Mas Bowo sudah mulai cuti untuk konsen ke NR Kitchen. "Mas, apa tidak mempengaruhi pekerjaan?" tanyaku kawatir. Aku masih seperti mimpi sudah mempunyai usaha kuliner ini. Mas Bowo kerjanya begitu kilat, cepat tetapi terstruktur. Semua direncanakan, dipikirkan sekecil-kecilnya. Kalau tidak ada dia, pasti perkembangan usahaku tidak secepat ini."Jatah cutiku masih buanyaaak, Mbak. Aku jarang ambil cuti. Mau ngapain? Makanya ada kerjaan seperti ini membuatku semangat!" ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari lap top.Mas Bowo cerita juga, dia anak bungsu di keluarganya. Asli Jogja, jarak yang tidak jauh dari Surabaya. Kalau pulang paling lama dua hari di rumah, selebihnya sering di rumah Umi sekalian kembali kerja."Malas Mbak, di rumah terlalu lama sering ditagih sama ibuk, sodara, tetangga!" "Ditagih?! Mas Bowo punya hutang?" tanyaku tidak mengerti. Bukankah Mas Bowo termasuk orang yang sudah mapan? Ternyata punya hutang juga."Hutang nikah, Nis!" celetuk Umi ikut bergabung dengan
"Ehem! Kita kembali kerja!" ucapnya memecah suasana. "Kita minta saran membangun dari mereka. Itu sebagai koreksi buat kita, Mbak. Oya, kita tambah menu lagi. Menurut Mbak Nisa apa? Cari yang operasionalnya praktis, tetapi tetap unik dan menarik," pintanya. "Menu kita sekarang kepiting, kita tambah saja menu berdasar ayam, daging atau ikan. Supaya variatif. Sementara saya ada pikiran membuat 'BISTIK SAPI JAWA'', pernah Umi memasak buat kami, rasanya enak," usulku. "Eh, kenapa nama Umi disebut-sebut!" celetuk Umi. Ditangannya membawa sepiring pisang kepok rebus dan diletakkannya di meja. "Ini Umi, Nisa usul ke Mas Bowo untuk menambah bistik yang pernah Umi masak kapan hari itu," jelasku. "O itu. Enak itu, masaknya tidak ribet, ada sayurannya. Termasuk makanan sehat. Nanti Nisa Umi kasih resepnya! Itu lo, Wi. Yang kesukaan Fatimah!" ucap Umi senang. "O itu! Saya suka sekali kecuali wortelnya!" celetuknya. "Kalau begitu, Umi dan Nisa praktek sekarang ya? Tunggu saja, kalau sudah s
"Belajar lagi, Om! Kata Ayah, Alif harus kuat karena nanti Alif yang jaga Ibuk dan Dwi," ucapnya dengan polos.Deg!Aku menatap Alif dengan haru. Mas Ridwan, dengarlah, apa yang kau tanamkan kepada anak kita selalu dia ingat. Amanahmu terpatri kuat di hatinya. Tidakkah kau ingin melihatnya tumbuh menjadi anak yang kuat?Mataku menggenang air mata tanpa aku sadar. Segera aku usap sebelum dia melihatnya. Aku harus kuat seperti Alif anakku."Mbak Nisa, tolong disiapkan bekalnya tadi? Alif makan dulu, setelah itu kita latihan lagi! Siap menjadi anak kuat?!" teriaknya kepada Alif setelah melihat ke arahku.Aku segera menyiapkan bekal yang aku siapkan tadi. Nasi kepal dengan tiga varian, nori, sosis dan keju. "Tidak ada yang pakai wortel, Mas," ucapku saat melihat Mas Bowo memperhatikan nasi kepal di tangannya. "Ternyata Mbak Nisa sudah mulai mengerti apa yang saya tidak suka," ucapnya dengan memasukkan nasi kepal ke mulutnya. "Hanya ini yang saya bisa lakukan untuk membalas kebaikan Ma
"Yah, putus lagi!" teriak Mas Bowo dengan menghempaskan tubuhnya di sofa. Aku dan Umi yang sedang menonton televisi bersamaan menoleh ke arahnya. "Putus cinta lagi?" teriak Umi."Memang kalau tidak jodoh, mana bisa dipaksakan!" ucapnya santai. Orang ini putus cinta kok tidak ada sedih-sedihnya. Aneh."Memang sudah jalan berapa bulan, Mas?" tanyaku penasaran. "Dua minggu, Mbak!""Bowo itu semua orang dipacari, tetapi tidak ada yang sampai pelaminan. La wong, pacaran saja cuma mingguan! Kamu itu jadi laki-laki yang serius! Jangan suka mempermainkan hati wanita," ucap Umi kesal."Siapa yang mepermainkan hati wanita, Mi! Mereka malah yang tidak serius dengan Bowo. Masak gara-gara janjian, aku ngajak Alif dia ngambek.""Lo, Mas! Ini gara-gara Alif!" teriakku kaget."Bukankah tadi saya sudah bilang, jangan ajak Alif. Mas Bowo saja yang ngeyel!" Aku mengerutkan dahiku, kesal. "Santai saja lah, Mbak. Saya ....""Tidak bisa gitu dong, Mas. Jadinya Mas Bowo putus dengan pacarnya. Terus tidak
Lebih baik aku menyiapkan minuman hangat untuknya, jahe dengan madu. Ini cocok untuk meredakan asam lambung. Fokus untuk pekerjaan saja. Setelah hasil rekap selesai, rencanaku langsung menyiapkan di dapur untuk menyelesaikan pesanan itu.Mas Bowo, masih tetap terfokus pada laptopnya. Dia aktif di media sosial kami, menjawab semua komen dan pertanyaan. Menjalin komunikasi dengan pelanggan itu penting, jangan sampai mereka merasa diabaikan dan akhirnya menghilang. Tugas Mas Bowo seperti pasukan di garda depan. Kalau dia sakit, siapa yang akan menghandle? Aku harus cari tahu, makanan apa yang bisa meredakan sakitnya.GRANULA BAR, pilihan camilanku saat ini. Setelah mencari resep yang tepat, ini pilihanku. Selain cara membuatnya tidak memakan waktu lama, ini juga menyehatkan. Aku membuatnya banyak untuk Mas Bowo, Umi dan camilan untuk Alif. Aku memesan bahan di toko bahan roti langgananku, ada kurir yang akan mengantarnya.Tugasku sudah selesai, masih ada jeda waktu sebelum makanan semu
"Mau bicarakan apa, Mas Bowo?" Aku meletakkan nampan makanan yang berisi sepiring nasi dengan lengkap lauk pauknya dan segelas besar air putih. Lauk urap sayur dan ayam suwir bali. Urap yang aku buat berbeda dengan yang biasanya di Jawa, bumbu kelapa mentah digongso-dimasak di penggorengan dengan minyak sedikit- dengan bumbu, sampai keluar aroma kelapanya. Kemudian ditambahkan sayuran matang dan terakhir diberi perasan jeruk limau dan taburan bawang goreng. Terasa beda dan lebih segar.Dia memindahkan laptop di depannya dan mengambil nampan makanan. "Ini diminum dulu, Mbak Nisa. Kerja boleh, tetapi jangan lupa memikirkan tubuh kita. Nanti bisa sakit," ucapnya sambil menunjukkan selarik senyuman. Sengaja, aku mengalihkan pandangan dari wajahnya. Memang, kadang kita tidak berniat untuk lebih dekat dengan seseorang, tapi kebersamaan yang terlalu sering akan membuat hati tak sengaja terpaut. Apalagi menghadapi sosok di depanku ini. Didekatkan minuman jahe yang masih mengepul ke hadapa
"Mbak Nisa ...." Aku kerjapkan mataku. Ternyata aku ketiduran ketika menidurkan Dwi. Entah, sebenarnya dari beberapa hari ini badan ini lemas. Kepalaku tidak sakit, tetapi sesekali pusing seperti ruangan berputar. Bik Sari menepuk pelan lenganku. Wajahnya terlihat kawatir. "Mbak Nisa, tangannya panas sekali. Tidak biasanya Mbak Nisa tidur lama," ucapnya kemudian berpindah tangannya memegang keningku. "Mbak Nisa sakit!" teriaknya.Aku menggeleng dan berusaha duduk, tetapi kepala ini terasa berputar, dan kembali berbaring. "Saya tidak apa-apa, sebentar saja sembuh. Tolong belikan obat flu saja, Bik. Kalau ada penambah darah," ucapku sambil menyodorkan dompetku. "Tidak ke dokter saja?" Aku menjawab dengan gelengan lemah. Aku tidak mau menyusahkan keluarga ini hanya karena sakit biasa ini.Bik Sari segera keluar dari kamarku. Belum lama Bik Sari ke luar, dikembali lagi dan menyerahkan dompetku."Mbak Nisa, kata Mas Bowo tidak boleh beli obat sembarangan. Bahaya! Mbak Nisa diajak M
Sudah lebih satu bulan, usaha kami berjalan. Masih perlu perbaikan di sana-sini."Agus! Tidak bisa kamu salah catat. Kamu ngerti kan, apa tanggung jawab kamu! Kalau Pak Bowo tahu, dia akan lebih marah," ucapku kesal. Agus, karyawan baru yang membantu pekerjaan Mas Bowo menerima pesanan makanan melakukan kesalahan. Dia menulis pesanan untuk dikirim seharusnya jam delapan malam, di kirim jam delapan pagi.Kurir kami pulang, setelah rumah tujuan tidak ada penghuninya. Setelah dilacak, mereka memberitahukan kalau pemesanan untuk malam hari. Lumayan, sepuluh kotak lontong kepiting di bawa kembali."Maaf, Bu Nisa. Saya pasti tidak akan ulangi kesalahan ini," jawab Agus dengan suara lirih. Dari awal kurir menelpon balik, dia terlihat pucat ketakutan. Kasihan kalau melihatnya, tetapi ini harus di tegur. Jangan sampai terulang lagi."Coba kamu pikir, kesalahan kamu menyebabkan kerja kita tidak efisien. Ini kebalik waktu mundur, kalau maju bagaimana? Pembeli sudah nunggu makanan, tetapi dikir