"Mbak Nisa, dipanggil Umi. Ini saya selesaikan saja," ucap Mbak Sari mengambil alih yang aku kerjakan. Setelah makan bersama, aku membersihkan dapur, Dwi tertidur dan Alif bermain di halaman. Aku melepaskan celemek dan bergegas ke depan.Sudah ada Umi dan Mas Bowo yang duduk di ruang tengah. Umi menepuk sofa di sebelahnya untuk aku duduki."Nisa, Umi senang usahamu mulai jalan. Zaman sekarang sudah berbeda, tidak banyak orang membawa uang cash. Senin depan kamu buka rekening, mudahkanlah pelangganmu dalam pembayaran," jelas Umi."Iya Umi. Minggu depan saya cari kesempatan untuk ke bank," jawabku."Besuk hari minggu, kalau belanja peralatan, biar Bowo antar. Mumpung dia libur. Jangan sendiri, di kota ini tidak aman kalau kamu tidak mengerti," jelasnya disambut anggukan Mas Bowo yang di sebelahnya."Apa tidak merepotkan. Seharusnya hari libur buat istirahat. Saya bisa menggunakan angkutan umum, toh pasar tidak terlalu jauh dari sini. Kalau diijinkan, saya ajak Bik Sari saja," ucapku sen
"Mbak Nisa, kita mampir makan dulu ya. Aku lapar!" ucap Mas Bowo saat kami selesai belanja peralatan di pasar. Kasihan juga dia, bolak-balik membawa peralatan dari dalam pasar ke mobil walaupun ada tukang angkat yang mengikutinya. Kakinya pasti penat, seharian mengikuti aku keliling pasar. Tidak hanya mencari peralatan yang aku butuhkan, tetapi juga membandingkan harga yang paling bagus."Alhamdulillah, dapat harga bagus. Yang toko tadi, sudah pelayannya judes, harganya tidak boleh di tawar. Untung kita ke tempat yang ini Mas. Dapat harga murah!" ucapku senang. "Selisihnya cuma lima ribu, Mbak," celetuk Mas Bowo."Ya tetep lebih murah, Mas. Lima ribu kali berapa, lumayan bisa buat beli lainnya. Dapet bonus sutil, lagi!" Senyumku mengembang dengan sendirinya, memandang sutil yang aku pegang. Suatu kebanggaan tersendiri mendapat harga lebih murah ketika belanja."Cewek itu memang aneh. Dapet sutil gitu saja sudah senang," gerutu Mas Bowo lirih walaupun aku mendengar dengan jelas.Di
"Mbak Nisa ... Mbak."Terdengar suara memanggil namamu. Aku mengerjapkan mata, dan mengumpukan kesadaranku. Ternyata aku tertidur."Tidurnya nyenyak sekali, Mbak. Kecapekan, ya. Ayo kita turun. Kita sudah sampai," ucap Mas Bowo sambil membuka sabuk pengaman."Sudah di rumah?" tanyaku kebingungan. Aku longokkan kepalaku di jendela, ada mobil berjejer di sekeliling. "Kita mau makan, Mbak. Ingat?" ucapnya sambil tertawa melihatku kebingungan. Duh, gara-gara ketiduran. Aku merapikan rambut dan bajuku kemudian turun dari mobil. "Mas, ini di mana?" tanyaku lagi."Tuh!" jawabnya dengan menunjuk tulisan kecil di tembok yang bertuliskan parkir Tunjungan Plaza. Aku bergegas berlari mengejar langkah panjang Mas Bowo yang jalan lebih dulu. Kami masuk di keramaian dan memasuki rumah makan, tepatnya restoran."Mas Bowo. Kita tidak salah makan di sini?" bisikku. Mataku membulat saat melihat menu terutama angka yang di bawahnya. Bagiku harganya yang lumayan mahal."Sudah, pilih yang Mbak Nisa suka.
Masakan ini, pesanan Mas Bowo.Aku membersihkan kepiting. Cangkang kepiting aku lepas dan dibiarkan utuh, kemudian badannya potong menjadi dua. Kepiting yang sudah aku bersihkan ini kemudian dikukus. Labu siam juga sudah aku potong-potong. Sekarang menyiapkan bumbunya.Tadi setelah makan, kami singgah di pasar tradisional. Tempatnya begitu bersih, aku seperti masuk di surga. Sayuran segar terhampar dan tertata rapi, tidak ada tercium bau sampah atau tanah becek. Pasar ini begitu nyaman."Kamu ini perempuan aneh, diajak jalan-jalan di mall tidak mau. Eh, giliran ke pasar seperti ayam keluar kandang!" celetuk Mas Bowo yang mengikutiku."Mas Bowo kalau capek, tunggu di mobil saja. Aku bisa sendiri," saranku sambil memutarkan pandangan ke sekiling, seperti orang kelaparan."Tidak. Kalau ada apa-apa bisa digantung Umi! Eh, ada kepiting!" teriaknya dengan menunjuk kelompok lapak di paling ujung. Lapak penjual seafood. Dia langsung melangkahkan kaki melewatiku, terpaksa gantian aku yang meng
"Sakit, Buk," ucapnya sambil masih terisak. Di tunjukkan jarinya kepadaku. Ternyata ada serpihan kayu yang masuk ke jarinya. "Aduh! Sakiiit!" teriakkan saat tak sengaja tersenggol."Oalah, telusupen ya. Sini sama Bibik saja!" sela Bik Sari langsung mengajak Alif duduk di dekatnya. Dia ke luar sebentar dan kembali sambil membawa tangkai daun pepaya, sepertinya memetik di sebelah rumah. "Sudah jangan menangis, Cah Bagus. Bibik obati, tidak sakit kok!" ucapnya dengan sabar, aku memperhatikan apa yang dilakukan. Kemudian dia meneteskan getah pepaya di jari Alif dan menaburkan garam di atasnya."Nanti kayunya akan ke luar sendiri. Ini resep dari simbahku," jelasnya kepadaku. "Terima kasih ya, Bik." Aku terharu dengan perlakuannya. Di perantauan ini, kami dikelilingi orang-orang yang baik dan menyayangi kami. "Iya. Podo-podo. Kalian ini saudaraku di sini. Jangan sungkan," ucapnya dengan merangkul Alif yang sudah tidak menangis lagi.*"Mas Bowo, makanannya sudah matang," ucapku setelah
GN- Bab 21.Pesanan untuk teman di kantor Mas Bowo sudah selesai. Lima belas Lontong Sayur Kepiting sudah tertata rapi. Disetiap kemasan sudah aku sertakan satu plastik peralatan makan satu kali pakai, sendok, garpu, tissue dan tusuk gigi. Mas Bowo selalu mengingatkanku, posisikan pembeli seperti kita sendiri. Buatlah mereka senyaman dan sepuas mungkin menikmati makanan. Tring![Saya kirim mobil online. Kamu ikut sekalian, ada yang harus kita bicarakan. Sekalian kita ke bank untuk buka rekening]Pesan dari Mas Bowo. Aku harus ikut mengantar pesanan ini? Ke kantornya?Aduh!Terus terang, aku tidak percaya diri masuk ke kantor besar di kota ini. Jiwa kampungku langsung menciut. Apa penampilanku nanti tidak memalukan? Takut, kawatir akan sesuatu yang tidak jelas. Rasa ini yang membuat orang tidak pernah maju, itu yang pernah Mas Ridwan katakan. Kalau suamiku, dia dikenal sebagai orang yang bisa diandalkan. Tidak pernah takut apapun sebelum melangkah. Karena itulah saat menjadi tenaga
"Kalau begitu, begini saja," ucapnya, kemudian dia mendekat. Aku menahan napas sambil menatap ke arahnya. Mas Bowo mengeluarkan head seat yang dihubungkan dengan ponselnya."Kamu suka lagu ini kan?" ucapnya sambil memasangkan di kedua telingaku. Aku menatapnya dan tersenyum lega. Aku kira dia akan …. Setelah mendengar alunan lagu ini. Wonderful World, menenangkanku dan tak terasa tanganku ditariknya masuk ke dalam lift. .."Sudah sampai," ucap Mas Bowo menepukku dan melepaskan head seat. Pintu lift terbuka, angin bertiup menerpa wajahku."Mas, ini di mana? Kok kita di luar gedung?" tanyaku. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan terbuka dengan atap seperti tenda besar. Ada banyak tanaman hijau di sini, tetapi kami seperti di atas awan. "Kita di tingkat paling atas! Di roof top," ucapnya mengagetkanku. Aku tempat paling tinggi? Bagaimana kalau tiba-tiba gedung ini roboh? Kakiku gemetar dengan sendirinya. Spontan aku mengeratkan pegangan tanganku."Mbak Nisa, jangan takut
"Kita harus mempunyai supplier ya, Mas?" tanyaku saat di dalam mobil. Kami sudah selesai dari bank untuk membuka rekening. Rekening bersama, kesepakatan yang kami ambil karena Mas Bowo akan menanamkan dananya di usaha ini.Pemikiran Mas Bowo sering terlalu cepat bagiku. Dia mempunyai rencana yang jitu sebelum jalan. Terbalik denganku, yang jalan dulu sebelum berfikir. Jalani apa saja yang terjadi, kalau berhasil alhamdulillah, kalau belum coba lagi.Itu yang aku pegang sebelumnya. Namun sejak ada Mas Bowo sebagai rekan kerja, langkahku seperti ada arahnya."Harus itu. Kita harus punya supplier dan ketersediaan bahan harus dikontrol. Untuk dana tidak usah kawatir, saya akan bantu seperti yang saya janjikan," jelasnya sambil mengemudi mobil. "Tapi, Mas. Usaha ini kan masih kecil. Kalau kita stok bahan, terus kalau nanti tidak laku bagaimana? Bisa rugi kita," ucapku kawatir."Mbak Nisa. Dalam usaha ada kemungkinan rugi dan untung, itu tergantung dari keyakinan kita. Kalau kita saja tida