"Mau bicarakan apa, Mas Bowo?" Aku meletakkan nampan makanan yang berisi sepiring nasi dengan lengkap lauk pauknya dan segelas besar air putih. Lauk urap sayur dan ayam suwir bali. Urap yang aku buat berbeda dengan yang biasanya di Jawa, bumbu kelapa mentah digongso-dimasak di penggorengan dengan minyak sedikit- dengan bumbu, sampai keluar aroma kelapanya. Kemudian ditambahkan sayuran matang dan terakhir diberi perasan jeruk limau dan taburan bawang goreng. Terasa beda dan lebih segar.Dia memindahkan laptop di depannya dan mengambil nampan makanan. "Ini diminum dulu, Mbak Nisa. Kerja boleh, tetapi jangan lupa memikirkan tubuh kita. Nanti bisa sakit," ucapnya sambil menunjukkan selarik senyuman. Sengaja, aku mengalihkan pandangan dari wajahnya. Memang, kadang kita tidak berniat untuk lebih dekat dengan seseorang, tapi kebersamaan yang terlalu sering akan membuat hati tak sengaja terpaut. Apalagi menghadapi sosok di depanku ini. Didekatkan minuman jahe yang masih mengepul ke hadapa
"Mbak Nisa ...." Aku kerjapkan mataku. Ternyata aku ketiduran ketika menidurkan Dwi. Entah, sebenarnya dari beberapa hari ini badan ini lemas. Kepalaku tidak sakit, tetapi sesekali pusing seperti ruangan berputar. Bik Sari menepuk pelan lenganku. Wajahnya terlihat kawatir. "Mbak Nisa, tangannya panas sekali. Tidak biasanya Mbak Nisa tidur lama," ucapnya kemudian berpindah tangannya memegang keningku. "Mbak Nisa sakit!" teriaknya.Aku menggeleng dan berusaha duduk, tetapi kepala ini terasa berputar, dan kembali berbaring. "Saya tidak apa-apa, sebentar saja sembuh. Tolong belikan obat flu saja, Bik. Kalau ada penambah darah," ucapku sambil menyodorkan dompetku. "Tidak ke dokter saja?" Aku menjawab dengan gelengan lemah. Aku tidak mau menyusahkan keluarga ini hanya karena sakit biasa ini.Bik Sari segera keluar dari kamarku. Belum lama Bik Sari ke luar, dikembali lagi dan menyerahkan dompetku."Mbak Nisa, kata Mas Bowo tidak boleh beli obat sembarangan. Bahaya! Mbak Nisa diajak M
Sudah lebih satu bulan, usaha kami berjalan. Masih perlu perbaikan di sana-sini."Agus! Tidak bisa kamu salah catat. Kamu ngerti kan, apa tanggung jawab kamu! Kalau Pak Bowo tahu, dia akan lebih marah," ucapku kesal. Agus, karyawan baru yang membantu pekerjaan Mas Bowo menerima pesanan makanan melakukan kesalahan. Dia menulis pesanan untuk dikirim seharusnya jam delapan malam, di kirim jam delapan pagi.Kurir kami pulang, setelah rumah tujuan tidak ada penghuninya. Setelah dilacak, mereka memberitahukan kalau pemesanan untuk malam hari. Lumayan, sepuluh kotak lontong kepiting di bawa kembali."Maaf, Bu Nisa. Saya pasti tidak akan ulangi kesalahan ini," jawab Agus dengan suara lirih. Dari awal kurir menelpon balik, dia terlihat pucat ketakutan. Kasihan kalau melihatnya, tetapi ini harus di tegur. Jangan sampai terulang lagi."Coba kamu pikir, kesalahan kamu menyebabkan kerja kita tidak efisien. Ini kebalik waktu mundur, kalau maju bagaimana? Pembeli sudah nunggu makanan, tetapi dikir
Huuft .... Aku membuang napas, mengurai sesak dalam hati ini."Mas Bowo adalah laki-laki yang sangat saya hormati. Hanya perempuan yang tidak normal yang tidak mengagumi Mas Bowo," jawabku dengan memandangnya sekilas dan melempar pandangan ke arah lain."Jadi Mbak Nisa ....""Saya tidak normal. Status saya, tidak normal. Saya masih mempunyai suami walaupun dia hilang entah dimana," jawabku."Maaf. Bukannya suami Mbak Nisa sudah dinyatakan kemungkinan besar meninggal? Maaf.""Memang benar. Tetapi, batin saya menjawab bahwa Mas Ridwan masih hidup.""Kalau masih hidup, bukankan seharusnya dia bisa kembali? Atau kasih kabar. Tetapi ini tidak ada kabar sama sekali, Mbak? Atau kita melacak di informasi orang hilang? Mbak Nisa harus ada kepastian, karena ini untuk kelanjutan hidup," ucap Mas Bowo.Ucapannya ada benarnya. Selama ini, aku hidup dalam kenyakinan bahwa Mas Ridwan masih hidup."Iya, Mas. Saya mengerti. Tetapi, hati saya seperti berbisik lain. Saya yakin suatu saat, kami pasti be
Hampir setiap sore kami berkeliling. Bersama Dwi dan Alif, kami mencari tempat yang cocok untuk pengembangan usaha ini. Awalnya, Umi menentang niat kami ini. Setelah dijelaskan oleh Mas Bowo, akhirnya Umi mengerti. Semua demi perkembangan bisnis kami.Tidak hanya mencari lahan, kami lebih menjadi gembala dua anak ini. Mas Bowo begitu memanjakan mereka."Alif mau makan apa? Ayam goreng atau pizza?" tanyanya tanpa mengiraukan laranganku."Pizza, Om. Yang seperti di TV itu," jawab Alif dengan riang. Matanya begitu berbinar menyambut tawaran Mas Bowo. "Ok, sekarang kita bersiap meluncur makan pizza! Tos dulu!" teriaknya dengan mengulurkan telapak tangan yang terbuka. "Tos!" sambut Alif menepuk telapak tangan Mas Bowo. Selalu begini. Aku terpaksa mengikuti kemauan mereka. Sekarang makan pizza, kemarin makan ayam goreng, kemarinnya lagi main di wahana, bahkan dengan alasan tidak jelas kami ke mall. Hanya sekedar jalan-jalan."Kalau makanan seperti ini, bisa buat sendiri di rumah. Tingg
"Umi masih ditangani. Kata dokter, pemicu jatuh kemungkinan karena darah tinggi. Untung, Umi tidak cidera kepala. Untuk memastikan, kita harus menunggu sampai besuk. Dikawatirkan ada pendarahan atau cidera yang tidak terlihat," jelasnya dengan wajah cemas."Kita tunggu di sana! Menunggu Umi selesai ditangani." Dia menarikku duduk dibangku. Mas Bowo masih mondar-mandir tidak tenang. Sesekali kepalanya melongok ke ruang dokter, Umi masih ada di dalam. Dwi sudah tertidur di gendonganku, begitu juga Alif. Dia menyandarkan kepalanya dilenganku."Mbak Nisa, anak-anak tidak baik di rumah sakit. Sebaiknya, Mbak Nisa pulang!" perintahnya. "Tapi, Mas. Saya ingin menemani Umi.""Bagaimana kalau anak-anak pulang dengan saya? Dwi juga sudah tidur. Nanti saya temeni mereka tidur," usul Bik Sari menawarkan diri.Kami berdua langsung menoleh ke arahnya. Ucapannya memberikan solusi yang tepat.Dengan dipesankan taxi online, Bik Sari pulang bersama kedua anakku."Bik, tolong sampai rumah kirim pesan k
Beneran, aku merasa putus asa. Keyakinan tentang keberadaan Mas Ridwan di titik terendah. Kejadian di rumah sakit membuatku hampir menyerah. Aku sudah tetapkan, prioritas utama adalah mandiri demi anak-anak. Aku akan tunjukkan bahwa Nisa perempuan yang tegar dan istri setia menunggu Mas Ridwan datang menghampiri kami. Hari ini, Umi pulang ke rumah. Keadaannya sudah kembali normal, walaupun nantinya harus kontrol untuk memeriksa cidera di tangannya. Walaupun di rawat di rumah sakit hanya tiga hari, Umi merasa itu waktu yang lama. Selalu ada saja yang di keluhkan. Bau rumah sakit yang seperti obat lah. Kangen pengajian lah, sampai bosan makanan rumah sakit. Padahal, sakit darah tinggi yang di deritanya mengharuskan mengontrol makanan. "Pokoknya, nanti di rumah saya minta dibuatkan tum ayam yang dikasih jamur. Saya kangen dengan masakanmu, Nisa!" ucapnya saat terakhir makan di rumah sakit."Pasti Umi. Nisa akan buatkan. Sekarang, makanan ini di habiskan dulu, ya," bujukku ke Umi.Seb
Mbak Fatimah Wajah seketika kelihatan murung, seperti ada berita yang tidak mengenakkan. Apakah Emak atau Bapak sakit?"Nisa, ini ada pesan dari Emak. Kamu tidak diperbolehkan pulang. Sudah dua minggu ini, Rini menikah lagi. Mereka tinggal di rumah itu.""Alhamdulillah kalau Mbak Rini sudah mempunyai pendamping lagi, Mbak," ucapku spontan."Ke-kenapa saya tidak boleh pulang, Mbak? Bukankan ini kabar baik?" tanyaku heran."Iya betul. Seharusnya ini menjadi baik. Tetapi, keadaan malah menjadi buruk," ucapnya sambil menghela nafas. Aku diam penasaran menunggu apa yang akan disampaikan."Rini semakin menjadi-jadi. Apalagi suaminya mendukung apa saja yang dia inginkan. Sampai-sampai, Pak Sardi jatuh sakit.""Bapak sakit?! Sekarang bagaimana, Mbak?" tanyaku tidak sabar."Pak Sardi tadi malam sudah tujuh harinya.""Maksudnya, Mbak? Sa-saya tidak mengerti? Tujuh hari apa?!" teriakku kaget. "Beliau sudah meninggal, Nis. Emak saat itu langsung mendatangiku, jangan sampai memberi kabar ke kamu