"Bapak, Emak, Mbak Rini, kami pamit. Mohon maaf kalau kami ada salah. Selama ini, kami merepotkan," ucapku setelah travel pesananku memberi kabar kalau sudah diperjalanan menjemputku.
"Jangan berkata seperti itu!" teriak Emak langsung memelukku dan mencium pipi Dwi dan Alif. "Kalian anugrah dan kebahagiaan kami," ucapnya lagi seraya mengusap air mata di pipinya.
"Nisa, sampai kapanpun kamu menantu kami. Alif dan Dwi, selamanya cucu kami kami," tambah Bapak Mertuaku.
"Terima kasih," ucapku mencium tangan Emak dan Bapak, kemudian berakhir dengan Mbak Rini yang memberikan tangannya sedikit.
"Mbak Rini, saya pamit," ucapku.
"Kamu membawa barangmu saja, kan. Tidak bawa sesuatu yang kau ambil tanpa ijin?" tanyanya dengan sinis.
"Rini! Jaga bicaramu! Bapak selama ini diam, karena menganggap kamu sudah dewasa! Tapi ternyata kamu tidak berubah. Tetap bodoh!" teriak Bapak dengan keras.
Tidak pernah sekalipun aku mendengar bapak teriak seperti ini. Beliau memang tidak banyak bicara, apalagi sampai teriak keras seperti saat ini.
"Ayo! Minta maaf kepada Nisa!" teriaknya sambil menunjuk ke arah Mbak Rini. Kami semua kaget dan takut, terutama Mbak Rini. Wajahnya terlihat pucat pasi. Emak langsung berlari menghampiri Bapak dan menepuk lengannya untuk meredakan amarah yang sudah pecah ini.
"Ni-Nisa, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menuduhmu yng bikan-bukan," ucapnya dengan mata merebak merah. Aku menerima uluran tangannya, mungkin dengan ini dia bisa sadar. Dia menarikku dan merangkulku.
"Kamu senangnya Bapak membentakku? Awas kamu, ya" bisiknya lirih. Ucapannya mengagetkanku, aku kira dia sadar ternyata tidak. Ucapannya seperti ancaman. Spontan aku melepas rangkulan dan menatap matanya yang berkaca-kaca.
"Nisa .... Maafkan aku. Aku salah. Maukah kamu mengurungkan niatmu untuk pergi?" ucapnya sambil menangis, airmatanya meluncur deras di pipinya.
Aku terhenyak melihat apa yang di depanku. Mbak Rini dengan lihainya memainkan sandiwara. Berlawanan dengan apa yang dibisikkan, dengan yang aku lihat sekarang. Aku menghela napas mengurai keterkejutanku, dan tersenyum melihat tingkahnya. Segitu usahanya dia untuk membohongi Bapak dan Emak.
Akhirnya keputusanku benar-benar bulat, aku harus meninggalkan rumah ini. Fokusku sekarang adalah anak-anak.
"Nisa, bagaimana? Tidak usah pergi, ya. Rini sudah setuju kalian di sini," ucap Emak langsung menghampiriku.
"Emak, terima kasih. Nanti pasti Nisa akan kasih kabar semuanya," ucapku mantap.
"Nis ...." ucap Emak dengan mata memohon.
"Maaf Emak," ucapku tersenyum.
"Beneran, ya. Kalian jangan lupakan Emak. Alif, Dwi, jangan sampai mereka melupakan kami di sini, ya."
Aku mengangguk yakin.
Tin .... Tin ....
Mobil travel datang dan berhenti di depan rumah."Kami pamit," ucapku.
Aku yang menggendong Dwi mengikuti Alif yang sudah masuk ke mobil terlebih dahulu.Bapak membantu membawakan tas pakaianku naik ke mobil.
Dari jendela mobil, aku memandang wajah Emak yang terus dibasahi air mata dan Bapak yang merangkulnya mencoba menenangkan. Mereka melambaikan tangan dan sekilas aku lihat senyum lega Mbak Rini.
Mobil berjalan pelan meninggalkan rumah kenanganku bersama Mas Ridwan. Suamiku, maaf aku tidak bisa memenuhi janjiku untuk menjaga Emak dan Bapak. Aku yakin, Mas Ridwan mengerti akan keputusanku ini.
Dari kaca belakang mobil, terlihat Emak berjalan cepat diikuti Bapak di belakangnya. Mobil semakin cepat, dan sosok mereka mengecil dan menghilang.
"Ibuk, jangan menangis lagi," ucap Alif sambil memeluk lenganku. Aku mengusap air mata yang membasahi di pipi. Alif, walaupun masih kecil, dia seperti tahu dengan apa yang terjadi. Dia selalu berusaha menghiburku.
"Tidak, Nak. Ibuk tidak akan menangis lagi. Kan ada Alif yang menjaga Ibuk," ucapku dengan merangkulnya dan mengecup kepalanya.
Ya Allah, tolong jaga kami.
*****Bab 8. Menuju Kota Harapan-------------------------------------Mobil semakin cepat jalannya, kami langsung berangkat ke tujuan karena kami penumpang terakhir yang dijemput.Rumah-rumah seperti berlarian ke belakang dengan kecepatan yang sebanding dengan cepatnya laju mobil. Awalnya aku menyibukkan diri membaca tulisan-tulisan di pinggir jalan, lambat laun tulisan itu mengabur terhalang titik hujan yang membasahi kaca jendela.Buliran air menetes sedikit demi sedikit, kemudian membentuk aliran-aliran air yang semakin deras. Hujan mengguyur bumi mengantarkan kepergian kami. Dwi, bayi kecilku tertidur pulas di pangkuanku. Wajahnya begitu damai dan sesekali ada senyum yang tersungging di sana. Aku menoleh ke sampingku, Alif juga sudah tertidur. Begitu nyenyak, kepalanya sedikit menengadah dengan mulut yang terbuka terdengar deru halus nafasnya yang teratur. Aku usap rambutnya, dia beringsut dan menyandarkan kepalanya di lenganku.Mas Ridwan, lihatlah kami bertiga yang merindukanmu. Sam
Sebersit sinar matahari menyilaukan mataku. Gerakan Dwi dipangkuanku membuatku terjaga. Aku ngerjapkan mata dan berlahan kubuka mata ini. Gedung-gedung besar menjadi pemandangan. Kendaraan bermotor dengan berbagai jenis terlihat lalu lalang. Sesekali aku melihat sepeda motor saling berebut untuk mendahului. Semuanya bergerak aktif, seperti tidak mau ketinggalan akan waktu. Inilah kota tujuan kami menggantungkan harap. Memperjuangkan hidup untuk mengantar anak-anak ke masa depan yang lebih cerah.Alif yang sudah bangun terlihat menikmati pemandangan ini, dia menoleh setelah menyadari aku sudah terbangun. Dwi pun mengerjapkan mata sambil menggoyang-goyangkan kaki dan tangannya. "Adek! Ci luuuk, ba!" Candaan Alif disambut tawa terkekeh Dwi. Aku dudukkan Dwi di antara kami, mereka meneruskan bercanda dengan riang. Tubuhku aku regangkan, mengurai penat dan pegal ini.Aku melihat sekeliling, hanya tinggal beberapa penumpang saja. Berarti tujuanku akan segera sampai. Kemarin, aku sudah t
"Nisa, ya?!"Ucapanku terpotong dengan teriakan dari dalam rumah. Bersamaan kami menoleh ke arah suara itu. Seorang wanita tua berdiri di depan pintu yang terbuka. Persis dengan foto di ponselku. Beliau, Umi Inayah.Alhamdulillah ....***"Wik! Bantu cepat, bawakan tasnya ke dalam. Pasti berat, ya?" teriak Umi Inayah menghampiriku. Laki-laki di sebelahku ini terdiam sesaat, memandang aku dan Umi bergantian, kemudian mengambil tas pakaian yang berada di sampingku. Dia tersenyum sekilas dan tanpa berkata-kata, masuk membawakan tas besar itu. Aku langsung menghampiri Umi dan mencium tangannya diikuti Alif. "Saya Nisa, Umi Inayah." "Panggil saya Umi saja," ucapnya sambil tersenyum hangat. "Ini, pasti Dwi! Dan, ini Alif, ya!" Umi mengelus Dwi kemudian mengirimku orang-orang baik yang menolongku. Mereka bukan saudara tetapi rela untuk menolongku, ini karena kehendak-Nya. "Ini Mbok Sarinem panggil saja Mbok Sari. Sebelumnya ada Mbok Iyah juga, tetapi sekarang ikut anaknya. Nah dia in
Suara Mas Ridwan terasa jelas di telingaku. Aku langsung beranjak duduk dan mengedarkan ke sekeliling. Namun, hanya ada aku sendiri bersama Dwi. Tidak ada sosok Mas Ridwan. Rinduku akan dia membuatku berhalusinasi.Aku helakan napas dengan mata terpejam.Mas Ridwan, aku yakin kamu masih hidup walaupun entah di belahan dunia mana. Aku merindukanmu.*****"Wah, enak masakanmu, Nisa. Benar kata Fatimah, kamu pintar memasak. Sekarang terbukti!" teriak Umi setelah selesai makan. Aku tersenyum dan mengangguk ke arah Umi. Alif juga makan dengan lahap, dia sampai minta tambah lagi. "Kalau kamu tidak keberatan, tolong setiap hari masak buat Umi, ya. Tetapi, maaf ya. Umi bukan berarti menganggapmu sebagai ...." "Iya Umi. Saya siap! Bukankah kalau saya dianggap keluarga berarti juga mempunyai tanggung jawab di sini," ucapku memotong perkataan Umi. Aku tahu Umi kawatir membuatku tersinggung. "Baiklah. Fatimah juga cerita, kamu akan membuka usaha makanan. Kamu bisa pakai dapur sesukamu. Silahk
"Ini, temen-temenku, bosnya order nugget. Ini!" ucapnya sambil menunjukkan layar ponselnya. "Alhamdulillah," ucapku dengan tersenyum lebar. "Umi, tadi kami iseng menawarkan di grup," jelasku dengan senyum masih tercetak di wajahku. "Maaf Umi, saya belum minta ijin," ucapku lagi. "Alhamdulillah! Ini namanya, Allah memberi jalan kepadamu. Bukankah kamu sudah mempunyai niat untuk menjual makanan? Inilah jawabannya. Umi doakan, kamu cepat sukses," kata Umi dengan menepuk bahuku. Aku mengangguk senang karena Umi mendukungku. "Tetapi, sisakan Umi yang ada wortel dan brokolinya, ya. Bowo akan ke sini nanti malam," ucapnya lagi. Aku menatapnya sambil mengernyitkan dahi. "Dia yang menolong membawa tas kamu itu, lo. Dan, yang pernah dikirim asem-asem dulu. Ingat?" jelas Umi. "O, Pak Wibowo Santoso," ucapku memastikan. Aku ingat sosok seramnya, laki-laki yang menjulang dengan jaket kulit berwarna hitam. "Iya. Dia keponakan Umi. Memang tinggalnya di apartemen, tetapi sering ke sini menjenguk
"Mbak Nisa! Tadi malam di cariin Mas Bowo. Katanya terima kasih kopinya enak, camilannya juga enak," kata Bik Sari. Aku baru pulang kembali dari mengantar Alif sekolah dan langsung belanja ke pasar. Bik Sari yang selesai menyapu halaman mengikutiku dari belakang."Tadi malam, maunya saya ketok kamar Mbak Nisa, tetapi kok lampunya mati. Aku bilang saja Mbak Nisa sudah tidur," jelas Bik Sari lagi."Pak Bowo masih ada di sini, Bik?" tanyaku sambil mengeluarkan belanjaan dari pasar. Sayur, buah dan ikan segar. Empon-empon juga habis, aku membeli untuk stok."Mbak Nisa ingin nemui Mas Bowo?"Aku menghentikan kegiatanku dan menoleh ke arahnya. "Endak, lah. Untuk apa?" tanyaku balik.Bik Sari hanya mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum. "Ya, mungkin mau ngobrol," celetuknya. Aku jawab dengan senyuman saja.Tadi malam, setelah membuat kopi, aku langsung mengantar ke teras depan. Aku lihat dia memakan nugget sebagai camilannya dengan lahap. "Terima kasih, ya!" ucapnya dengan tersenyum d
Kami makan bersama, Umi, keponakan umi, aku, dan kedua anakku. Sambil memangku Dwi, aku menyuapinya dengan nasi tim yang dicampur dengan daging ikan dari sup ini. Umi memuji masakanku, dia bilang supnya menyegarkan. "Tumben kamu mau makan ikan, Wik?" tanya Umi. Dia memang sering memanggil Wik daripada Bowo. Katanya dulu ketika kecil dia tidak bisa menyebut nama lengkap, Wibowo, jadinya panggilan kecilnya Wik. "Enak!" katanya sambil menambahkan nasi untuk kedua kalinya. "Makanya, cepet cari istri. Biar ada yang masakin!" celetuk Umi. Uhuk ...! Mas Bowo terbatuk mendengar ucapan Umi. Dia langsung meneguk air putih di sebelahnya."Mesti begitu kalau ditanya Umi. Mamamu itu lo, ngejar-ngejar Umi untuk nyarikan istri kamu. Sampe bingung jawabnya!" "Ya, cuekin aja, Mi.""Pacarmu yang bulan kemarin itu aja. Cepet dilamar.""Sudah putus. Ah, Umi bikin nafsu makanku hilang," jawab Mas Bowo"Nafsu makan ilang opo! Sudah dua piring gitu!" sanggah Umi disambut tertawa Mas Bowo.Aku tersenyum
"Usahamu sudah mulai tumbuh, kamu harus memupuknya terus. Jangan sampai pelangganmu kecewa, karena usaha makanan itu maju atau tidak tergantung ininya pelanggan," jelas Umi sambil menunjuk mulutnya. "Iya Umi, saya mengerti. Karena itu, saya minta ijin mulai memakai dapur belakang," ucapku. Ada bangunan kecil di belakang rumah. Kata Umi dulu dapur kotor saat di rumah ini penghuninya lengkap. Namun, karena anak Umi tinggal dilain kota dan yang di rumah sekarang tinggal Umi, jadi dapur besar itu tidak digunakan lagi."Pakai saja secepatnya. Cek dulu, masih bagus tidak peralatan yang di sana. Untuk pesanan sore ini, kamu pakai dapur di depan dulu," ucap Umi dengan menepuk bahuku."Sekalian minta ijin, Umi. Besuk saya pergi dulu ke toko perhiasan. Saya ingin menjual ini untuk modal," kataku dengan memperlihatkan isi buntalan yang diberikan Emak Sayuti dulu. Satu kalung, dua gelang dan beberapa cincin, simpanan Emak saat masih aktif berdagang dulu.Umi menarik tanganku dan menutup kembali