"Apa, Mas?" "Aku mau menikah lagi, Rum," ucap Mas Kinos sambil menundukkan kepalanya. "Me-menikah lagi? Tapi aku bagaimana? Bukankah kata kamu, akan setia sama aku, bagaimana pun keadaanku? Tapi sekarang ... Apa kamu malu mempunyai istri sepertiku, Mas?" tanyaku. "Bukan begitu. Aku tak pernah malu dan tetap menyayangimu. Aku ... Ingin punya anak, Rum. Anak yang mewarnai hari-hariku, dan juga merawatku di masa tua nanti," jelasnya yang seketika mematahkan hatiku. "Tapi kita bisa adopsi anak," jawabku, tak mau mengalah." Mas Kinos menggeleng. Hancur sudah harapanku, akan menjadi istri satu-satunya baginya. Kini, aku harus bagaimana? Haruskah aku berakhir di sini? "Dengan siapa, Mas?" "Ada. Dia anak ustadz di belakang rumah Kak Karina. Maafkan aku, Rum."Allahu Rabbi... Ternyata, dia datang ke sini bukan untuk meminta izinku, tapi untuk memberitahu bahwa ia akan menikah lagi. Jika begini, kenapa tak langsung ia selenggarakan pernikahan itu? Untuk apa ke sini? "Maafkan aku, Rum.
Mas Kinos menghela napas, sementara Ayu terlihat salah tingkah. Aku tak peduli andai dianggap tak pengertian. Kurang pengertian apa aku, sudah mau berbagi suami dengannya? Akhirnya, malam itu Mas Kinos tidur dengan Ayu. Dan untuk pertama kalinya aku tidur sendiri setelah menikah. Hatiku begitu sakit dan panas mendengar suara mereka berdua. Canda dan tawa dari Mas Kinos serta Ayu, membuat hatiku bagai ditusuk belati. Mas, apakah kamu tak ingat aku? Tak lama kemudian, lampu sebelah mati, bagaimana aku bisa tahu? Tentu, karena ac kamar ini dan kamar sebelah menyatu. Jadi separuh-an. Hal itu otomatis bisa membuatku melihat apakah lampu sebelah mati atau menyala. Tak lama, aku mendengar suara itu. Suara yang tak ingin kudengar dari mulut Mas Kinos ketika bersama wanita lain. Allahu Rabbi! Aku tak kuat! --Pagi hari. YaAku tak bisa tidur semalaman. Itu sebabnya, pagi ini aku keluar kamar lebih awal dari biasanya. Mbok Minah membantuku memetik sayuran. Tak ada obrolan di antara kami s
"Jadi, ini masakan siapa? Kamu atau Rumi?" tanya Mas Kinos pada Ayu. "Mbak Rumi, Mas. Ayu cuma bantu menggorengkan perkedel," jawab Ayu. Aku tersenyum menang. Jangan kira, kalau fisikku tak sempurna, maka kamu akan seenaknya menindasku, Yu. Aku mengantarkan Mas Kinos sampai ke depan, sementara Ayu mengikutiku di belakang. Aku sudah menduga, wanita itu pasti tengah kesal saat ini. Tapi, apa peduliku? Dia saja tak peduli pada hatiku dan seenaknya mengambil Mas Kinos. "Aku berangkat dulu. Kalian yang akur, ya." "Kamu nggak ambil libur, Mas? Kita kan harus honeymoon," pinta Ayu. "Nggak bisa, Yu." "Kantornya Mas Kinos itu nggak memperbolehkan orang beristri dua. Kamu mau, kalau pernikahan kalian ketahuan dan Mas Kinos dipecat? Mau makan batu, kamu?" tanyaku pada Ayu yang langsung dijawab dengan gelengan kepala. Mas Kinos mengulurkan tangannya padaku dan berpamitan. Tak lupa, ia pun mencium pipi kanan dan kiriku, serta kening. Hal yang sama, dilakukannya pada Ayu. Meski sudah memper
"Hahaha, becanda, Yu." "O-oh, iya, Mbak. Aku pikir apa," ucapnya lagi. Mulai kutuang telur, gula, dan pengembang ke dalam baskom mixer lalu membiarkan adonan dikocok hingga putih kental berjejak. setelahnya kutuang adonan kering dan juga cokelat bubuk, karena pemesan menginginkan blackforest untuk base kue-nya. "Mbok, mau ke mana?" tanyaku. "Itu, kayaknya sudah selesai, mau jemur dulu bentar," ucapku. "Eeh, nggak usah. Mbok kan lagi bantuin saya. Yu, tolong jemurin baju, ya?" pintaku. "Eh? Aku, Mbak?" tanyanya. "Yaiya, masa aku?" Ayu segera mengangguk dan berlalu ke belakang. Aku tersenyum, jangan harap kamu bisa menindasku, Yu. Kamu nggak tahu aja, perbuatanku di masa lalu. Bisa-bisa kukirim santet buat kamu! "Bu, apa nggak papa? Nanti kalau dia ngadu sama Bapak gimana?" tanya Mbok Minah. "Ah, sudah, Mbok. Itu urusan saya. Itu tolong masukin adonannya ke oven ya, Mbok. Saya mau bikin adonan krimnya dulu." "Siap, Bu. Sekalian Mbok mau lipetin kardus."Awalnya, pekerjaan ini
Aku segera duduk tegak setelah mendengar ucapan Mas Kinos. Ayu, minta pindah? Kenapa? "Memangnya kamu apain dia?" "Kamu nuduh aku, Mas?" tanyaku tak percaya. "Bukan. Aneh aja, kalau Ayu tiba-tiba minta pindah gitu.""Ya mana aku tahu, Mas!" sungutku sambil mengalihkan pandangan. Otakku berkelana ke sana dan ke sini. Tunggu! Apakah karena peristiwa tadi siang? Apa karena ia kusuruh untuk ikut membersihkan rumah? "Sebenarnya, aku suruh dia buat bantuin bebenah." "Apa? Kok kamu gitu, Dek? Kan ada Mbok Minah," ucap Mas Kinos. "Ingat, Mas. Mbok Minah untuk asistenku, bukan asisten dia. Yang bayar Mbok Minah juga kan Ibu, bukan kamu!" "Iya, maaf." Mas Kinos memelukku. Allah, jaga dia untukku. Tak apa hatinya berpaling, asal otaknya masih bisa berpikir jernih. "Maafkan aku ya, Dek. Aku sudah mengkhianati pernikahan ini. Aku malah hampir tak percaya denganmu," ucapnya. Aku mengangguk. Mungkin terkesan aku ini bucin. Tapi, andai kalian mengalami posisiku, pasti tak akan berpikir beg
Seketika Ayu menunduk, sementara aku langsung masuk ke dalam rumah. Terlihat Renda yang sedang gemar berjalan ke sana dan ke mari. Ia datang mendekat, dan tersenyum riang. Meski kami jarang bertemu, namun sepertinya Renda bisa mengenaliku karena kami sering melakukan panggilan video. "Halo, Sayang." "Alo," jawab Renda. Gadis yang berumur hampir dua tahun itu sudah pandai berbicara. "Oh, iya, Bu, itu Rumi bawakan kue kesukaan Ibu, sekalian untuk acara malam ini." "Acara?" tanya Ayu. "Iya, malam ini mau ada acara selametan di sini. Kamu, bantuin mereka ya, Yu?" pintaku. "Aku, Mbak?" "Iya, kamu. Kenapa?" "Tapi aku nggak tahu caranya, Mbak." "Tinggal bantuin metik sayuran seperti mau masak biasa kok, gak sulit. Emang kamu nggak pernah masak?" tanyaku. Ayu terlihat salah tingkah. Memang, sedari awal ada yang aneh dengan tingkah Ayu. Ia seakan seperti seorang putri yang tak biasa melakukan apa-apa. Kata Mbok Minah, kemarin pun ia salah ketika menjemur. Bajunya tak dibalik dulu.
Usai dari acara pernikahan teman Mas Kinos, kami langsung pulang. Aku sangat tak nyaman berada di lingkup teman-teman suamiku itu. Meski mereka baik, namun tetap saja aku merasa kurang percaya diri. "Kenapa kamu nggak bisa berbaur dengan temanku, Rum?" tanya Mas Kinos. "Ya gimana, Mas? Temanmu semua memandangku sebelah mata," ucapku sambil memasang sabuk pengaman. "Ck, sudah berapa kali kubilang? Kamu hanya terlalu takut aja. Mereka semua baik. Selama ini, apa pernah mereka menyinggung kekuranganmu?" Deg! Selama ini, Mas Kinos tak pernah membicarakan tentang kekuranganku ini. Jangankan ia yang membicarakan, ketika aku mulai mengeluh dengan keadaanku ini, dia yang paling melarang. Katanya, aku harus bersyukur masih diberi kesempatan untuk hidup. "Kamu pikir, kekuranganku ini karena siapa?" Mas Kinos terdiam. Ya, semua ini kan perbuatannya. Lantas, apakah bisa dibenarkan jika ia malah menghinaku?"Atau jangan-jangan, kamu menikahiku demi menebus rasa bersalahmu, Mas?" tanyaku."J
Kulihat Mas Kinos sedang duduk sambil menggunakan kemeja yang masih keriting belum digosok. Sementara dapur sampai ke ruang makan berantakan. Banyak ait tumpah. Sebenarnya, maduku itu bisanya ngapain, sih? "Mas, kenapa pakai baju itu?" tanyaku. "Mau ada kunjungan dari pusat, dan harus pake kemeja ini. Mbok Minah lagi sakit, jadi aku nggak tega buat nyuruh dia nyetrika." Aku melirik ke dapur, kulihat Ayu sedang sibuk sendiri, sementara di atas meja hanya ada nasi yang lembek dan juga telur dadar setegah gosong. Astaga, Ayu! "Kenapa ga bangunin aku aja sih, Mas? Udah tahu punya bini dua yang berfungsi cuma satu. Satunya lagi fungsinya di malam hari doang," ketusku sambil menatap Ayu dari belakang. Sepertinya wanita itu merasa, lalu menoleh ke padaku. Ia sedikit terkejut mendengarku berbicara, sementara Mas Kinos menyenggol lenganku. "Jangan begitu, nanti Ayu sedih." "Terus aku gimana?" "Mbak, maaf kalau aku ga becus," ucap Ayu sambil mendekat ke arahku. "Ya-" "Ada apa ini?" A