Para lelaki berseragam itu mematung. Tak ada yang menjawab sapaan Amarta, mereka seperti tersihir. Hingga akhirnya lamunan mereka terpecah oleh suara Bima. "Guys? Emang ya dasar laki. Minimal sadarlah kalian tuh mulut udah keluar air liur segitu banyak," ucap Bima dengan nada candaan.Amarta menutup mulutnya berusaha menahan tawa mendengar perkataan Bima.Satu persatu dari mereka mulai sadar dan tersenyum canggung menyadari hal bodoh yang baru saja terjadi."Wah Bima, dihari pernikahan ini bukannya mendapat kado, tapi kamu malah memberi kita semua kado yang sangat istimewa." "Perkenalkan nama saya Tomy," lanjutnya seraya mengulurkan tangan. Lelaki pertama yang memperkenalkan dirinya terlihat cukup tampan. Dengan kulit putih dan tubuh atletis. Dua buah lesung pipi juga mempermanis wajahnya."Hai Tomy, Aku Amarta." Pandangan mereka bertemu. Netra hitam milik Tomy seolah berusaha menyelam ke dalam tatapan tenang milik Amarta. Ia berusaha mengulik kebenaran dari pandangan wanita itu.
"Kapan kita mulai berkencan?" Frans mengulang pertanyaannya.Tomy mematung melihat kegilaan di hadapannya. Pandangannya beralih ke arah Amarta. Wanita itu jelas tidak boleh ia lewatkan. Namun berkencan dengan dua lelaki sekaligus? Itu terdengar gila bahkan baginya yang seorang pemain."Baiklah, aku ikut. Apapun itu, jangan sampai kalian mulai tanpa aku!" Tomy melepaskan kerah baju Frans. Lelaki itu berjalan dengan sedikit tertatih menuju ke arah Amarta. Wajahnya babak belur, darah mengalir dari sudut bibirnya. Namun sepertinya itu tidak menghentikannya untuk ikut mengambil ciuman dari Amarta.Tanpa ragu tangan besarnya menangkup wajah Amarta, menggiringnya mendekat. Tomy mencium Amarta didepan Frans yang juga tidak bisa berkutik. Sebuah ciuman yang gegabah dan sangat tergesa-gesa. Setelah cukup puas Tomy melepaskan tautannya. Lelaki itu menatap Amarta dan membisikan sebuah kalimat tepat telinganya, "Ini hari pertama kita, aku harap kamu bisa berlaku adil terhadap kami berdua." Tomy
Hari itu langit cerah. Mereka memilih bertemu di taman. Sejujurnya, Amarta sedikit kebingungan mengenai kencan kali ini. Dia hanya punya pengalaman menikahi lelaki dan dijadikan simpanan. Semua aktivitasnya bersama lelaki hanya dilakukan di dalam kamar, tidak lebih dari itu."Kenapa aku harus mengajak mereka berdua berkencan! Tidak aku sangka ini akan sangat merepotkan," batin Amarta.Sudah satu jam mereka di taman. Sebagai besar waktu dihabiskan dengan berdebat. Tomy dan Frans terus-menerus berdebat tentang hal-hal yang sepele."Sebaiknya kita ke restoran cepat saji saja," cetus Tomy."Tidak, aku ingin makanan sehat." Frans menimpali."Ya terserah kemana saja asal Amarta naik mobilku." Tomy kembali bersuara."Amarta? Kamu mau naik mobil jelek milik Tomy?" Frans bertanya.Amarta memasang wajah lelahnya. Sepertinya tidak ada harapan. Dia terlalu percaya diri dapat menangani dua lelaki sekaligus."Aku pulang saja." Ucap Amarta kemudian berdiri dan berjalan meninggalkan bangku taman yang
Tak ada yang lebih menghanyutkan dibandingkan dengan perasaan manusia. Itu seperti arus tenang di lautan dalam. Gelombangnya tak terlihat namun ia dapat menghanyutkan sampai ke dasar. Hal itulah yang selalu diingat oleh Amarta. Walau sudah hidup ratusan tahun, hatinya tetap terjaga. Tak pernah ada yang masuk ke dalam walau ramai suara ketukan pada pintunya."Aku sudah bosan, kemarin aku sudah menonton film bersama Tommy." Gerutu Amarta pada Frans.Frans menghela nafas. Sudah dua jam berlalu namun suasana diantara mereka masih terasa canggung. Dia memang tertarik dengan Amarta, namun kurangnya pengalaman dalam menghadapi perempuan membuatnya sedikit tegang."Mau ke rumahku? Kita bisa makan malam bersama," usul Frans."Pesan antar? Tidak. Lebih baik makan langsung di restoran." Jawab Amarta tak berminat."Aku yang akan memasak," ucap Frans singkat.Amarta melemparkan pandangannya ada Frans, air mukanya seolah bertanya "Benarkah?" Frans sepertinya mengerti dengan jelas lewat ekspresi A
Wajah Frans terlihat menahan amarah. Garis rahangnya tegas dan kasar, kedua bibirnya mnegatup rapat. Tatapannya tajam dan sangat mengusik hati Amarta."Lelaki ini berbahaya," batin Amarta."Menuruti keinginanku? Memang kamu tahu apa yang aku inginkan?" Frans mengendorkan cengkramannya pada tangan Amarta.Wajah Amarta meringis kesakitan, ditambah suasana yang sudah sangat tidak nyaman diantara mereka berdua. Rasanya Amarta ingin segera pergi dari sana. Seharusnya Amarta tahu sejak awal bahwa Frans adalah jenis lelaki yang seharusnya ia hindari."Jangan seperti ini Frans." Amarta mendorong tubuh Frans perlahan."Lalu kamu ingin aku bagaimana? Aku tidak suka terus bermain-main." Jawab Frans dengan suara baritonnya yang tegas."Aku tidak suka lelaki seperti mu!" bisik Amarta."Tidak suka? Lalu apa kamu menyukai lelaki seperti Tomy? Lelaki yang selalu menjadikan wanita sebagai permainan?" Amarah Frans semakin menjadi.Amarta menatap sengit Frans yang juga menatapnya tak kalah tajam. Dengan
Sejenak pandangan mereka bertemu. Tatapan mendamba dari sepasang kekasih jelas ketara. Tommy mengerti apa yang dimaksud oleh Amarta. Dia bukan pemuda polos tanpa pengalaman. Namun dalam hatinya bertanya, "Secepat inikah dia memberikan apa yang seharusnya ia jaga baik-baik?" Dengan manja jemari Amarta menari di atas dada bidang milik Tommy. Tangannya terampil membuka satu persatu kancing kemeja lelaki dihadapannya itu."Tu-tunggu... Apa maksudnya ini?" tanya Tommy terlihat ragu.Amarta tersenyum, "Apa? Ayolah... Jangan pura-pura polos." "Tapi kita baru satu bulan-" Amarta menaruh jarinya pada bibir Tommy, membuat lelaki itu kehilangan kata-katanya."Ayo!" Amarta menarik tangan Tommy menuju kamarnya."Jawab jujur, kamu mau tapi malu atau memang tidak tertarik?" Amarta dengan paksa menarik tubuh Tommy hingga lelaki itu duduk di atas tempat tidur."Bukan begitu! Aku cuma sedikit kaget," jawab Tommy.Amarta menghela nafas. Ia menyapu lembut wajah Tommy, "Kalau kamu takut, maka lakukan s
Jakarta, Agustus tahun 1996.Frans berjalan di lorong hingga langkah kakinya terhenti didepan sebuah pintu kayu bergagang hitam. Ia mengetuk pintu tiga kali sebelum akhirnya masuk."Kamu datang juga." Ucap seorang lelaki yang sudah menunggunya didalam.Ia adalah Jacob, kakak kandung Frans. Bagai pinang yang dibelah dua, Frans dan Jacob terlihat mirip bahkan mereka selalu dianggap sebagai saudara kembar. Frans tersenyum, "Sedang sibuk, kak?" tanyanya."Tidak, aku hanya sedang membaca berkas-berkas yang cukup menarik." Ucap lelaki itu sembari memamerkan map bewaran coklat."Bukannya ini kasus mayat di Jogjakarta? Kenapa berkasnya ada di sini?" Frans melihat lebih detail berkas kasus yang sedang Jacob pelajari.Jacob menaruh satu jari di depan bibirnya, "Anggap kamu tidak melihat semua ini," perintahnya."Ya aku mengerti prosedur. Tapi sebenarnya kenapa dilimpahkan kesini? Setahuku kasus ini masih terus diselidiki. Apa mereka tidak mendapatkan kemajuan?" Frans merasa penasaran."Benar.
Hari itu adalah hari terakhir Frans melihat wajah Amarta. Surai merah kecoklatan yang terlihat berkilau dibawah sinar mentari, kulit putih yang kadang telihat kemerahan karena tersipu, binar mata berwarna kecoklatan yang banyak menyimpan misteri. Semua keindahan yang misterius itu akan selamanya terpatri dalam ingatan Frans.Didalam hatinya ia masih menyimpan harapan. Entah cepat atau lambat ia ingin sekali dipertemukan kembali dengan gadis itu. Tentunya dipertemukan dalam keadaan yang memungkinkan untuk bersama. Walau masa lalu bersamanya tidak begitu menyenangkan, namun setidaknya ia harus berharap untuk pertemuan selanjutnya.Hari sudah gelap saat Tommy mengantarkan Amarta pulang. Sesekali Amarta melempar pandangan pada gelapnya jalanan. Bayangan wajah Frans masih menghantui pikirannya. "Dia tampan, dan sikapnya yang tidak berisik juga sebenarnya adalah tipeku. Andai saja intuisi lelaki itu tidak terlalu kuat, mungkin aku bisa bersamanya sekarang." Amarta bergumam dalam hati.Tomm