Share

Bab 9. Akhirnya Ketemu

Sebersit sinar matahari menyilaukan mataku. Gerakan Dwi dipangkuanku membuatku terjaga. Aku ngerjapkan mata dan berlahan kubuka mata ini. 

Gedung-gedung besar menjadi pemandangan. Kendaraan bermotor dengan berbagai jenis terlihat lalu lalang. Sesekali aku melihat sepeda motor saling berebut untuk mendahului. Semuanya bergerak aktif, seperti tidak mau ketinggalan akan waktu. 

Inilah kota tujuan kami menggantungkan harap. Memperjuangkan hidup untuk mengantar anak-anak ke masa depan yang lebih cerah.

Alif yang sudah bangun terlihat menikmati pemandangan ini, dia menoleh setelah menyadari aku sudah terbangun. Dwi pun mengerjapkan mata sambil menggoyang-goyangkan kaki dan tangannya. 

"Adek! Ci luuuk, ba!" 

Candaan Alif disambut tawa terkekeh Dwi. Aku dudukkan Dwi di antara kami, mereka meneruskan bercanda dengan riang. Tubuhku aku regangkan, mengurai penat dan pegal ini.

Aku melihat sekeliling, hanya tinggal beberapa penumpang saja. Berarti tujuanku akan segera sampai. Kemarin, aku sudah titipkan alamat ke sopir dan dia mengerti. Mbak Fatimah juga sudah menjelaskan lokasinya di mana. Dia juga memberikan foto Umi Inayah dan foto rumah dari depan.

Foto di ponsel ini aku pindai ke ingatanku. Umi Inayah, wajah orang Jawa terlihat ayu walaupun sudah di usia senja. Sorot matanya terlihat teduh, menenangkan walau hanya memandangnya saja.

"Umi ini orang Jogja. Kalau Abah, ada keturunan Arab makanya hasilnya seperti aku ini," terang Mbak Fatimah saat melihatku terheran saat menerima foto Ibunya kala itu.

"Ibu sendirian hanya temani Mbok Iyah. Tetapi ada Bowo sepupuku yang sesekali melihat keadaan Ibu," terangnya lagi.

"Benar, kami tidak akan merepotkan? Saya sebenarnya ingin mencari kost saja, Mbak. Kawatir anak-anak di sana merepotkankan," ucapku dengan mengelus kepala Alif.

"Semua terserah kamu. Awalnya, kamu tinggal di sana dulu. Tidak aman di kota besar, perempuan sendirian membawa dua anak," ucapnya dengan tersenyum. 

"Ibu Nisa! Bersiap! Sudah akan sampai!" teriak Pak Sopir menyadarkan ingatanku. Aku langsung merapikan rambut dan bajuku, begitu juga Alif. Dwi langsung aku gendong.

Mobil travel berhenti tepat di rumah berwarna putih dan lempengan batu tipis berwarna hitam di bagian bawahnya. Pagar besi bersilang, setinggi satu setengah meter, sama persis dengan foto di ponselku ini. Nomor dua puluh enam terlihat jelas di tembok depan.

Benar.

Ini rumah Umi Inayah.

"Ayo, Kak. Kita turun. Sudah sampai," ucapku bergegas turun dari mobil. Pak Sopir membantu Alif untuk turun dan mengeluarkan tas besarku dari bagasi belakang. 

Kami berdiri di depan pagar. Aku menggendong Dwi dan menjinjing tas pakaian dengan Alif memegang ujung bajuku.

Bismillah ....

Aku mencari bel di balik tembok tiang pagar. 

Tidak aku temukan. Aku longokkan kepalaku ke dalam, sepi. Tidak ada seorangpun terlihat di luar. 

"Cari siapa, Mbak?"

Suara berat dari belakang membuatku terkejut. Aku langsung membalikkan badan, ada sosok menjulang di depanku. Dia menggunakan jaket kulit hitam, terlihat seram seperti di cerita di sinetron. Di kepalanya masih mengenakan helm dengan kaca sudah dibuka. 

"E ... e. Saya mencari rumah Ibu Inayah. Betul ini rumahnya?"

"Mencari Umi?" tanyanya kembali sambil mengernyitkan dahi dan memandang kami bergantian. 

"Sa-saya mendapat alamat ini dari Mbak Fatimah. Beliau sudah ...."

"Nisa, ya?!"

Ucapanku terpotong dengan teriakan dari dalam rumah. Bersamaan kami menoleh ke arah suara itu. Seorang wanita tua berdiri di depan pintu yang terbuka. Persis dengan foto di ponselku. Beliau, Umi Inayah.

Alhamdulillah, akhirnya ketemu. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status