Share

Bab 8. Menuju Kota Harapan

Bab 8. Menuju Kota Harapan

-------------------------------------

Mobil semakin cepat jalannya, kami langsung berangkat ke tujuan karena kami penumpang terakhir yang dijemput.

Rumah-rumah seperti berlarian ke belakang dengan kecepatan yang sebanding dengan cepatnya laju mobil. Awalnya aku menyibukkan diri membaca tulisan-tulisan di pinggir jalan, lambat laun tulisan itu mengabur terhalang titik hujan yang membasahi kaca jendela.

Buliran air menetes sedikit demi sedikit, kemudian membentuk aliran-aliran air yang semakin deras. Hujan mengguyur bumi mengantarkan kepergian kami. 

Dwi, bayi kecilku tertidur pulas di pangkuanku. Wajahnya begitu damai dan sesekali ada senyum yang tersungging di sana. Aku menoleh ke sampingku, Alif juga sudah tertidur. Begitu nyenyak, kepalanya sedikit menengadah dengan mulut yang terbuka terdengar deru halus nafasnya yang teratur. Aku usap rambutnya, dia beringsut dan menyandarkan kepalanya di lenganku.

Mas Ridwan, lihatlah kami bertiga yang merindukanmu. Sampai kapanpun di hati kami, namamu tetap bertahta. 

Aliran air semakin deras, tidak ada lagi aliran kecil, hujan seperti tertumpahkan. Begitu juga hatiku, rinduku semakin menganak. Rasa ini semakin sesak mendesak hati ini. Mas Ridwan, aku merindukanmu.

Aku sandarkan kepala, memandang jendela, berusaha melepas rasa sesak di dada. Namun rasa itu semakin mengarak seiring lagu mengalun yang diperdengarkan di mobil ini.

~

Aku masih ada di sini

Masih dengan perasaanku yang dahulu

Tak berubah dan tak pernah berbeda

Aku masih yakin nanti milikmu

Aku masih di tempat ini

Masih dengan setia menunggu kabarmu

Masih ingin mendengar suaramu

Cinta membuatku kuat begini

Aku merindu ... ku yakin kau tau

Tanpa batas waktu ... ku terpaku

Aku meminta walau tanpa kata

Cinta berupaya

Engkau jauh di mata tapi dekat di doa

Aku merindukanmu ....

~

Pandanganku memudar. Dengan sendirinya tetes air mata membasahi pipi ini. Sesekali aku mengusapnya, tetapi tidak bisa membendung derasnya air mata ini seiring derasnya hujan. Aku tak kuasa lagi.

Mas Ridwan, aku sangat merindukanmu.

***

"Bu ... Bu. Waktunya turun untuk makan."

Suara terdengar samar dan tepukan pelan di lenganku. Aku langsung terjaga, seorang ibu tersenyum kepadaku.

"Sudah sampai di perhentian. Kita bisa ke toilet dan sudah disiapkan makan. Ini kuponnya, tadi pak sopir menitipkan ke saya. Ucapnya dengan menyodorkan dua kertas kecil berstempel.

"Terima kasih, Bu," jawabku dengan tersenyum dan mengangguk. Mataku terasa lengket akibat tangisanku. Alif di sebelahku menggeliat, meregangkan tubuhnya. Tidur dengan posisi duduk pasti membuat tubuhnya terasa kaku. Dwi masih tertidur pulas.

"Ibuk, sudah sampai, ya?" tanyanya dengan berusaha melebarkan matanya. 

"Kok, masih gelap?" tanyanya kembali setelah mengintip keluar lewat jendela.

"Belum sampai, Kak. Ini kita berhenti istirahat dulu. Kakak, pipis dulu kemudian makan. Ayo turun," jelasku dan dijawab dengan anggukan.

Aku antar Alif ke toilet, setelah dia selesai, kami menuju tempat makan. Aku pilih tempat duduk yang berisi dua orang dan terletak di sudut ruangan. 

"Kak, Adek dipangku dulu, ya. Ibuk ke toilet sebentar. Tahu apa pesan Ibuk?" tanyaku dengan meletakkan Dwi yang tertidur di pangkuan Alif.

"Tidak boleh percaya dan banyak bicara dengan orang asing. Apalagi diajak pergi," jawab Alif dengan menatapku. 

"Pinter anak Ibuk!" ucapku dan langsung bergegas ke toilet. 

Aku berusaha mengajarkan Alif untuk mandiri dan menjaga diri. Apalagi, nanti di kota besar tujuan kami ini.

Setelah dari toilet, aku menukar kupon dengan dua piring rawon dan dua gelas teh hangat. Makanan ini pasti bisa menghangatkan dan menguatkan tubuh kami.

"Kakak sekarang makan, ya," ucapku seraya mengambil Dwi dari pangkuannya. Dengan lahap dia habiskan makanan di depannya.

"Ibuk, Surabaya itu yang pernah aku dan Ayah pernah ke sana, ya?" tanya Alif meneguk teh hangat. Aku yang masih makan, mengangguk untuk menjawabnya.

"Asik! Di sana rame lo, Buk. Mobilnya banyak, ada gedung tinggi-tinggi. Kata Ayah, nanti aku akan sekolah di sana," ceritanya dengan semangat.

Satu bulan sebelum peristiwa naas itu, Mas Ridwan diutus Dinas untuk mengurus keperluan kantor. Walaupun dia tenaga honorer,  tetapi karena dia bisa dipercaya akhirnya Mas Ridwanlah yang diutus oleh orang Dinas.  Saat itu, Alif diajaknya juga.

"Biarlah, Dek. Alif anak laki-laki harus tahu dunia luar. Sebagai anak pertama dia bertanggung jawab menjagamu dan adeknya. Jadi dari kecil, kita harus gembleng dia," jelas Mas Ridwan saat aku keberatan dia mengajak serta Alif.

Mas Ridwan, dirimu benar. 

Saat ini, Alif anak kita sudah bersikap dewasa dibandingkan anak seusianya. Dia seakan tahu tanggung jawabnya. Aku tersenyum sambil memandang Alif, bersyukur mempunyai anak yang luar biasa ini.

Setelah beberapa saat, dari pihak travel memberitahukan kalau perjalanan akan dilanjutkan. Kami para penumpang, bergegas masuk ke mobil.

"Ibuk, Alif bobok, ya. Masih ngantuk," ucapnya setelah menguap. 

"Tidurlah. Sini, bersandar di Ibuk." Gelengan kepala jawabannya.

"Ibuk nanti capek. Alif tidurnya gini aja," jawabnya. Tubuh kecilnya bersandar di jendela dan matanya mulai terpejam menyambut mimpi.

Anakku, Ayah pasti bangga kepadamu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status