"Sakit, Buk," ucapnya sambil masih terisak. Di tunjukkan jarinya kepadaku. Ternyata ada serpihan kayu yang masuk ke jarinya. "Aduh! Sakiiit!" teriakkan saat tak sengaja tersenggol."Oalah, telusupen ya. Sini sama Bibik saja!" sela Bik Sari langsung mengajak Alif duduk di dekatnya. Dia ke luar sebentar dan kembali sambil membawa tangkai daun pepaya, sepertinya memetik di sebelah rumah. "Sudah jangan menangis, Cah Bagus. Bibik obati, tidak sakit kok!" ucapnya dengan sabar, aku memperhatikan apa yang dilakukan. Kemudian dia meneteskan getah pepaya di jari Alif dan menaburkan garam di atasnya."Nanti kayunya akan ke luar sendiri. Ini resep dari simbahku," jelasnya kepadaku. "Terima kasih ya, Bik." Aku terharu dengan perlakuannya. Di perantauan ini, kami dikelilingi orang-orang yang baik dan menyayangi kami. "Iya. Podo-podo. Kalian ini saudaraku di sini. Jangan sungkan," ucapnya dengan merangkul Alif yang sudah tidak menangis lagi.*"Mas Bowo, makanannya sudah matang," ucapku setelah
GN- Bab 21.Pesanan untuk teman di kantor Mas Bowo sudah selesai. Lima belas Lontong Sayur Kepiting sudah tertata rapi. Disetiap kemasan sudah aku sertakan satu plastik peralatan makan satu kali pakai, sendok, garpu, tissue dan tusuk gigi. Mas Bowo selalu mengingatkanku, posisikan pembeli seperti kita sendiri. Buatlah mereka senyaman dan sepuas mungkin menikmati makanan. Tring![Saya kirim mobil online. Kamu ikut sekalian, ada yang harus kita bicarakan. Sekalian kita ke bank untuk buka rekening]Pesan dari Mas Bowo. Aku harus ikut mengantar pesanan ini? Ke kantornya?Aduh!Terus terang, aku tidak percaya diri masuk ke kantor besar di kota ini. Jiwa kampungku langsung menciut. Apa penampilanku nanti tidak memalukan? Takut, kawatir akan sesuatu yang tidak jelas. Rasa ini yang membuat orang tidak pernah maju, itu yang pernah Mas Ridwan katakan. Kalau suamiku, dia dikenal sebagai orang yang bisa diandalkan. Tidak pernah takut apapun sebelum melangkah. Karena itulah saat menjadi tenaga
"Kalau begitu, begini saja," ucapnya, kemudian dia mendekat. Aku menahan napas sambil menatap ke arahnya. Mas Bowo mengeluarkan head seat yang dihubungkan dengan ponselnya."Kamu suka lagu ini kan?" ucapnya sambil memasangkan di kedua telingaku. Aku menatapnya dan tersenyum lega. Aku kira dia akan …. Setelah mendengar alunan lagu ini. Wonderful World, menenangkanku dan tak terasa tanganku ditariknya masuk ke dalam lift. .."Sudah sampai," ucap Mas Bowo menepukku dan melepaskan head seat. Pintu lift terbuka, angin bertiup menerpa wajahku."Mas, ini di mana? Kok kita di luar gedung?" tanyaku. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan terbuka dengan atap seperti tenda besar. Ada banyak tanaman hijau di sini, tetapi kami seperti di atas awan. "Kita di tingkat paling atas! Di roof top," ucapnya mengagetkanku. Aku tempat paling tinggi? Bagaimana kalau tiba-tiba gedung ini roboh? Kakiku gemetar dengan sendirinya. Spontan aku mengeratkan pegangan tanganku."Mbak Nisa, jangan takut
"Kita harus mempunyai supplier ya, Mas?" tanyaku saat di dalam mobil. Kami sudah selesai dari bank untuk membuka rekening. Rekening bersama, kesepakatan yang kami ambil karena Mas Bowo akan menanamkan dananya di usaha ini.Pemikiran Mas Bowo sering terlalu cepat bagiku. Dia mempunyai rencana yang jitu sebelum jalan. Terbalik denganku, yang jalan dulu sebelum berfikir. Jalani apa saja yang terjadi, kalau berhasil alhamdulillah, kalau belum coba lagi.Itu yang aku pegang sebelumnya. Namun sejak ada Mas Bowo sebagai rekan kerja, langkahku seperti ada arahnya."Harus itu. Kita harus punya supplier dan ketersediaan bahan harus dikontrol. Untuk dana tidak usah kawatir, saya akan bantu seperti yang saya janjikan," jelasnya sambil mengemudi mobil. "Tapi, Mas. Usaha ini kan masih kecil. Kalau kita stok bahan, terus kalau nanti tidak laku bagaimana? Bisa rugi kita," ucapku kawatir."Mbak Nisa. Dalam usaha ada kemungkinan rugi dan untung, itu tergantung dari keyakinan kita. Kalau kita saja tida
"Sering dengar kuliner viral kan? Biasanya karena apa?" "Kalau di medsos biasanya karena laris bahkan sampai antrian yang panjang!" celetukku."Nah itu maksud saya. Sambil memperbesar kapasitas dapur, kita angkat momen ini. Kita terima pesanan sesuai kapasitas kita, jadi kalau melebihi kuota masuk di hari berikutnya. Dengan begitu memancing pernyataan, wah laris banget ya! Wah akhirnya aku dapet juga. Kemudian pancing mereka untuk share ke medsos pribadi mereka. Secara tidak langsung mereka mempromosikan kita," terangnya."Kita juga share ke medsos, hari ini full atau pesanan sudah full untuk dua hari ke depan. Pasti orang semakin penasaran," ucapnya yakin."Pernah lihat warung yang masih sore sudah tutup karena makanannya sudah habis? Padahal bisa saja dia memasak lagi, menggunakan aji mumpung laris. Namun ini tidak dilakukan karena ingin membangkitkan rasa penasaran pembeli. Wah masih sore sudah tutup, laris banget. Besuk ke sini lagi ah!" ucapnya dengan semangat."Makanya, kualita
Mas Bowo sudah mulai cuti untuk konsen ke NR Kitchen. "Mas, apa tidak mempengaruhi pekerjaan?" tanyaku kawatir. Aku masih seperti mimpi sudah mempunyai usaha kuliner ini. Mas Bowo kerjanya begitu kilat, cepat tetapi terstruktur. Semua direncanakan, dipikirkan sekecil-kecilnya. Kalau tidak ada dia, pasti perkembangan usahaku tidak secepat ini."Jatah cutiku masih buanyaaak, Mbak. Aku jarang ambil cuti. Mau ngapain? Makanya ada kerjaan seperti ini membuatku semangat!" ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari lap top.Mas Bowo cerita juga, dia anak bungsu di keluarganya. Asli Jogja, jarak yang tidak jauh dari Surabaya. Kalau pulang paling lama dua hari di rumah, selebihnya sering di rumah Umi sekalian kembali kerja."Malas Mbak, di rumah terlalu lama sering ditagih sama ibuk, sodara, tetangga!" "Ditagih?! Mas Bowo punya hutang?" tanyaku tidak mengerti. Bukankah Mas Bowo termasuk orang yang sudah mapan? Ternyata punya hutang juga."Hutang nikah, Nis!" celetuk Umi ikut bergabung dengan
"Ehem! Kita kembali kerja!" ucapnya memecah suasana. "Kita minta saran membangun dari mereka. Itu sebagai koreksi buat kita, Mbak. Oya, kita tambah menu lagi. Menurut Mbak Nisa apa? Cari yang operasionalnya praktis, tetapi tetap unik dan menarik," pintanya. "Menu kita sekarang kepiting, kita tambah saja menu berdasar ayam, daging atau ikan. Supaya variatif. Sementara saya ada pikiran membuat 'BISTIK SAPI JAWA'', pernah Umi memasak buat kami, rasanya enak," usulku. "Eh, kenapa nama Umi disebut-sebut!" celetuk Umi. Ditangannya membawa sepiring pisang kepok rebus dan diletakkannya di meja. "Ini Umi, Nisa usul ke Mas Bowo untuk menambah bistik yang pernah Umi masak kapan hari itu," jelasku. "O itu. Enak itu, masaknya tidak ribet, ada sayurannya. Termasuk makanan sehat. Nanti Nisa Umi kasih resepnya! Itu lo, Wi. Yang kesukaan Fatimah!" ucap Umi senang. "O itu! Saya suka sekali kecuali wortelnya!" celetuknya. "Kalau begitu, Umi dan Nisa praktek sekarang ya? Tunggu saja, kalau sudah s
"Belajar lagi, Om! Kata Ayah, Alif harus kuat karena nanti Alif yang jaga Ibuk dan Dwi," ucapnya dengan polos.Deg!Aku menatap Alif dengan haru. Mas Ridwan, dengarlah, apa yang kau tanamkan kepada anak kita selalu dia ingat. Amanahmu terpatri kuat di hatinya. Tidakkah kau ingin melihatnya tumbuh menjadi anak yang kuat?Mataku menggenang air mata tanpa aku sadar. Segera aku usap sebelum dia melihatnya. Aku harus kuat seperti Alif anakku."Mbak Nisa, tolong disiapkan bekalnya tadi? Alif makan dulu, setelah itu kita latihan lagi! Siap menjadi anak kuat?!" teriaknya kepada Alif setelah melihat ke arahku.Aku segera menyiapkan bekal yang aku siapkan tadi. Nasi kepal dengan tiga varian, nori, sosis dan keju. "Tidak ada yang pakai wortel, Mas," ucapku saat melihat Mas Bowo memperhatikan nasi kepal di tangannya. "Ternyata Mbak Nisa sudah mulai mengerti apa yang saya tidak suka," ucapnya dengan memasukkan nasi kepal ke mulutnya. "Hanya ini yang saya bisa lakukan untuk membalas kebaikan Ma