"Nisa! Nisa ...!" Dia memanggilku."Mas Ridwan," sahutku dengan lemas. Aku seperti tidak mempunyai tenaga. Perjuangan mendapatkannya membuatku lelah dan beruntung aku bisa meraihnya. Tangannya tidak akan aku lepaskan. Dia menepuk pipiku dengan lembut"Nisa! Bangun! Nisa!" 'Bangun?! Kenapa aku harus bangun!' Tepukan di pipiku samakin keras. Panggilan itu semakin keras dan sinar masuk menusuk mataku ini. Semakin terang. Aku mengerjapkan mata, mencoba memastikan apa yang ada di depanku."Mas Bowo?!" teriakku kaget."Nisa. Kamu dari tadi teriak-teriak. Kamu bermimpi?" Dia duduk di dekatku, memandang dengan tatapan cemas. Aku tersentak! Bukan tangan Mas Ridwan yang ada di genggamanku tetapi tangan Mas Bowo. Ternyata aku hanya bermimpi di siang hari."Ma-maaf," ucapku lirih seraya melepas genggamanku. "Saya ketiduran. Mas Bowo sudah bangun? Makanan sudah saya siapkan di bawah."Dia tidak menjawab, hanya tatapan matanya seperti mengulitiku. Menembus mencari apa yang ada di pikiran ini. Se
Waktu salat Subuh sudah berlalu. Setelah salam, aku pendengaranku menangkap bunyi kresek ... kresek .... Setelah melepas mukenah, aku perhatikan di seluruh ruangan, kawatir ada tikus. Tidak ada gerakan yang mencurigakan, suara itu semakin jelas saat aku di depan kamar Alif dan Emak. Berarti tikusnya sudah masuk kamar, pikirku."Emak ...!" Aku berteriak kaget saat membuka pintu kamar. Masih menggunakan mukenah, Emak duduk di lantai dengan gumpalan kertas koran dan kantong kresek di sekitarnya. Emak menoleh ke arahku, matanya merah dan basah. Ditangannya memegang erat beberapa pigura foto. Aku mendekat cepat ke Emak."Nisa ...." ucapnya lirih.Tatapannya beralih seperti semula. Tangan keriputnya mengelus gemetar foto itu. Foto Mas Ridwan, Bapak, dan foto keluarga kami saat di kampung. Foto-foto yang tidak diperbolehkan aku bawa dahulu. Sebelumnya, Emak menyimpan di kardus yang tidak boleh dibuka. Katanya, hanya berisi baju bekas. Ternyata isi kardus Emak menyimpan kenangan indah kami
"Kita sudah berusaha, biarlah waktu yang meneruskan. Tuhan pasti memberi rencana yang terbaik untuk kita semua. Sudahlah, lebih baik kita kembali ke aktifitas, sembari menunggu kabar," ucap Mas Bowo.Hari-hari kami semakin disibukkan dengan pekerjaan. Kepindahan memperbesar usaha kuliner ini. Bahkan Mas Bowo menerima tiga pekerja lagi. Dua untuk produksi dan satu untuk menerima pesanan membantu Agus.Kekecewaanku karena tidak kunjung ada kabar dari media mulai tersisih dengan kesibukan ini.Aku dan Mas Bowo lebih konsentrasi ke pengembangan usaha. Bagaimanapun dalam usaha harus selalu berinovasi dan beradaptasi dengan keadaan sekarang. Berhasil dan berjaya diwaktu lalu belum tentu berlaku dimasa kini. "Dari hasil survey, banyak yang menginginkan paket katering. Mereka cocok dengan masakan NR Kitchen. Di sini banyak perkantoran, rencananya saya akan menawarkan kerjasama langsung melalui kantor," jelas Mas Bowo. Dia memang lebih sering menyebut Nisa Ridwan Kitchen dengan sebutan itu. K
Air mata ini luruh dengan sendirinya. Semakin deras tak terbendung. Sedikit harapan yang baru saja timbul sudah musnah sudah, setelah foto berikutnya yang diperlihatkan Mas Bowo.Sebuah gundukan tanah dengan nisan tidak bernama. Aku menatap kamar tidur Emak, terdengar tangisnya meskipun pintu sudah ditutup rapatTadi, setelah beberapa saat tidak sadarkan diri, Emak berlahan membuka mata. Dia langsung menarik tangan Mas Bowo."Nak, kabar Ridwan sekarang bagaimana? Dia sehat, kan?" tanyanya berusaha untuk duduk. Aku sibuk menggosok minyak kayu putih di kakinya. Kabar tentang Mas Ridwan terputus karena pingsannya Emak.Mas Bowo tersenyum dipaksakan dan tidak berucap apapun. Hanya menyodorkan foto berikutnya yang membuat dunia kami terbalik. Dengan tangan gemetar, Emak mengusap foto di ponsel itu. Menatap jauh ke sana seakan memastikan ini bukanlah mimpi. "Nak Bowo, Nisa, Emak istirahat dulu," ucapnya langsung masuk ke kamar dan menutup rapat pintu."Mas ... Ini benar?" Dia mengangguk m
Samar aku dengar suara sedang berbincang. Menyebut namaku dan seperti suara ... ya, suara Mas Bowo. Mataku aku buka perlahan, yang aku lihat bukan dia, tetapi orang lain berjas putih. Aku di mana?"Bu Nisa sudah sadar," ucap orang itu saat melihatku berusaha duduk. "Nisa! Alhamdulillah kau sudah sadar," teriak Mas Bowo langsung mendekatkan kursi ke arah tempat tidurku. Aku menoleh ke arahnya dan mengedarkan pandanganku, di mana aku sekarang?"Ini di rumah sakit. Kemarin kamu pingsan, karena tidak segera sadar, aku membawamu ke sini," jelasnya. "Ja-jadi saya semalaman tidak sadar?" tanyaku sambil melihat jarum infus yang menancap di tanganku."Iya, Bu. Tapi, sekarang sudah tidak ada masalah lagi. Keadaan Bu Nisa ini karena kondisi badan yang lemah dan pikiran," jelas orang itu yang ternyata dokter. "Baiklah, saya permisi dulu. Pak Bowo, pastikan istrinya makan yang banyak," ucapnya kemudian keluar diikuti suster di belakangnya.Selalu seperti ini, orang menyebut kami pasangan suami
"Aku ingin minta ijin kepada Ridwan untuk menjaga kalian," ucapnya dengan menatapku tajam."Mas ...."Aku memberanikan diri membalas tatapannya, memastikan kesungguhan niat laki-laki yang selama ini mendampingi kami. Sungguh, sejujurnya aku tidak bisa menggantikan kedudukan Mas Ridwan di hati ini. Namun, perhatian dan kesungguhannya membuatku goyah untuk tidak menyambutnya.“Kenapa Mas Bowo tetap bersikukuh menerimaku? Sedangkan saya hanya wanita yang mempunyai hati yang sudah tidak utuh lagi. Dengan apa yang Mas Bowo dimiliki, banyak wanita yang lebih bisa didapat. Saya hanya-- .“ “Stop. Jangan diteruskan lagi,” ucapnya memotong perkataanku dengan menunjukkan jari telunjuknya di bibir ini. “Nisa …. Aku hanya ingin kamu memberiku sedikit ruang di hatimu. Aku hanya ingin kamu yang mendampingi di setiap langkahku.”Aku menunjukkan senyuman sebagai ucapan terima kasih. Di usiaku yang tidak muda lagi dan bahkan sudah mempunyai anak dua, dia bisa menerimaku. Ini yang membuatku ragu, apa
Sebenarnya masih bercokol keraguan besar di hatiku. Pertanyaan yang mengganggu. Kenapa Mas Bowo yang begitu nyaris sempurna ingin menikahiku? Sedangkan aku seorang janda yang mempunyai anak dua. Penampilan biasa saja, jauh dari kata cantik dan modern. Kalau dia berniat, pasti bisa memilih gadis manapun. Dia masih lajang, tampan, badan juga tinggi serta mapan. Aku harus memastikan terlebih dahulu. Malam ini juga. Saat ini kami selesai berbincang tentang pekerjaan. Kami di lantai bawah, Emak dan anak-anak di atas."Saya masih menunggu persetujuan cuti untuk pergi ke pulau itu. Di kantor masih sibuk peluncuran produk baru, jadi kerjaan saya lumayan sibuk," jelas Mas Bowo sambil merapikan berkas yang baru kami bicarakan Aku memainkan bolpoin di tanganku. Mencoret-coret di kertas berusaha mengumpulkan keberanian melontarkan pertanyaan yang mengganggu pikiranku. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Dia menggunakan kaos putih lengan pendek sebagai baju dalaman tadi. Kaosnya menjiplak
Kata SAH menyatukan kami sebagai keluarga. Pernikahan sederhana yang dihadiri keluarga dekat saja.Setelah aku menyatakan persetujuan, Mas Bowo mensegerakan untuk menghalalkan hubungan kami. Umi dan keluarganya menyambut dengan gembira dan mendesakku untuk menyetujui niat ini.“Untuk apa menunda niat baik. Apa lagi yang ditunggu? Menunda itu tidak dibenarkan. Segera hubungi keluargamu untuk segera datang,” pinta Umi yang memaksaku berkata iya.Apalagi Mas Bowo. Dia mengajukan segala macam alasan yang membuatku tidak berkutik.“Nisa …. Kamu tahu betapa tersiksanya ketika kita berdekatan seperti ini? Hanya mendengar suaramu saja membuatku tidak baik-baik saja,” ucapnya saat kami bersama sepulang dari belanja bulanan. Saat itu, Emak memaksa untuk tidak membawa anak-anak dengan berbagai alasan.Aku memaksakan diri membalas tatapannya yang sendu. Sebagai wanita dewasa, aku mengerti apa arti tatapan laki-laki di depanku ini. Segera aku alihkan pandangan darinya. Inginku menjaga jarak, tapi