"Dek Dwi kayaknya pipis," ucap anak lelakiku ini. Segera aku menyelesaikan pekerjaanku. Piring kumasukkan di dalam keranjang dan aku siapkan di dekat pintu. Semua harus beres, aku berusaha tidak membuat celah Mbak Rini untuk melontarkan kata-kata pedas yang membuat sakit hati ini. Lebih baik aku mengalah, daripada menjawab dan hanya menambah masalah saja.
Iya, dari segi umur memang Mbak Rini lebih tua dari pada aku, sekitar lima tahunan. Namun, sikap dan pemikirannya tidak mencerminkan kedewasaan. Dulu sering aku protes ke Mas Ridwan tentang sikapnya yang membuatku tidak nyaman. Walaupun hanya sekadar keseharian, kalau setiap saat dilontarkan bisa mengikis kesabaranku juga.
"Mbak Rini kok tidak tahu, ya. Kalau tempe setengah matang, kalau disimpan di kulkas proses penjamurannya bisa terhenti. Ini kok malah marah ke Nisa. Katanya Nisa tidak becus belanja! Padahal Nisa sengaja beli itu kemarin karena akan dimasak sekarang!" keluhku kesal.
"Dek Nisa, yang sabar ya. Kita harus memaklumi Mbak Rini. Secara kepintaran memang dia segitu kemampuannya. Walaupun dijelaskan, dia tidak bisa mengerti. Dia tidak tahu apa itu fermentasi. Biarkan saja, lama-lama dia mengerti," hibur Mas Ridwan.
Bukan hanya itu, dia menuduh Arif anakku memakan kembang gula kapas milik anaknya yang dibeli malam hari di pasar malam. Padahal, jajanan yang seperti kapas itu mengempis sendiri karena dibiarkan semalaman tidak dibungkus plastik. Bagaimana tidak kesal, anakku yang tidak melakukan sesuatu yang dituduhkan, dia hardik sampai menangis.
Mbak Rini secara akademik memang tidak beruntung. Dia tidak bisa meneruskan sekolah dasar. Bapak dan Emak sudah berusaha mendorong dia sekolah, tetapi melihat dia tersiksa karena tidak bisa mengikuti pelajaran, dan akhirnya mereka menyerah.
Berbeda dengan Mas Ridwan. Akademiknya begitu cemerlang, selalu di peringkat tiga besar. Kemampuan dia inilah yang mengantarkan dia mendapatkan beasiswa dan menjadi seorang sarjana. Keinginannya ingin memajukan pendidikan di kampung asalnya ini, yang menjadikan kami kembali ke kampung setelah menikah.
"Tetapi Mas, kalaupun dia tidak mengerti seharusnya bisa bertanya atau minta maaf kalau salah. Ini malah marah-marah merasa benar sendiri !" Omelanku masih berlanjut mendinginkan hati yang masih terasa panas.
"Dimaklumi sajalah. Mungkin dia lagi banyak pikiran. Kamu tahu kan, kalau baru selesai proses cerai tingkat kestresan seseorang meningkat?" jelasnya lagi.
Aku masih kesal. Mulutku cemberut karena otakku belum menerima penjelasan Mas Ridwan. Tidak pintar, stres atau apalah, bukan alasan yang tepat untuk marah dengan orang lain, kan?
Kalau sudah seperti itu, Mas Ridwan langsung mendekatiku dan mengusap punggung ini dengan lembut dan sesekali merapikan anak-anak rambutku. Begitu perlakukan suamiku untuk meredakan kesalku.
Namun sekarang, tidak ada suara yang menenangkan, tidak ada lagi tepukan lembutnya. Hanya kenangan akan dirimulah yang membuatku bertahan. Mas Ridwan, kamu kapan pulang? Aku merindukan dirimu.
"Ibuk ... Ibuk nangis lagi?" Suara Alif menyadarkanku. Tangan kecilnya memegang lenganku, terasa hangat seperti ada Mas Ridwan di sini.
"Eh, Kakak. Tidak, Ibuk hanya kena debu matanya," ucapku dengan tersenyum sambil mengusap pipi yang sudah basah dengan air mata.
"Nisa! Anakmu nangis itu, lo! Gara-gara anakmu, Hasan yang sudah tidur bangun lagi. Bikin rumah berisik saja!" teriak Mbak Rini dari kamar sebelah. Hasan anak tunggalnya dari pernikahan yang baru gagal ini, dia masih balita juga, yang berumur tiga tahun.
Aku langsung beranjak ke kamar diikuti Alif, Dwi anakku yang masih bayi menangis karena terbangun dari tidurnya dan mengompol. Aku ganti popok dan kususui supaya tidak lagi menangis. Alif yang duduk di sebelahku mengusap-usap kaki adiknya sambil berkata, "Jangan memangis, Dek. Nanti digigit nyamuk, lo."
Aku tersenyum melihat mereka. Sekarang, mereka berdualah yang menjadi kekuatanku.
Hanya mereka yang aku punya sekarang, yang menjadi semangat dan menguatkanku. Merekalah yang menjadi alasanku untuk terus hidup dan maju.***"Nisa, kau makan dulu, Nak. Dwi dan Alif sudah tidur, kan?" ucap Emak ketika memasuki ke kamarku.Dia duduk di sebelah Alif yang tertidur. Diusapnya kepalanya dengan pelan, sambil menatap dengan mata yangbberkaca-kaca. Aku sangat mengerti, tidak hanya aku yang bersedih, Emak juga sangat kehilangan Mas Ridwan, anak kesayangan dan kebanggaannya.
"Le, kamu ini masih kecil kok sudah kehilangan bapak. Kasihan kamu ini, Le," gumannya lirih. Terlihat dia mengusap mata beberapa kali, kemudian memalingkan wajah ke menatapku.
"Emak mendengar apa yang diucapkan Rini. Tidak usah didengar, dia tidak mengerti apa yang diucapkan. Biar Bapak saja yang menjelaskan kepadanya. Kamu temani Emak di sini, ya. Jangan pisahkan Emak dengan cucu-cucu Emak ini. Bagi Emak, mereka gantinya Ridwan," ucapnya dengan terbata-bata dan berakhir dengan air mata yang lolos kembali.
Direngkuhnya diriku ke dalam pelukan, kami menangis bersama-sama. Seakan melepas sesak karena rasa rindu kepada Mas Ridwan yang semakin membuncak.
"Tetapi Emak, Mbak Rini menyakini kalau kami tidak ada hak untuk tinggal di sini."
Emak mengurai pelukannya dan memegang kedua lenganku. Dia tidak bisa berkata-kata, hanya gelengan kepala dan air mata yang semakin deras meluncur di pipi keriputnya.
***
Emak adalah istri kedua dari Bapak Mertua. Dari istri pertamalah Mbak Rini lahir. Ibu Mbak Rini sudah menikah lagi dan berpindah di kampung yang berbeda. Sedari kecil, dia ikut bersama ibunya, tetapi karena sering mendapatkan kekerasan verbal, akhirnya diboyong Bapak ke rumah ini. Saat itu dia tertekan dan dirawat Emak.Walaupun Mbak Rini bukan anak kandung, Emak sangat menyayanginya. Apapun kebutuhannya dipenuhi, walaupun Mbak Rini seperti menutup diri karena trauma di masa kecilnya itu. Dorongan Emak untuk meneruskan sekolah tidak digubrisnya. Dia lebih suka berdagang, walaupun berulang kali gagal karena ketidak pintarannya. Emak Sayuti, dia begitu cantik dan lincah dalam berdagang. Kesehariannya di pasar, sedangkan Bapak menjadi juru tulis di kantor desa. Praktisnya secara keuangan, Emak mempunyai peran yang begitu besar. Keinginan Emak Sayuti mempunyai anak sendiri tidak terkabulkan, walaupun segala cara sudah di coba. Akhirnya, Emak Sayuti dan Bapak mengangkat bayi laki-laki
"Nisa ...! Bangun!" Suara teriakan terdengar di depan pintu kamarku. Mataku yang masih berat untuk kubuka, begitu juga kesadaranku. Jam dinding menunjukan pukul empat pagi, sebentar lagi Subuh. "Bangun! Bangun!" Teriakan lagi dan sekarang ditambah dengan gedoran pintu. Aku segera bangun, dengan langkah diseret aku membuka pintu kamar. Biasanya, Mas Ridwan lah yang membangunkan aku dengan mencium pipi ini. Karena dia tahu benar, kepalaku akan sakit kalau terbangun karena kaget."Nisa bangun! Kamu harus beres-beres rumah dulu, terus ke pasar!" perintah Mbak Rini yang sekarang berdiri di depanku."Ya, Mbak. Saya salat Subuh dulu," ucapku lirih sambil menahan sakit kepala sambil menutup pintu. "Numpang hidup di rumah orang yang rajin, jangan malas. Dasar tidak tahu malu!" gumannya dan berlalu.'DEG!'Hatiku seperti tertusuk belati, sakit. Sakit kepalaku langsung lenyap terganti dengan sakitnya hati ini. Aku menatap Mbak Ririn yang berlalu sembari mengelus dada.'Mbak, begitu bencinya da
Aku langsung berdiri ingin menghampirinya, akan aku buat dia tersadar! Kekesalan yang sudah terpatik membulatkan tekadku yang selama ini tertahan. Langkah kakiku terhenti tiba-tiba, ketika suara hatiku berbisik mengingatkan apa yang dikatakan suamiku. Berbicara dengan kekesalan tidak akam menyelesaikan masalah, justru hanya akan menimbulkan keributan. Namun, dengan apa menyadarkan Mbak Rini? Dengan perkataan? Mana dia mengerti, pikirannya sudah dibutakan dengan apa yang dia yakini. Sama saja aku bicara dengan tembok, hanya membuat ribut tanpa ada penyelesaian.Percuma!Aku terduduk kembali dan menyebut nama-Mu. Menghilangkan amarah yang sudah menguasai hati ini.*"Rini .... Pokoknya, kamu harus kuat. Jangan sampai dikalahkan si Nisa. Dia itu pinter mengambil hati, bisa jadi Hasan anakmu tidak mendapat warisan karena dikuasai dia." Suara bisik-bisik, tetapi masih terdengar jelas dari kamarku. Dari suaranya seperti Bu Rusmini, adik dari ibu Mbak Rini. Dia memang dekat dengannya
"Dek Nisa, kamu yang sabar, ya," ucap Mas Wawan Kakak kandungku. Dia mengucapkan bela sungkawa untuk kedua kalinya. Pertama, saat musibah yang terjadi dan ke dua sekarang ini."Mas Wawan, mohon doanya, di sini posisiku sulit. Mbak Rini mulai menyindirku terus. Aku harus bagaimana, Mas?" Aku berkeluh kesah meminta dukungannya."Kamu harus bertahan demi anak-anakmu. Bagaimanapun rumah mereka di sana, kan. Jangan di ambil hati lah. Perempuan memang sering ngomong pedes. Sabar, ya," ucapnya menghiburku."Ya, Mas. Aku mengerti. Tetapi dia itu ngeyel, Mas.""Dengar, ya. Rumah yang kamu tempati itu rumah Pak Sardi dan Bu Sayuti, Ridwan kan anak tunggal mereka walaupun anak angkat. Ya itu haknya kalian. Haknya Alif dan Dwi. Apalagi ada surat pengesahan dari pengadilan. Secara hukun, yang numpang itu malah si Rini itu! Diakan anak bawaaan Pak Sardi! Sedangkan rumah itu ada karena perkawinan kedua," jelasnya dengan berapi-api."Iya Mas. Aku tahu benar itu. Tetapi Mas, kemarin Mbak Rini ....""S
"Bapak, Emak, Mbak Rini, kami pamit. Mohon maaf kalau kami ada salah. Selama ini, kami merepotkan," ucapku setelah travel pesananku memberi kabar kalau sudah diperjalanan menjemputku."Jangan berkata seperti itu!" teriak Emak langsung memelukku dan mencium pipi Dwi dan Alif. "Kalian anugrah dan kebahagiaan kami," ucapnya lagi seraya mengusap air mata di pipinya."Nisa, sampai kapanpun kamu menantu kami. Alif dan Dwi, selamanya cucu kami kami," tambah Bapak Mertuaku. "Terima kasih," ucapku mencium tangan Emak dan Bapak, kemudian berakhir dengan Mbak Rini yang memberikan tangannya sedikit."Mbak Rini, saya pamit," ucapku."Kamu membawa barangmu saja, kan. Tidak bawa sesuatu yang kau ambil tanpa ijin?" tanyanya dengan sinis."Rini! Jaga bicaramu! Bapak selama ini diam, karena menganggap kamu sudah dewasa! Tapi ternyata kamu tidak berubah. Tetap bodoh!" teriak Bapak dengan keras. Tidak pernah sekalipun aku mendengar bapak teriak seperti ini. Beliau memang tidak banyak bicara, apalagi sa
Bab 8. Menuju Kota Harapan-------------------------------------Mobil semakin cepat jalannya, kami langsung berangkat ke tujuan karena kami penumpang terakhir yang dijemput.Rumah-rumah seperti berlarian ke belakang dengan kecepatan yang sebanding dengan cepatnya laju mobil. Awalnya aku menyibukkan diri membaca tulisan-tulisan di pinggir jalan, lambat laun tulisan itu mengabur terhalang titik hujan yang membasahi kaca jendela.Buliran air menetes sedikit demi sedikit, kemudian membentuk aliran-aliran air yang semakin deras. Hujan mengguyur bumi mengantarkan kepergian kami. Dwi, bayi kecilku tertidur pulas di pangkuanku. Wajahnya begitu damai dan sesekali ada senyum yang tersungging di sana. Aku menoleh ke sampingku, Alif juga sudah tertidur. Begitu nyenyak, kepalanya sedikit menengadah dengan mulut yang terbuka terdengar deru halus nafasnya yang teratur. Aku usap rambutnya, dia beringsut dan menyandarkan kepalanya di lenganku.Mas Ridwan, lihatlah kami bertiga yang merindukanmu. Sam
Sebersit sinar matahari menyilaukan mataku. Gerakan Dwi dipangkuanku membuatku terjaga. Aku ngerjapkan mata dan berlahan kubuka mata ini. Gedung-gedung besar menjadi pemandangan. Kendaraan bermotor dengan berbagai jenis terlihat lalu lalang. Sesekali aku melihat sepeda motor saling berebut untuk mendahului. Semuanya bergerak aktif, seperti tidak mau ketinggalan akan waktu. Inilah kota tujuan kami menggantungkan harap. Memperjuangkan hidup untuk mengantar anak-anak ke masa depan yang lebih cerah.Alif yang sudah bangun terlihat menikmati pemandangan ini, dia menoleh setelah menyadari aku sudah terbangun. Dwi pun mengerjapkan mata sambil menggoyang-goyangkan kaki dan tangannya. "Adek! Ci luuuk, ba!" Candaan Alif disambut tawa terkekeh Dwi. Aku dudukkan Dwi di antara kami, mereka meneruskan bercanda dengan riang. Tubuhku aku regangkan, mengurai penat dan pegal ini.Aku melihat sekeliling, hanya tinggal beberapa penumpang saja. Berarti tujuanku akan segera sampai. Kemarin, aku sudah t
"Nisa, ya?!"Ucapanku terpotong dengan teriakan dari dalam rumah. Bersamaan kami menoleh ke arah suara itu. Seorang wanita tua berdiri di depan pintu yang terbuka. Persis dengan foto di ponselku. Beliau, Umi Inayah.Alhamdulillah ....***"Wik! Bantu cepat, bawakan tasnya ke dalam. Pasti berat, ya?" teriak Umi Inayah menghampiriku. Laki-laki di sebelahku ini terdiam sesaat, memandang aku dan Umi bergantian, kemudian mengambil tas pakaian yang berada di sampingku. Dia tersenyum sekilas dan tanpa berkata-kata, masuk membawakan tas besar itu. Aku langsung menghampiri Umi dan mencium tangannya diikuti Alif. "Saya Nisa, Umi Inayah." "Panggil saya Umi saja," ucapnya sambil tersenyum hangat. "Ini, pasti Dwi! Dan, ini Alif, ya!" Umi mengelus Dwi kemudian mengirimku orang-orang baik yang menolongku. Mereka bukan saudara tetapi rela untuk menolongku, ini karena kehendak-Nya. "Ini Mbok Sarinem panggil saja Mbok Sari. Sebelumnya ada Mbok Iyah juga, tetapi sekarang ikut anaknya. Nah dia in