Share

Bab 2. Jangan Pergi

"Dek Dwi kayaknya pipis," ucap anak lelakiku ini.  Segera aku menyelesaikan pekerjaanku. Piring kumasukkan di dalam keranjang dan aku siapkan di dekat pintu. Semua harus beres, aku berusaha tidak membuat celah Mbak Rini untuk melontarkan kata-kata pedas yang membuat sakit hati ini. Lebih baik aku mengalah,  daripada menjawab dan hanya menambah masalah saja.  

Iya, dari segi umur memang Mbak Rini lebih tua dari pada aku, sekitar lima tahunan. Namun, sikap dan pemikirannya tidak mencerminkan kedewasaan. Dulu sering aku protes ke Mas Ridwan tentang sikapnya yang membuatku tidak nyaman.  Walaupun hanya sekadar keseharian,  kalau setiap saat dilontarkan bisa mengikis kesabaranku juga.  

"Mbak Rini kok tidak tahu, ya. Kalau tempe setengah matang, kalau disimpan di kulkas proses penjamurannya bisa terhenti. Ini kok malah marah ke Nisa. Katanya Nisa tidak becus belanja! Padahal Nisa sengaja beli itu kemarin karena akan dimasak sekarang!" keluhku kesal.

"Dek Nisa, yang sabar ya. Kita harus memaklumi Mbak Rini. Secara kepintaran memang dia segitu kemampuannya. Walaupun dijelaskan, dia tidak bisa mengerti. Dia tidak tahu apa itu fermentasi. Biarkan saja, lama-lama dia mengerti," hibur Mas Ridwan.

Bukan hanya itu,  dia menuduh Arif anakku memakan kembang gula kapas milik anaknya yang dibeli malam hari di pasar malam.  Padahal,  jajanan yang seperti kapas itu mengempis sendiri karena dibiarkan semalaman tidak dibungkus plastik.  Bagaimana tidak kesal,  anakku yang tidak melakukan sesuatu yang dituduhkan, dia hardik sampai menangis.  

Mbak Rini secara akademik memang tidak beruntung. Dia tidak bisa meneruskan sekolah dasar. Bapak dan Emak sudah berusaha mendorong dia sekolah, tetapi melihat dia tersiksa karena tidak bisa mengikuti pelajaran,  dan akhirnya mereka menyerah.

Berbeda dengan Mas Ridwan. Akademiknya begitu cemerlang, selalu di peringkat tiga besar. Kemampuan dia inilah yang mengantarkan dia mendapatkan beasiswa dan menjadi seorang sarjana. Keinginannya ingin memajukan pendidikan di kampung asalnya ini, yang menjadikan kami kembali ke kampung setelah menikah.  

"Tetapi Mas, kalaupun dia tidak mengerti seharusnya bisa bertanya atau minta maaf kalau salah. Ini malah marah-marah merasa benar sendiri !" Omelanku masih berlanjut mendinginkan hati yang masih terasa panas.

"Dimaklumi sajalah. Mungkin dia lagi banyak pikiran. Kamu tahu kan, kalau baru selesai proses cerai tingkat kestresan seseorang meningkat?" jelasnya lagi.

Aku masih kesal. Mulutku cemberut karena otakku belum menerima penjelasan Mas Ridwan. Tidak pintar, stres atau apalah, bukan alasan yang tepat untuk marah dengan orang lain, kan? 

Kalau sudah seperti itu,  Mas Ridwan langsung mendekatiku dan mengusap punggung ini dengan lembut dan sesekali merapikan anak-anak rambutku. Begitu perlakukan suamiku untuk meredakan kesalku.

Namun sekarang, tidak ada suara yang menenangkan, tidak ada lagi tepukan lembutnya. Hanya kenangan akan dirimulah yang membuatku bertahan. Mas Ridwan, kamu kapan pulang? Aku merindukan dirimu. 

"Ibuk ... Ibuk nangis lagi?" Suara Alif menyadarkanku. Tangan kecilnya memegang lenganku, terasa hangat seperti ada Mas Ridwan di sini. 

"Eh, Kakak. Tidak, Ibuk hanya kena debu matanya," ucapku dengan tersenyum sambil mengusap pipi yang sudah basah dengan air mata. 

"Nisa! Anakmu nangis itu, lo! Gara-gara anakmu, Hasan yang sudah tidur bangun lagi. Bikin rumah berisik saja!" teriak Mbak Rini dari kamar sebelah. Hasan anak tunggalnya dari pernikahan yang baru gagal ini, dia masih balita juga, yang berumur tiga tahun.

Aku langsung beranjak ke kamar diikuti Alif, Dwi anakku yang masih bayi menangis karena terbangun dari tidurnya dan mengompol. Aku ganti popok dan kususui supaya tidak lagi menangis. Alif yang duduk di sebelahku mengusap-usap kaki adiknya sambil berkata, "Jangan memangis,  Dek.  Nanti digigit nyamuk,  lo."

Aku tersenyum melihat mereka. Sekarang,  mereka berdualah yang menjadi kekuatanku.  

Hanya mereka yang aku punya sekarang, yang menjadi semangat dan menguatkanku. Merekalah yang menjadi alasanku untuk terus hidup dan maju.

***

"Nisa, kau makan dulu, Nak. Dwi dan Alif sudah tidur, kan?" ucap Emak ketika memasuki ke kamarku. 

Dia duduk di sebelah Alif yang tertidur. Diusapnya kepalanya dengan pelan, sambil menatap dengan mata yangbberkaca-kaca. Aku sangat mengerti, tidak hanya aku yang bersedih, Emak juga sangat kehilangan Mas Ridwan, anak kesayangan dan kebanggaannya.

"Le, kamu ini masih kecil kok sudah kehilangan bapak. Kasihan kamu ini, Le," gumannya lirih. Terlihat dia mengusap mata beberapa kali,  kemudian memalingkan wajah ke menatapku. 

"Emak mendengar apa yang diucapkan Rini. Tidak usah didengar, dia tidak mengerti apa yang diucapkan. Biar Bapak saja yang menjelaskan kepadanya. Kamu temani Emak di sini, ya. Jangan pisahkan Emak dengan cucu-cucu Emak ini. Bagi Emak,  mereka gantinya Ridwan," ucapnya dengan terbata-bata dan berakhir dengan air mata yang lolos kembali.

Direngkuhnya diriku ke dalam pelukan, kami menangis bersama-sama.  Seakan melepas sesak karena rasa rindu kepada Mas Ridwan yang semakin membuncak.

"Tetapi Emak, Mbak Rini menyakini kalau kami tidak ada hak untuk tinggal di sini."

Emak mengurai pelukannya dan memegang kedua lenganku. Dia tidak bisa berkata-kata, hanya gelengan kepala dan air mata yang semakin deras meluncur di pipi keriputnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status