Bab 27Sarah perlahan membuka mata setelah mendengar teriakan yang memanggil namanya. Netranya perlahan menyesuaikan dengan ruangan yang temaram. Bau darah langsung mengganggu penciumannya. Lalu setelahnya dia sadar bahwa kini tubuhnya melayang."A-apa yang terjadi?" Manik hitam Sarah mulai menyusuri seluruh ruangan dengan gelisah."Amarta?" Panggil Sarah lirih.Amarta tak menjawab panggilan Sarah. Wanita itu hanya tersenyum seraya mulai menggerakkan jari-jari lentiknya, seolah berasal dari sanalah kekuatan yang membuat Sarah melayang.Perlahan tubuh Sarah melayang turun, sampai akhirnya ia duduk kembali di atas kursi roda."Apa sudah selesai?" Pak Agus dengan ragu bertanya pada Amarta."Sudah. Namun kalian harus menunggu sampai besok pagi. Batu Ludira membutuhkan waktu untuk menyembuhkan Sarah," jawab Amarta."Baiklah. Kalau begitu saya akan membawa Sarah ke kamarnya untuk istirahat." Pak Agus mulai mendorong kursi roda dan membawa Sarah keluar.Begitu pintu kamar terbuka, Bu Laela
Air muka Pak Agus penuh dengan kecemasan dan rasa marah. Dia mungkin terlalu menaruh harapan pada Amarta, hingga kini rasa kecewa itu membuat dadanya terasa sesak."Aku akan melihatnya langsung." Dengan dingin Amarta menanggapi kemarahan Pak Agus.Amarta dengan sikap tak peduli berjalan begitu saja melewati pak Agus. Ia langsung menuju kamar Sarah. Didepan pintu kamar, Hadi berdiri menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.Di dalam kamar, Bu Laela terlihat sedang duduk di sebelah Sarah seraya menangisi putrinya yang malang."Apa kalian tahu kenapa dia belum sembuh total?" Amarta melemparkan pandangannya pada setiap orang di dalam ruangan."Ini bukan karena aku tidak mampu menyembuhkannya, atau bukan karena batu ludira kurang ampuh.." Amarta menggantung kalimatnya.Dengan rahang yang sudah mengeras menahan emosi, pak Agus membentak Amarta, "Tidak usah berbelit-belit! Cepat katakan yang sebenarnya!" Amarta menatap tajam pada Pak Agus, ia kemudian berjalan perlahan mendekati je
Hari itu Bima datang dengan harapan Sarah baik-baik saja. Ia mendengar kabar bahwa Sarah mengalami kecelakaan, namun sampai sekarang keluarga Sarah terkesan menutupi keadaan Sarah."Bagaimana kabar Sarah Bu? Apa saya sudah bisa bertemu dengannya?" tanya Bima."Nanti ibu coba tanyakan sama Sarah dulu ya. Kamu bisa tunggu dulu disini. Ibu buatkan kopi dulu." Bu Laela tersenyum lalu pergi ke dapur.Bima hanya membalasnya dengan senyuman. Lelaki itu mengedarkan pandangannya menyusuri ruangan, "Ternyata mereka punya villa sebagus ini. Tempatnya tenang dan jauh dari pemukiman, namun akses jalannya mudah," gumam Bima.Tangannya menggaruk-garuk dagunya, lelaki itu sibuk dengan berbagai macam penilaiannya pada keluarga Sarah.Sementara di dalam kamar Sarah masih berperang dengan ego-nya. Sebagian dirinya yang naif merasa senang dengan kedatangan Bima, namun sebagian dirinya yang lain cemas akan respon yang Bima berikan.Tak lama Bu Laela datang dengan secangkir kopi dan beberapa toples camilan
Sarah bersimpuh di bawah kaki Amarta, manik matanya sudah berkaca-kaca dan terlihat putus asa."Kamu yakin bisa melakukannya? Menyembuhkan semua lukaku tanpa tersisa?" Sarah kembali bertanya."Apa kamu yakin sanggup menanggung semua akibatnya? Karena sebenarnya tidak ada yang gratis bila berurusan dengan mereka." Amarta balik bertanya.Sarah mengangguk, "Ambil apa yang harus mereka ambil, aku tahu bahwa semua ini hanyalah pertukaran. Yang terpenting sekarang bagaimana caranya agar Bima tidak meninggalkan ku." Amarta dapat melihat percikan api yang penuh dengan ambisi pada netra Sarah, "Dia mirip sekali dengan Diane," batin Amarta."Baiklah, kita mulai nanti malam. Siapkan tempat di dalam hutan." Amarta menyentuh lembut rambut Sarah."Siapkan juga lilin untuk penerangan. Ada beberapa ritual yang harus aku lakukan untuk menyatukan kekuatanku dengan kekuatan batu ludira," lanjutnya."Baiklah, orang tuaku akan menyiapkan semuanya." Sarah tersenyum dengan penuh keyakinan dan segera pergi d
Amarta tersenyum melihat Sarah yang menggeliat di hadapannya. Bu Laela dan pak Agus tentu tidak dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi pada Sarah. Saat ini tubuh Sarah tengah di kerubungi oleh tiga makhluk yang eksistensinya sudah ada bahkan sebelum manusia diciptakan."Ah, aku tahu rasanya Sarah. Aku tidak pernah melupakan pengalaman itu meski umurku sudah mencapai ratusan tahun." Amarta bergumam.Kenangan saat ia pertama kali mengorbankan diri, dan menukar kehidupannya dengan keelokan parasnya masih dengan jelas tersimpan dalam memori."Amarta! Apa yang kamu lakukan pada Sarah? Hentikan cepat!" Pak Agus kembali menghardik Amarta.Raut kecemasan tergambar jelas pada air muka kedua orang tua Sarah. Melihat Sarah menggeliat di atas tanah dengan keadaan yang tak sadarkan diri membuat mereka berpikir Sarah sedang meregang nyawa."Tenanglah! Dia baik-baik saja. Semakin kalian berisik semakin lama proses ini selesai!" Amarta menghardik balik pak Agus dengan tatapan tajam.Mereka semua a
Keesokan harinya...Sarah terbangun. Gambaran langit-langit kamar seperti sudah tidak asing baginya. Kali ini pun pemandangan itu yang pertama kali ia lihat.Dia menarik nafas panjang, berusaha memenuhi seluruh ruang di dalam paru-parunya dengan udara."Sepertinya sudah cukup lama aku tidak bernafas selega ini." Sarah bergumam.Sarah menarik kembali selimut yang sudah mencapai kakinya, "akh...Perasaan nyaman ini begitu aku rin-" Sarah menggantungkan kalimatnya, ingatannya mulai tersadar. Dengan tergesa-gesa Sarah memeriksa tubuhnya."Mulus?" batinnya.Sarah segera turun dari tempat tidur, ia berlari menuju cermin besar dengan bingkai kayu jati berukiran bunga mawar.Beberapa kali ia menggaruk mata menggunakan punggung tangan. Ia terus mengedipkan matanya, tak percaya bahwa pantulan bayangan pada cermin itu adalah dirinya.Rasa perih, panas, dan segala kesakitan itu kini hilang, "Seluruh tubuhku kembali seperti semula, bahkan aura wajah ini semakin terlihat. Apa aku tidak salah? Semua
Sarah tersenyum, "Hai, senang bertemu dengan kalian." Ia menyapa.Wajahnya yang segar dengan aura yang memancar seperti menyihir para lelaki di ruangan itu. Seorang lelaki yang masih berdiri di dekat pintu menjawab sapaan Sarah."Hai, senang bertemu dengan mu juga." Lelaki itu tersenyum."Dia tampan, tapi dimataku Bima yang paling tampan." Sarah bergumam didalam hati."Jadi ini calon istrimu Bima?" Teman yang lain ikut bertanya."Dia bilang pernikahannya gagal, jadi mungkin mereka sudah putus. Aku melihat ini sebagai peluang, jadi tidak masalah kan aku mendekati mantanmu?" Lelaki yang berdiri dekat pintu menggoda Bima dan yang lainnya menyambut dengan gelak tawa."Tidak! Siapa yang bilang pernikahan mereka batal. Acaranya hanya diundur bukan dibatalkan." Bu Tara protes tak terima. Semuanya tertawa begitupun dengan Sarah yang selalu memasang senyuman manis."Baiklah kawan-kawan, gadis itu sudah ada pemiliknya. Jangan ganggu dia. Kasian tuh Bima sampai melamun." Ujar seorang teman lain
Bima tersenyum puas mendengar jawaban Sarah. Manis asmara itu seolah semakin membara dalam hatinya."Terimakasih, sayang," ucap Bima sedikit ragu.Sarah tersipu mendengar panggilan mesra itu keluar dari bibir seseorang yang baru saja ia cumbu mesra, "Sayang?" tanyanya seraya tersenyum."Bagus, kan? Kita harus mulai memiliki panggilan khusus satu sama lain." Bima membelai lembut surai hitam milik Sarah."Baiklah, itu bagus juga." Sarah tertawa kecil."Sana berangkat. Beritahu Hadi bahwa aku akan menginap ya, dia pasti menunggu di pos satpam," pinta Sarah."Siap, sayang!" Bima tersenyum lebar. "Sebaiknya kamu tunggu di kamarku saja. Ada televisi dan beberapa buku kalau kamu bosan menunggu," lanjutnya.Sarah hanya mengangguk dengan senyum yang terus bertengger mesra diwajahnya, sementara tangannya memberikan isyarat agar lelaki bertubuh jangkung itu segera pergi bekerja. Bima berjalan menuju mobil dan langsung masuk mengendarai kendaraan berwana hitam itu. Tepat di depan pos satpam lela