Share

Bab 5. Tamu Penghasut

Aku langsung berdiri ingin menghampirinya, akan aku buat dia tersadar! Kekesalan yang sudah terpatik membulatkan tekadku yang selama ini tertahan.  

Langkah kakiku terhenti tiba-tiba,  ketika suara hatiku berbisik mengingatkan apa yang dikatakan suamiku.  Berbicara dengan kekesalan tidak akam menyelesaikan masalah,  justru hanya akan menimbulkan keributan.  

Namun, dengan apa menyadarkan Mbak Rini? Dengan perkataan? Mana dia mengerti, pikirannya sudah dibutakan dengan apa yang dia yakini. Sama saja aku bicara dengan tembok, hanya membuat ribut tanpa ada penyelesaian.

Percuma!

Aku terduduk kembali dan menyebut nama-Mu. Menghilangkan amarah yang sudah menguasai hati ini.

*

"Rini .... Pokoknya, kamu harus kuat. Jangan sampai dikalahkan si Nisa. Dia itu pinter mengambil hati, bisa jadi Hasan anakmu tidak mendapat warisan karena dikuasai dia." 

Suara bisik-bisik, tetapi masih terdengar jelas dari kamarku. Dari suaranya seperti Bu Rusmini, adik dari ibu Mbak Rini. Dia memang dekat dengannya. Aku mendekatkan telingaku di lubang pintu, memperjelas pembicaraan mereka.

"Apalagi anaknya Alif, itu laki-laki. Bisa jadi kamu yang ditendang dari sini. Terus kamu mau ke mana? Ke rumah Ibumu? Mau tinggal dengan Bapak Tirimu yang jahat itu?" ucapnya lagi. 

"Tidaklah!" Suara Mbak Rini dengan keras.

"Bagaimanapun anaknya Sardi hanya kamu saja. Ridwan itu anak angkat, apalagi sekarang dia sudah mati. Iya, kan? Yang kasihan itu kamu, selama ini dibuat bodo. Tidak disekolahkan. Akhirnya gini, kamu dimanfaatkan saja!" ucapnya seakan memanasi Mbak Rini. 

Aku intip, Mbak Rini terlihat mengangguk-angguk saja. 

Dia memang pendek pemikirannya, tetapi kenapa tidak ada sisa ingatan bahwa kami menyayanginya? Kenapa malah lebih percaya kepada orang yang tidak pernah ada untuknya? Kalau Bu Rusmini sayang dengannya, kenapa dari kecil tidak merawatnya. Malah Emak Sayuti yang membuat dia bisa bangkit.

"Aku sudah berusaha menyuruhnya pulang, tapi Nisa tetap tidak mendengarkan. Entah, apa yang harus aku lakukan," jawab Mbak Rini.

"Ssstt ... Rin, Bulik Rus kasih tahu. Bagaimana kalau  ke orang pinter. Tinggal ditiup, beres."

"Bisa cepet memang?"

"Bisalah. Nanti Bulik bantu. Biayanya cuma lima ratus ribu. Murah itu, dibandingkan warisan yang akan kamu dapatkan."

"Mau aku. Tetapi uangnya belum ada, minggu depan Bulik ke sini, ya. Aku siapkan uangnya dulu," ucap Mbak Rini. 

"Siplah. Jangan lama-lama. Keburu warisannya dia keruk habis! Eh, dia di mana? Omongan kita tidak dia dengar, kan. Aku tidak enak, nanti dipikirnya aku ngompori kamu. Padahal, bantu ponakan tersayangku ini saja."

"Dia tidur. Seharian kerjaannya gitu. Seperti benalu saja!" jawab Mbak Rini.

"Wes, aku pulang, ya. Ingat, minggu depan siapkan uangnya," ucapnya dan beberapa saat kemudian terdengar pintu depan tertutup. 

Aku terduduk lemas di belakang pintu kamar. Percakapan mereka membuatku ngeri. Ternyata yang dipermasalahkan warisan. Aku saja tidak pernah berpikir tetang hal ini, apalagi berniat menguasai rumah ini. Entah apa yang akan terjadi kalau dia meluluskan niatnya. Bisa jadi tidak hanya kami dibuatnya pergi, lebih ngeri lagi kemungkinan nyawa taruhannya seperti cerita-cerita yang sering beredar. 

Kegigihannya sampai berniat meminta bantuan orang 'pintar', membulatkan niatku untuk meninggalkan rumah ini. Keselamatan kami yang harus aku utamakan. Entah, bagaimana caranya kami hidup, pasti yang di Atas memberi jalan.  

Namun, untuk kembali ke kampung halamanku terasa berat. Bisa jadi keluar dari masalah di sini dan membuat masalah baru. 

Aku yakin, ini jalan yang terbaik untuk semuanya. Aku teringat ucapan Mbak Fatimah saat pengajian, “Dan tidak satu pun makhluk bergerak di bumi melainkan dijamin Allah rezekinya.”

Hatiku sudah mantap, sekarang tinggal mencari waktu bicara dengan Emak dan Bapak untuk meminta restunya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status