Kumasukkan kalung ke tempat yang lebih rahasia lagi, lalu mengambil baju dan masuk ke dalam kamar mandi. Kami memang menerapkan kebersihan, sebelum akhirnya memegang anak terlebih itu adalah bayi. "Aduh, anak Mama, main sama Kakek tadi, ya?" Renda tersenyum sambil memperlihatkan lidahnya, membuatku semakin gemas dengan bayi berusia empat puluh satu hari itu. "Nggak nyangka ya, Sayang? Kamu sudah lahir. Jadi lah penguat bagi Mama, ya? Hanya kamu, yang akan menjadi tujuan akhir Mama. Kamu, yang akan terus mendampingi Mama." Kupeluk tubuh mungil itu, hingga ia bergerak seakan tak nyaman. Buru-buru aku membenarkan posisinya. "Kamu kenapa, Nak?" tanya Bunda. "Nggak papa, Bun,' jawabku. Rasanya, belum tepat jika aku mengobrolkan ini semua dengan Bunda, kan? "Setiap orang tua pasti akan tahu, jika anaknya sedang baik-baik saja, atau tidak baik-baik saja. Cerita lah, Bunda akan dengarkan. Atau, mau cerita sama Haris saja nanti?" tanya Bunda. Aku menggigit bibir bawahku. Cerita dengan M
"Jawab, Han! Karena apa?" bentak Mas Haris. "Sabar toh Ris! Hana ini adikmu. Jangan kasar-kasar!" "Tapi dia salah, Bu. Nggak seharusnya dilindungi seperti ini," ucap Mas Haris. Kupegang tangannya seraya menggeleng. Jika diteruskan, yang ada malah jadi panjang. Kugenggam tangan Hana, gadis yang masih duduk di bangku SMa itu mendongak, matanya sudah berkaca-kaca. "Cerita lah, Han. Kakak nggak marah seandainya alasanmu masuk akal," ucapku. "Be-benar, Kak?" tanya Hana dengan suara bergetar. "Iya. Jujur lah, biar masalah ini cepat selesai. Kasihan Renda di rumah sama Bunda, kalau masalah ini masih berlarut-larut," ucapku seraya tersenyum. Hana memelukku erat, isak tangisnya semakin kencang terdengar. Tubuhnya bergetar. Ada apa gerangan, Han? Kenapa seperti ya kamu malah berat untuk mengungkapkannya? "Maafkan Hana, Kak. Hana terpaksa melakukannya karena diancam oleh Mbak Wulan.""Diancam?" tanyaku seraya melepas pelukan. "Iya." "Memang apa yang dia gunakan untuk mengancammu sehing
"Kamu mengirimi Wulan uang, Ris?" tanya Ibu. "Nggak, Bu! Arum hanya mengada-ada saja. Mana mungkin Haris mengirimi dia uang?" "Mas!" teriakku, hingga jahitan di perut terasa sedikit perih. "Apa, sih, Dek?" "Kalau kamu mau begini terus, aku nyesal udah nikah lagi sama kamu. Mending pisah!" ucapku. Bapak mengelus pundakku, sementara Ibu langsung memeluk. Sementara Mas Haris masih terdiam. "Jangan begini, Nduk. Haris, beritahu kami apa alasanmu mengirimi uang untuk Wulan?" tanya Bapak, yang sedari tadi diam. Mas Haris terlihat frustasi. Ia mengacak rambutnya dan akhirnya duduk di sebelah Lina. Kepalanya menunduk, seolah ia menyesali perbuatannya. "Maaf, Rum. Aku cuma kasihan sama dia. Aku yang membuat dia keluar kerja." "Kok kamu? Andai dia gak jahat sama aku, dia pasti nggak akn berhenti kerja dengan terpaksa begitu, Mas. Jangan menyalahkan dirimu. Aku benci itu." "Apa yang diucapkan oleh Arum itu benar, Ris. Andai, Wulan bisa bersikap lebih dewasa, pasti dia takkan mengalami
"Kinos?" Mas Haris berdiri di hadapanku, membuatku jadi menoleh padanya. "Mau apa kamu ke sini?" "Aku ingin bertemu dengan Arumi." "Mau apa bertemu dengan istriku?""Maksud aku, mau bertemu dengan Rumi. Yang pake kursi roda. Aku, kangen sama dia."Mataku seketika membeliak, begitupun dengan Mas Haris yang langsung minggir dan menatapku. Kinos, kangen Rumi? Tunggu, sebenarnya apa yang terjadi? "Duduk dulu, Kin," ucapku mempersilakannya duduk. Kinos mengangguk dan duduk di kursi satu lagi. Mas Haris duduk di depannya, sementara aku masuk untuk membuatkan minuman. Dalam hati bertanya-tanya, ada urusan apa Kinos sampai ingin menemui Rumi? Kangen? Apa mereka memiliki hubungan?Aku menggelengkan kepala. Tak mungkin. Bukankah Rumi mencintai Mas Haris? Lagi pula, sudah delapan bulan sejak wanita itu masuk ke pesantren. Bagaimana mereka bisa memiliki hubungan?"Silakan diminum," ucapku sambil menaruh cangkir berisi teh susu kesukaannya. "Makasih, Rum. Jadi, kedatanganku ke sini, ingin m
"Duh, yang cemburu," ucapku. "Dih, siapa juga yang cemburu?!" Mas Haris pun masuk ke dalam rumah, meninggalkanku yang terbengong sendiri dengan sikapnya. Allah, kenapa pula dia cemburuan? --Sesuai kesepakatan, hari ini Kinos datang lagi dengan dua orang anggota keluarganya pada pukul satu siang. Aku kenal mereka, om dan tante dari pihak Mamanya Kinos. Rumi juga sudah pulang dijemput oleh Mas Haris dan Hana kemarin. "Rumi? Ya Allah, lama sekali, Nak? Baru sekarang kita ketemu," ucap Tante Viola. "Iya, Tante. Alhamdulillah, baik. Tante sama Om gimana kabarnya?" "Alhamdulillah baik juga." Kami pun memulai acara. Om Stevan megutarakan kedatangan mereka untuk melamar Rumi. Tante Viola terus menggenggam tanganku, karena dulu kami memang cukup dekat. Jarinya mengelus pipi Renda yang tertidur di pangkuanku. "Kedatangan kami ke sini, ingin melamar Rumi untuk keponakan saya, Kinos. Bahkan, dia mengajak untuk nikah sekalian. Demi menghindari dosa." Kami cukup terkejut mendengar ucapan
Season 2 ( Arumi-Kinos)"Saya terima nikah dan kawinnya, Arumi Putri Nadir bintu Nadirun dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai!""Bagaimana saksi? Sah?" "Sah!" Suasana mengharu biru itu, masih terekam jelas dalam ingatanku satu tahun yang lalu. Saat Mas Kinos melamarku dan menjadikanku seorang istri. "Kita langsung pindah setelah sebulan kita di sini, ya?" pinta Mas Kinos, karena saat ini kami sedang di rumah orang tua Mas Haris. Mas Haris sendiri adalah lelaki yang dulu pernah berniat menikahiku, namun nyatanya, takdir tak berpihak pada kami. Entah karena cinta itu semakin memudar, atau memang sejak awal memang tak ada. "Iya, Mas. Aku ikut saja apa katamu," ucapku. Setelah sebulan di sana, kami memutuskan untuk pindah dari rumah Ibu ke rumah yang sudah dibeli oleh Mas Kinos. Awal rumah tangga, merupakan saat-saat bahagia yang tak pernah ingin kulewati begitu saja. Aku hidup bahagia di rumah ini. Memiliki Mas Kinos dan Kak Karin sebagai kakak iparku. Namun nyata
"Apa, Mas?" "Aku mau menikah lagi, Rum," ucap Mas Kinos sambil menundukkan kepalanya. "Me-menikah lagi? Tapi aku bagaimana? Bukankah kata kamu, akan setia sama aku, bagaimana pun keadaanku? Tapi sekarang ... Apa kamu malu mempunyai istri sepertiku, Mas?" tanyaku. "Bukan begitu. Aku tak pernah malu dan tetap menyayangimu. Aku ... Ingin punya anak, Rum. Anak yang mewarnai hari-hariku, dan juga merawatku di masa tua nanti," jelasnya yang seketika mematahkan hatiku. "Tapi kita bisa adopsi anak," jawabku, tak mau mengalah." Mas Kinos menggeleng. Hancur sudah harapanku, akan menjadi istri satu-satunya baginya. Kini, aku harus bagaimana? Haruskah aku berakhir di sini? "Dengan siapa, Mas?" "Ada. Dia anak ustadz di belakang rumah Kak Karina. Maafkan aku, Rum."Allahu Rabbi... Ternyata, dia datang ke sini bukan untuk meminta izinku, tapi untuk memberitahu bahwa ia akan menikah lagi. Jika begini, kenapa tak langsung ia selenggarakan pernikahan itu? Untuk apa ke sini? "Maafkan aku, Rum.
Mas Kinos menghela napas, sementara Ayu terlihat salah tingkah. Aku tak peduli andai dianggap tak pengertian. Kurang pengertian apa aku, sudah mau berbagi suami dengannya? Akhirnya, malam itu Mas Kinos tidur dengan Ayu. Dan untuk pertama kalinya aku tidur sendiri setelah menikah. Hatiku begitu sakit dan panas mendengar suara mereka berdua. Canda dan tawa dari Mas Kinos serta Ayu, membuat hatiku bagai ditusuk belati. Mas, apakah kamu tak ingat aku? Tak lama kemudian, lampu sebelah mati, bagaimana aku bisa tahu? Tentu, karena ac kamar ini dan kamar sebelah menyatu. Jadi separuh-an. Hal itu otomatis bisa membuatku melihat apakah lampu sebelah mati atau menyala. Tak lama, aku mendengar suara itu. Suara yang tak ingin kudengar dari mulut Mas Kinos ketika bersama wanita lain. Allahu Rabbi! Aku tak kuat! --Pagi hari. YaAku tak bisa tidur semalaman. Itu sebabnya, pagi ini aku keluar kamar lebih awal dari biasanya. Mbok Minah membantuku memetik sayuran. Tak ada obrolan di antara kami s