Share

Bab 4. Aku Harus Bicara

"Nisa ...! Bangun!" Suara teriakan terdengar di depan pintu kamarku. Mataku yang masih berat untuk kubuka, begitu juga kesadaranku. Jam dinding menunjukan pukul empat pagi, sebentar lagi Subuh. 

"Bangun! Bangun!" Teriakan lagi dan sekarang ditambah dengan gedoran pintu. Aku segera bangun, dengan langkah diseret aku membuka pintu kamar. Biasanya, Mas Ridwan lah yang membangunkan aku dengan mencium pipi ini. Karena dia tahu benar, kepalaku akan sakit kalau terbangun karena kaget.

"Nisa bangun! Kamu harus beres-beres rumah dulu, terus ke pasar!" perintah Mbak Rini yang sekarang berdiri di depanku.

"Ya, Mbak. Saya salat Subuh dulu," ucapku lirih sambil menahan sakit kepala sambil menutup pintu. 

"Numpang hidup di rumah orang yang rajin, jangan malas. Dasar tidak tahu malu!" gumannya dan berlalu.

'DEG!'

Hatiku seperti tertusuk belati, sakit. Sakit kepalaku langsung lenyap terganti dengan sakitnya hati ini. Aku menatap Mbak Ririn yang berlalu sembari mengelus dada.

'Mbak, begitu bencinya dan tidak adakah sisa sayangmu kepada kami? Bukankah selama ini hanya kami yang kau punya?'

Aku labuhkan deritaku di sujud salatku. 

Ya Allah, ringankanlah sakitku ini sehingga aku mampu mengemban janji kepada suamiku.

***

"Nisa, aku turut berduka cita, yang sabar, ya," ucap Mbak Fatimah merengkuhku. Dia sahabatku di desa ini. Aku berlangganan belanja di tokonya. 

"Terima kasih, Mbak. Insyaallah aku kuat!" ucapku dengan yakin. Ucapanku berbanding terbalik dengan mataku yang dengan sendirinya merebak. 

"Sudah, ayo masuk ke dalam dulu," ajaknya dengan lembut. Aku ditariknya ke dalam rumah yang terletak di belakang toko.

Mbak Fatimah ini juga guru mengaji. Alif menjadi muridnya karena itulah aku sering berbincang banyak hal dengannya.

"Ini diminum dulu," ucapnya dengan menyodorkan satu gelas air putih dingin. 

"Mbak Fatimah, apa yang harus aku lakukan?  Mbak Rini bersikeras supaya aku pulang kampung. Aku harus bagaimana? Sedangkan di sana sudah ada keluarga kakak dan adik. Tidak mungkin aku menambah beban orang tuaku. Sedangkan aku ...." ucapku terputus, tidak mampu aku berucap lagi. Mbak Fatimah menyodorkan satu kotak tisue kepadaku sambil tersenyum.

"Menangislah sampai kau lega. Jangan ditahan." 

Punggungku di usapnya pelan. Aku menangis sesenggukan melepas sesak di dada ini. Setelah beberapa saat, hatiku mulai lega. Aku menata napas dan menatapnya dengan nanar. 

"Mbak ...."

"Kalau ada yang bisa saya bantu, ngomong, ya. Jangan dipendam sendirian, nomor hapeku masih disimpan, kan?" 

"Ya, Mbak. Sebenarnya, aku masih ingin cerita, tetapi aku harus pulang sekarang. Mbak Rini pasti mencariku," ucapku sambil membereskan tissu yang aku pakai tadi.

***

"Nisa! Kamu ketiduran di pasar? Ditunggu dari tadi, tidak pulang-pulang! Semua yang di sini sudah lapar, eh malah enak-enakan! Sana cepet masak!" teriakan Mbak Rini menyambutku yang baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.  

Aku langsung ke dapur tanpa menghiraukan ucapannya. Menanggapi apa yang dia katakan sama saja menambah luka di hati ini. Emak yang menggendong Dwi menepuk pundakku pelan sambil tersenyum seakan menguatkanku.

Entah apa yang terjadi pada Mbak Rini.  Semenjak Mas Ridwan tiada, dia berubah kasar yang terkesan jahat. Memang kesehariannya dia tidak bersikap lembut. Namun, sikapnya itu berdasar karena ketidaktahuannya bukan karena niat yang tidak baik seperti sekarang ini. 

Sekarang setiap perkataan, memperjelas niatnya untuk mengusir kami dari rumah ini. Entah, apa yang membuat dia berpikir seperti itu. Padahal, dulu Mas Ridwan sangat sayang kepadanya.

"Ibuk ...." 

Alif menghampiriku yang menyuapi Dwi dengan bubur. Dia menggelendot di lenganku, sambil menyembunyikan wajahnya. 

"Makan dengan Uti, ya? Ibuk masih nyuapi adik."

"Uti dan Kakung keluar, Buk. Alif makannya nunggu Ibuk saja," ucapnya dengan memainkan jari-jari tangannya. Biasanya kalau dia seperti ini, pasti ada yang diminta. Kebiasaannya kalau merajuk ke Mas Ridwan dulu.

"Kenapa? Alif minta jajan?" tanyaku.

Dia diam, hanya gelengan kepala dengan tertunduk. 

"Mau mainan?" tanyaku lagi

Dia menggeleng lagi, kemudian wajahnya mendongak ke arahku.

"Ibuk, kata Bude Rini kita akan pindah, ya? Ke mana?" tanyanya dengan mata masih menatapku meminta jawaban.

Aku menghentikan suapanku ke Dwi. Menatap balik Alif anakku ini. Niat Mbak Rini ternyata tidak main-main, bosan menerorku ternyata beralih ke Alif. Ini menunjukkan, tekadnya sudah bulat untuk menyuruh kami segera pergi.

"Alif sayang. Ibuk belum tahu kita akan pindah ke mana. Yang penting, kita akan tetap bersama," jawabku.

"Bude sekarang galak, Buk. Tadi saja, Alif dilempar sapu. Kemarin juga dicubit, padahal Alif cuma numpahin air sedikit," ucapnya lirih.

'DEG!'

Aku langsung memeluk erat tubuh kecilnya. Terornya tidak hanya ucapan pedas saja, dia sudah berani main tangan ke anakku.

Aku akan kuat menahan sakitku, dengan ucapan pedasnya. Namun, kalau sudah mengganggu anak, ibu mana yang tidak akan terusik. Aku harus bicara dengannya!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status