"Nisa ...! Bangun!" Suara teriakan terdengar di depan pintu kamarku. Mataku yang masih berat untuk kubuka, begitu juga kesadaranku. Jam dinding menunjukan pukul empat pagi, sebentar lagi Subuh.
"Bangun! Bangun!" Teriakan lagi dan sekarang ditambah dengan gedoran pintu. Aku segera bangun, dengan langkah diseret aku membuka pintu kamar. Biasanya, Mas Ridwan lah yang membangunkan aku dengan mencium pipi ini. Karena dia tahu benar, kepalaku akan sakit kalau terbangun karena kaget.
"Nisa bangun! Kamu harus beres-beres rumah dulu, terus ke pasar!" perintah Mbak Rini yang sekarang berdiri di depanku.
"Ya, Mbak. Saya salat Subuh dulu," ucapku lirih sambil menahan sakit kepala sambil menutup pintu.
"Numpang hidup di rumah orang yang rajin, jangan malas. Dasar tidak tahu malu!" gumannya dan berlalu.
'DEG!'
Hatiku seperti tertusuk belati, sakit. Sakit kepalaku langsung lenyap terganti dengan sakitnya hati ini. Aku menatap Mbak Ririn yang berlalu sembari mengelus dada.'Mbak, begitu bencinya dan tidak adakah sisa sayangmu kepada kami? Bukankah selama ini hanya kami yang kau punya?'
Aku labuhkan deritaku di sujud salatku.
Ya Allah, ringankanlah sakitku ini sehingga aku mampu mengemban janji kepada suamiku.***
"Nisa, aku turut berduka cita, yang sabar, ya," ucap Mbak Fatimah merengkuhku. Dia sahabatku di desa ini. Aku berlangganan belanja di tokonya.
"Terima kasih, Mbak. Insyaallah aku kuat!" ucapku dengan yakin. Ucapanku berbanding terbalik dengan mataku yang dengan sendirinya merebak.
"Sudah, ayo masuk ke dalam dulu," ajaknya dengan lembut. Aku ditariknya ke dalam rumah yang terletak di belakang toko.
Mbak Fatimah ini juga guru mengaji. Alif menjadi muridnya karena itulah aku sering berbincang banyak hal dengannya.
"Ini diminum dulu," ucapnya dengan menyodorkan satu gelas air putih dingin.
"Mbak Fatimah, apa yang harus aku lakukan? Mbak Rini bersikeras supaya aku pulang kampung. Aku harus bagaimana? Sedangkan di sana sudah ada keluarga kakak dan adik. Tidak mungkin aku menambah beban orang tuaku. Sedangkan aku ...." ucapku terputus, tidak mampu aku berucap lagi. Mbak Fatimah menyodorkan satu kotak tisue kepadaku sambil tersenyum.
"Menangislah sampai kau lega. Jangan ditahan."
Punggungku di usapnya pelan. Aku menangis sesenggukan melepas sesak di dada ini. Setelah beberapa saat, hatiku mulai lega. Aku menata napas dan menatapnya dengan nanar.
"Mbak ...."
"Kalau ada yang bisa saya bantu, ngomong, ya. Jangan dipendam sendirian, nomor hapeku masih disimpan, kan?"
"Ya, Mbak. Sebenarnya, aku masih ingin cerita, tetapi aku harus pulang sekarang. Mbak Rini pasti mencariku," ucapku sambil membereskan tissu yang aku pakai tadi.
***
"Nisa! Kamu ketiduran di pasar? Ditunggu dari tadi, tidak pulang-pulang! Semua yang di sini sudah lapar, eh malah enak-enakan! Sana cepet masak!" teriakan Mbak Rini menyambutku yang baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.Aku langsung ke dapur tanpa menghiraukan ucapannya. Menanggapi apa yang dia katakan sama saja menambah luka di hati ini. Emak yang menggendong Dwi menepuk pundakku pelan sambil tersenyum seakan menguatkanku.
Entah apa yang terjadi pada Mbak Rini. Semenjak Mas Ridwan tiada, dia berubah kasar yang terkesan jahat. Memang kesehariannya dia tidak bersikap lembut. Namun, sikapnya itu berdasar karena ketidaktahuannya bukan karena niat yang tidak baik seperti sekarang ini.
Sekarang setiap perkataan, memperjelas niatnya untuk mengusir kami dari rumah ini. Entah, apa yang membuat dia berpikir seperti itu. Padahal, dulu Mas Ridwan sangat sayang kepadanya.
"Ibuk ...."
Alif menghampiriku yang menyuapi Dwi dengan bubur. Dia menggelendot di lenganku, sambil menyembunyikan wajahnya."Makan dengan Uti, ya? Ibuk masih nyuapi adik."
"Uti dan Kakung keluar, Buk. Alif makannya nunggu Ibuk saja," ucapnya dengan memainkan jari-jari tangannya. Biasanya kalau dia seperti ini, pasti ada yang diminta. Kebiasaannya kalau merajuk ke Mas Ridwan dulu.
"Kenapa? Alif minta jajan?" tanyaku.
Dia diam, hanya gelengan kepala dengan tertunduk.
"Mau mainan?" tanyaku lagi
Dia menggeleng lagi, kemudian wajahnya mendongak ke arahku.
"Ibuk, kata Bude Rini kita akan pindah, ya? Ke mana?" tanyanya dengan mata masih menatapku meminta jawaban.
Aku menghentikan suapanku ke Dwi. Menatap balik Alif anakku ini. Niat Mbak Rini ternyata tidak main-main, bosan menerorku ternyata beralih ke Alif. Ini menunjukkan, tekadnya sudah bulat untuk menyuruh kami segera pergi.
"Alif sayang. Ibuk belum tahu kita akan pindah ke mana. Yang penting, kita akan tetap bersama," jawabku.
"Bude sekarang galak, Buk. Tadi saja, Alif dilempar sapu. Kemarin juga dicubit, padahal Alif cuma numpahin air sedikit," ucapnya lirih.
'DEG!'
Aku langsung memeluk erat tubuh kecilnya. Terornya tidak hanya ucapan pedas saja, dia sudah berani main tangan ke anakku.Aku akan kuat menahan sakitku, dengan ucapan pedasnya. Namun, kalau sudah mengganggu anak, ibu mana yang tidak akan terusik. Aku harus bicara dengannya!
***
Aku langsung berdiri ingin menghampirinya, akan aku buat dia tersadar! Kekesalan yang sudah terpatik membulatkan tekadku yang selama ini tertahan. Langkah kakiku terhenti tiba-tiba, ketika suara hatiku berbisik mengingatkan apa yang dikatakan suamiku. Berbicara dengan kekesalan tidak akam menyelesaikan masalah, justru hanya akan menimbulkan keributan. Namun, dengan apa menyadarkan Mbak Rini? Dengan perkataan? Mana dia mengerti, pikirannya sudah dibutakan dengan apa yang dia yakini. Sama saja aku bicara dengan tembok, hanya membuat ribut tanpa ada penyelesaian.Percuma!Aku terduduk kembali dan menyebut nama-Mu. Menghilangkan amarah yang sudah menguasai hati ini.*"Rini .... Pokoknya, kamu harus kuat. Jangan sampai dikalahkan si Nisa. Dia itu pinter mengambil hati, bisa jadi Hasan anakmu tidak mendapat warisan karena dikuasai dia." Suara bisik-bisik, tetapi masih terdengar jelas dari kamarku. Dari suaranya seperti Bu Rusmini, adik dari ibu Mbak Rini. Dia memang dekat dengannya
"Dek Nisa, kamu yang sabar, ya," ucap Mas Wawan Kakak kandungku. Dia mengucapkan bela sungkawa untuk kedua kalinya. Pertama, saat musibah yang terjadi dan ke dua sekarang ini."Mas Wawan, mohon doanya, di sini posisiku sulit. Mbak Rini mulai menyindirku terus. Aku harus bagaimana, Mas?" Aku berkeluh kesah meminta dukungannya."Kamu harus bertahan demi anak-anakmu. Bagaimanapun rumah mereka di sana, kan. Jangan di ambil hati lah. Perempuan memang sering ngomong pedes. Sabar, ya," ucapnya menghiburku."Ya, Mas. Aku mengerti. Tetapi dia itu ngeyel, Mas.""Dengar, ya. Rumah yang kamu tempati itu rumah Pak Sardi dan Bu Sayuti, Ridwan kan anak tunggal mereka walaupun anak angkat. Ya itu haknya kalian. Haknya Alif dan Dwi. Apalagi ada surat pengesahan dari pengadilan. Secara hukun, yang numpang itu malah si Rini itu! Diakan anak bawaaan Pak Sardi! Sedangkan rumah itu ada karena perkawinan kedua," jelasnya dengan berapi-api."Iya Mas. Aku tahu benar itu. Tetapi Mas, kemarin Mbak Rini ....""S
"Bapak, Emak, Mbak Rini, kami pamit. Mohon maaf kalau kami ada salah. Selama ini, kami merepotkan," ucapku setelah travel pesananku memberi kabar kalau sudah diperjalanan menjemputku."Jangan berkata seperti itu!" teriak Emak langsung memelukku dan mencium pipi Dwi dan Alif. "Kalian anugrah dan kebahagiaan kami," ucapnya lagi seraya mengusap air mata di pipinya."Nisa, sampai kapanpun kamu menantu kami. Alif dan Dwi, selamanya cucu kami kami," tambah Bapak Mertuaku. "Terima kasih," ucapku mencium tangan Emak dan Bapak, kemudian berakhir dengan Mbak Rini yang memberikan tangannya sedikit."Mbak Rini, saya pamit," ucapku."Kamu membawa barangmu saja, kan. Tidak bawa sesuatu yang kau ambil tanpa ijin?" tanyanya dengan sinis."Rini! Jaga bicaramu! Bapak selama ini diam, karena menganggap kamu sudah dewasa! Tapi ternyata kamu tidak berubah. Tetap bodoh!" teriak Bapak dengan keras. Tidak pernah sekalipun aku mendengar bapak teriak seperti ini. Beliau memang tidak banyak bicara, apalagi sa
Bab 8. Menuju Kota Harapan-------------------------------------Mobil semakin cepat jalannya, kami langsung berangkat ke tujuan karena kami penumpang terakhir yang dijemput.Rumah-rumah seperti berlarian ke belakang dengan kecepatan yang sebanding dengan cepatnya laju mobil. Awalnya aku menyibukkan diri membaca tulisan-tulisan di pinggir jalan, lambat laun tulisan itu mengabur terhalang titik hujan yang membasahi kaca jendela.Buliran air menetes sedikit demi sedikit, kemudian membentuk aliran-aliran air yang semakin deras. Hujan mengguyur bumi mengantarkan kepergian kami. Dwi, bayi kecilku tertidur pulas di pangkuanku. Wajahnya begitu damai dan sesekali ada senyum yang tersungging di sana. Aku menoleh ke sampingku, Alif juga sudah tertidur. Begitu nyenyak, kepalanya sedikit menengadah dengan mulut yang terbuka terdengar deru halus nafasnya yang teratur. Aku usap rambutnya, dia beringsut dan menyandarkan kepalanya di lenganku.Mas Ridwan, lihatlah kami bertiga yang merindukanmu. Sam
Sebersit sinar matahari menyilaukan mataku. Gerakan Dwi dipangkuanku membuatku terjaga. Aku ngerjapkan mata dan berlahan kubuka mata ini. Gedung-gedung besar menjadi pemandangan. Kendaraan bermotor dengan berbagai jenis terlihat lalu lalang. Sesekali aku melihat sepeda motor saling berebut untuk mendahului. Semuanya bergerak aktif, seperti tidak mau ketinggalan akan waktu. Inilah kota tujuan kami menggantungkan harap. Memperjuangkan hidup untuk mengantar anak-anak ke masa depan yang lebih cerah.Alif yang sudah bangun terlihat menikmati pemandangan ini, dia menoleh setelah menyadari aku sudah terbangun. Dwi pun mengerjapkan mata sambil menggoyang-goyangkan kaki dan tangannya. "Adek! Ci luuuk, ba!" Candaan Alif disambut tawa terkekeh Dwi. Aku dudukkan Dwi di antara kami, mereka meneruskan bercanda dengan riang. Tubuhku aku regangkan, mengurai penat dan pegal ini.Aku melihat sekeliling, hanya tinggal beberapa penumpang saja. Berarti tujuanku akan segera sampai. Kemarin, aku sudah t
"Nisa, ya?!"Ucapanku terpotong dengan teriakan dari dalam rumah. Bersamaan kami menoleh ke arah suara itu. Seorang wanita tua berdiri di depan pintu yang terbuka. Persis dengan foto di ponselku. Beliau, Umi Inayah.Alhamdulillah ....***"Wik! Bantu cepat, bawakan tasnya ke dalam. Pasti berat, ya?" teriak Umi Inayah menghampiriku. Laki-laki di sebelahku ini terdiam sesaat, memandang aku dan Umi bergantian, kemudian mengambil tas pakaian yang berada di sampingku. Dia tersenyum sekilas dan tanpa berkata-kata, masuk membawakan tas besar itu. Aku langsung menghampiri Umi dan mencium tangannya diikuti Alif. "Saya Nisa, Umi Inayah." "Panggil saya Umi saja," ucapnya sambil tersenyum hangat. "Ini, pasti Dwi! Dan, ini Alif, ya!" Umi mengelus Dwi kemudian mengirimku orang-orang baik yang menolongku. Mereka bukan saudara tetapi rela untuk menolongku, ini karena kehendak-Nya. "Ini Mbok Sarinem panggil saja Mbok Sari. Sebelumnya ada Mbok Iyah juga, tetapi sekarang ikut anaknya. Nah dia in
Suara Mas Ridwan terasa jelas di telingaku. Aku langsung beranjak duduk dan mengedarkan ke sekeliling. Namun, hanya ada aku sendiri bersama Dwi. Tidak ada sosok Mas Ridwan. Rinduku akan dia membuatku berhalusinasi.Aku helakan napas dengan mata terpejam.Mas Ridwan, aku yakin kamu masih hidup walaupun entah di belahan dunia mana. Aku merindukanmu.*****"Wah, enak masakanmu, Nisa. Benar kata Fatimah, kamu pintar memasak. Sekarang terbukti!" teriak Umi setelah selesai makan. Aku tersenyum dan mengangguk ke arah Umi. Alif juga makan dengan lahap, dia sampai minta tambah lagi. "Kalau kamu tidak keberatan, tolong setiap hari masak buat Umi, ya. Tetapi, maaf ya. Umi bukan berarti menganggapmu sebagai ...." "Iya Umi. Saya siap! Bukankah kalau saya dianggap keluarga berarti juga mempunyai tanggung jawab di sini," ucapku memotong perkataan Umi. Aku tahu Umi kawatir membuatku tersinggung. "Baiklah. Fatimah juga cerita, kamu akan membuka usaha makanan. Kamu bisa pakai dapur sesukamu. Silahk
"Ini, temen-temenku, bosnya order nugget. Ini!" ucapnya sambil menunjukkan layar ponselnya. "Alhamdulillah," ucapku dengan tersenyum lebar. "Umi, tadi kami iseng menawarkan di grup," jelasku dengan senyum masih tercetak di wajahku. "Maaf Umi, saya belum minta ijin," ucapku lagi. "Alhamdulillah! Ini namanya, Allah memberi jalan kepadamu. Bukankah kamu sudah mempunyai niat untuk menjual makanan? Inilah jawabannya. Umi doakan, kamu cepat sukses," kata Umi dengan menepuk bahuku. Aku mengangguk senang karena Umi mendukungku. "Tetapi, sisakan Umi yang ada wortel dan brokolinya, ya. Bowo akan ke sini nanti malam," ucapnya lagi. Aku menatapnya sambil mengernyitkan dahi. "Dia yang menolong membawa tas kamu itu, lo. Dan, yang pernah dikirim asem-asem dulu. Ingat?" jelas Umi. "O, Pak Wibowo Santoso," ucapku memastikan. Aku ingat sosok seramnya, laki-laki yang menjulang dengan jaket kulit berwarna hitam. "Iya. Dia keponakan Umi. Memang tinggalnya di apartemen, tetapi sering ke sini menjenguk