Share

Bab 7. Sandiwara Kakak Ipar

"Bapak, Emak, Mbak Rini, kami pamit. Mohon maaf kalau kami ada salah. Selama ini, kami merepotkan," ucapku setelah travel pesananku memberi kabar kalau sudah diperjalanan menjemputku.

"Jangan berkata seperti itu!" teriak Emak langsung memelukku dan mencium pipi Dwi dan Alif. "Kalian anugrah dan kebahagiaan kami," ucapnya lagi seraya mengusap air mata di pipinya.

"Nisa, sampai kapanpun kamu menantu kami. Alif dan Dwi, selamanya cucu kami kami," tambah Bapak Mertuaku. 

"Terima kasih," ucapku mencium tangan Emak dan Bapak, kemudian berakhir dengan Mbak Rini yang memberikan tangannya sedikit.

"Mbak Rini, saya pamit," ucapku.

"Kamu membawa barangmu saja, kan. Tidak bawa sesuatu yang kau ambil tanpa ijin?" tanyanya dengan sinis.

"Rini! Jaga bicaramu! Bapak selama ini diam, karena menganggap kamu sudah dewasa! Tapi ternyata kamu tidak berubah. Tetap bodoh!" teriak Bapak dengan keras. 

Tidak pernah sekalipun aku mendengar bapak teriak seperti ini. Beliau memang tidak banyak bicara, apalagi sampai teriak keras seperti saat ini.

"Ayo! Minta maaf kepada Nisa!" teriaknya sambil menunjuk ke arah Mbak Rini. Kami semua kaget dan takut, terutama Mbak Rini. Wajahnya terlihat pucat pasi. Emak langsung berlari menghampiri Bapak dan menepuk lengannya untuk meredakan amarah yang sudah pecah ini.

"Ni-Nisa, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menuduhmu yng bikan-bukan," ucapnya dengan mata merebak merah. Aku menerima uluran tangannya, mungkin dengan ini dia bisa sadar. Dia menarikku dan merangkulku. 

"Kamu senangnya Bapak membentakku? Awas kamu, ya" bisiknya lirih. Ucapannya mengagetkanku, aku kira dia sadar ternyata tidak. Ucapannya seperti ancaman. Spontan aku melepas rangkulan dan menatap matanya yang berkaca-kaca.

"Nisa .... Maafkan aku. Aku salah. Maukah kamu mengurungkan niatmu untuk pergi?" ucapnya sambil menangis, airmatanya meluncur deras di pipinya. 

Aku terhenyak melihat apa yang di depanku. Mbak Rini dengan lihainya memainkan sandiwara. Berlawanan dengan apa yang dibisikkan, dengan yang aku lihat sekarang. Aku menghela napas mengurai keterkejutanku, dan tersenyum melihat tingkahnya. Segitu usahanya dia untuk membohongi Bapak dan Emak.

Akhirnya keputusanku benar-benar bulat, aku harus meninggalkan rumah ini. Fokusku sekarang adalah anak-anak.

"Nisa, bagaimana? Tidak usah pergi, ya. Rini sudah setuju kalian di sini," ucap Emak langsung menghampiriku. 

"Emak, terima kasih. Nanti pasti Nisa akan kasih kabar semuanya," ucapku mantap.

"Nis ...." ucap Emak dengan mata memohon.

"Maaf Emak," ucapku tersenyum. 

"Beneran, ya. Kalian jangan lupakan Emak. Alif, Dwi, jangan sampai mereka melupakan kami di sini, ya."

Aku mengangguk yakin.

Tin .... Tin ....

Mobil travel datang dan berhenti di depan rumah.

"Kami pamit," ucapku.

Aku yang menggendong Dwi mengikuti Alif yang sudah masuk ke mobil terlebih dahulu.

Bapak membantu membawakan tas pakaianku naik ke mobil. 

Dari jendela mobil, aku memandang wajah Emak yang terus dibasahi air mata dan Bapak yang merangkulnya mencoba menenangkan. Mereka melambaikan tangan dan sekilas aku lihat senyum lega Mbak Rini.

Mobil berjalan pelan meninggalkan rumah kenanganku bersama Mas Ridwan. Suamiku, maaf aku tidak bisa memenuhi janjiku untuk menjaga Emak dan Bapak. Aku yakin, Mas Ridwan mengerti akan keputusanku ini.

Dari kaca belakang mobil, terlihat Emak berjalan cepat diikuti Bapak di belakangnya. Mobil semakin cepat, dan sosok mereka mengecil dan menghilang.

"Ibuk, jangan menangis lagi," ucap Alif sambil memeluk lenganku. Aku mengusap air mata yang membasahi di pipi. Alif, walaupun masih kecil, dia seperti tahu dengan apa yang terjadi. Dia selalu berusaha menghiburku.

"Tidak, Nak. Ibuk tidak akan menangis lagi. Kan ada Alif yang menjaga Ibuk," ucapku dengan merangkulnya dan mengecup kepalanya.

Ya Allah, tolong jaga kami.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status