Om gimana kabarnya?" "Alhamdulillah baik juga." Kami pun memulai acara. Om Stevan megutarakan kedatangan mereka untuk melamar Rumi. Tante Viola terus menggenggam tanganku, karena dulu kami memang cukup dekat. Jarinya mengelus pipi Renda yang tertidur di pangkuanku. "Kedatangan kami ke sini, ingin melamar Rumi untuk keponakan saya, Kinos. Bahkan, dia mengajak untuk nikah sekalian. Demi menghindari dosa." Kami cukup terkejut mendengar ucapan