Share

Bab 10. Aku Merindukanmu

"Nisa, ya?!"

Ucapanku terpotong dengan teriakan dari dalam rumah. Bersamaan kami menoleh ke arah suara itu. Seorang wanita tua berdiri di depan pintu yang terbuka. Persis dengan foto di ponselku. Beliau, Umi Inayah.

Alhamdulillah ....

***

"Wik! Bantu cepat, bawakan tasnya ke dalam. Pasti berat, ya?" teriak Umi Inayah menghampiriku.

Laki-laki di sebelahku ini terdiam sesaat, memandang aku dan Umi bergantian,  kemudian mengambil tas pakaian yang berada di sampingku. Dia tersenyum sekilas dan tanpa berkata-kata, masuk membawakan tas besar itu.

Aku langsung menghampiri Umi dan mencium tangannya diikuti Alif. 

"Saya Nisa, Umi Inayah."

"Panggil saya Umi saja," ucapnya sambil tersenyum hangat.

"Ini, pasti Dwi! Dan, ini Alif, ya!" Umi mengelus Dwi  kemudian mengirimku orang-orang baik yang menolongku. Mereka bukan saudara tetapi rela untuk menolongku, ini karena kehendak-Nya.

"Ini Mbok Sarinem panggil saja Mbok Sari. Sebelumnya ada Mbok Iyah juga, tetapi sekarang ikut anaknya. Nah dia ini saja yang menemani di rumah segede ini. Kalau ada kalian, Umi tidak akan kesepian lagi," terangnya sambil mengajakku ke kamar yang akan kami tempat. "Ini kamar kalian. Lumayan cukup untuk kalian, kan?" 

"Ini sungguh terlalu bagus untuk kami, Umi," ucapku sambil mengedarkan mata ke sekeliling. Ada tempat tidur besar, cukup luas untuk kami bertiga. Almari besar dan meja kecil, jendela tinggi terbuka dengan taman di depannya. Rumah Umi Ina, ruman kuno yang memiliki pintu dan jendela yang tinggi. "Tetapi Umi, saya sudah mengatakan kepada Mbak Fatimah. Saya di sini sementara dan akan mencari kost. Maaf sudah merepotkan," ucapku dengan menunduk hormat.

"Sini duduk," ucapnya menarikku ke tempat tidur. Kami duduk berdampingan, Umi menghadap ke arahku. "Sudah, tidak usah dipikir dulu. Kamu di sini bukan beban buat, Umi. Fatimah sudah menceritakan semuanya tentang kamu. Sabar, ya. Anggap, Umi ini ibumu. Sekarang bersih-bersih badan, setelah itu kita bisa berbincang," ucapnya dengan menepuk bahuku dengan tersenyum menenangkan kemudian  keluar dari ruangan.

*

Alif dan Dwi sudah mandi dan berganti pakaian, begitu juga aku. Setelah menyusui sebentar, aku keluar kamar. Umi yang duduk di ruang tengah langsung menyambutku. 

"Alif, sini nonton TV. Nisa, biarkan Dwi dengan Umi. Kamu bisa menata pakaian kalian," ucapnya seraya mengambil Dwi dari tanganku.

"Baik, Umi. Terima kasih."  Aku segera menyelesaikan merapikan kamar, memasukkan barang kami yang sedikit ke dalam almari baju.

"Masak apa, Bik?" tanyaku melihat Bik Sari memotong-motong wortel.

"Ini, Mbak Nisa. Umi menyuruh saya masak Asem-Asem Daging, tetapi saya tidak yakin yang saya buat ini enak. Biasanya yang masak Bik Iyah, saya cuma bantu potong-potong," ucapnya sambil mengambil sepotong daging dari kulkas. 

"Boleh saya bantu, Bik?" tanyaku. Aku mendekat, sayur wortel, buncis dan kentang sudah dipotong dadu. Sudah disiapkan bumbu-bumbunya, seperti bawang merah, bawah putih, dan lainnya, spesialnya ada belimbing wuluh. Sudah lengkap!

"Sini saya bantu potong dagingnya. Biarkan saya masak, mungkin Bik Sari masih ada perkerjaan," ucapku sambil meminta daging yang di bawanya.

"Beneran Mbak Nisa? Kalau begitu, saya tinggal jemur pakaian, ya!" ucapnya girang. Aku tersenyum dan mengangguk.

Pekerjaan memasak memang kesukaanku. Dulu di kampung dan terakhir di rumah mertua, tugasku memasak. Entah, siapa sekarang yang memasak di sana, setahuku Mbak Rini tidak telaten kalau melakukan pekerjaan ini.

Aku potong dadu senada dengan potongan sayur. Selain rasa, aku juga memperhatikan bentuk makanan, harus semenarik mungkin jngan sampai terkesan berantakan. Makanan pertama yang menarik mata, setelah itu baru dengan rasa.

Seharusnya, Bik Sari memotong daging dulu langsung di rebus, setelah itu baru memotong sayur sambil menunggu daging empuk. Memasak juga memerlukan pengaturan waktu, kalau terbalik bisa acara masak memakan waktu lama. 

Tumis bumbu ditambah lengkuas, daun salam  dan potongan cabe besar hijau dan merah, kemudian ditambah rebusan daging beserta kaldunya. Setelah mendidih dimasukkan sayuran potong tadi.  Siap, rasa asam dari belimbing wuluh terasa segar. Setelah di angkat, baru potongan tomat di masukkan, jadi tomat masih terasa segar.

"Lo, kamu yang masak, Nisa? Bibik mana?" tanya Umi mengagetkanku. Umi menggendong Dwi yang sudah tertidur pulas. 

"Iya Umi. Bik Sari jemur pakaian. Ini sudah selesai, kok," ucapku sambil mencuci tangan dan melepas celemek. Aku mengambil bayiku itu untuk ditidurkan ke kamar. 

"Hhhmm, enak! Kamu ternyata pinter masak, ya. Fatimah juga sempat cerita ke Umi. Kamu juga pintar buat jajanan," ucap Umi. Dia menyendok masakanku ke mangkok kecil dan menikmatinya. 

"Iya Umi, saya permisi menidurkan Dwi dulu," ucapku membungkuk dan melangkah ke kamar.

Dwi menggeliatkan tubuhnya, tangannya menggapai biasanya dia minta ditemani sebentar. Aku baringkan tubuhku di sampingnya dan mengusap-usap punggungnya sampai dia tertidur pulas.

Biasanya, Mas Ridwan akan menggodaku dengan ikut berbaring di belakangku. Dia mencium kepalaku, bahkan tak jarang membuatku geli karena ulahnya. Kalau sudah seperti itu, kami akan berakhir dengan saling membalas walaupun tanpa suara.

Tak jarang, Mas Ridwan membisikkan kata sayang dan terima kasih sudah mengurus anak-anak. Baginya, anak adalah anugrah, karena itulah dia bertekad memberikan kehidupan yang lebih baik, dengan apapun caranya termasuk pergi ke laut untuk menambah penghasilan.

"Terima kasih, Dek Nisa"

Deg!

Suara itu, suara Mas Ridwan. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status