"Tumben lo pinter." Milky akhirnya memuji anak itu. Milky tahu, kekecewaan Zerikyu takkan sirna dalam sekejap. Ia menyelipkan jarinya ke ruas-ruas jari Zerikyu. Genggaman kokoh tersalur hangat hingga membesarkan hati Zerikyu. "Ayo kita abisin malem ini berdua, Kak Zerikyu Ganteng!" Melihat gadis mungil itu mendorong pipi ke pangkal lengannya supaya dirinya lekas berjalan, Zerikyu tersenyum simpul. Curang, Katanya pada semesta. Mana bisa Zerikyu menolak diberi pelipur lara segemas kucing ini. “Kata siapa kalian bisa berduaan?” Dua pasang badan menghadang keempat laju langkah muda-mudi itu. Jeviter tampak tertatih-tatih di belakang, menyusul orangtuanya. “Ma? Pa?” Milky gemetar menangkap getaran kurang ramah. Ia mengencangkan pegangan di siku Zerikyu, tapi pria itu melepas pelan tangan gadisnya, lalu menjaganya dalam genggaman erat. Zerikyu merasakan hal yang sama. Tatapan dua orang itu tak seperti biasanya. “Selamat malam, Om ... Tante,” sapa Zerikyu, “kalian pasti mau menjempu
Bakal hebat kalau pekerjaan gue bisa jadi alasan mamah senyum, Pikir Zerikyu di usia belianya. Tak banyak teman-teman seangkatan yang menilai Zerikyu naif. Masa depan apa yang bisa didapatkan dari sekadar bermusik? Mereka kira, musisi adalah pekerjaan yang sukar awet, bisa saja redup, lalu dilupakan jika kamu tidak sehebat para legenda. Dan, tidak semua orang bisa menjadi legenda. Tentunya Zerikyu masa bodoh dengan semua itu. Dia tahu apa yang ia inginkan. Namun, Zerikyu belum tahu apa yang dia kuasai di bidang musik. Marionette menjadi langkah awal Zerikyu. Reanna sendiri yang merekomendasi akademi bertaraf internasional itu. Makanya setelah Darmasakti, sang ayah berpulang karena serangan jantung, Reanna fokus mendukung impian anaknya. Momen demonstrasi-lah jawabannya. Kala bintang-bintang di iris gadis bernama Wilky Milkya menunjukkan seperti apa pekerjaan menyenangkan yang sebenarnya. Berada di balik piano, menginjak pedal, menekan tuts, dan terpejam sambil melarutkan peras
"Selamat pagi, kami dari kepolisian. Kebetulan kami sedang melakukan pemeriksaan dengan tempat ini sekaligus hendak meminta keterangan kepada saudara Zerikyu, Skyder, serta saudari Milky dan Elizabeth atas apa yang terjadi di Slovenia. Menurut kesaksian anak-anak ini, kalian mengetahui alasan keberadaan mereka di sana dan tentang Marionette. Mohon untuk ikut kami ke kantor pemeriksaan," pinta polisi yang badannya tambun. "Gak! Gue gak mau dibawa-bawa ke kantor polisi segala! Kita gak salah apa-apa! Anggep aja kita bantu mereka pulang." Skyder lantang menolak. Elz terkejap bingung karena laki-laki itu menariknya selagi mengomel. "Kami sangat ketakutan kemarin. Kalian pasti menghipnotis kami demi keuntungan besar, kan?" jelas si pelajar perempuan berkepang dua. "Betul! Kalian pasti merencanakan perdagangan manusia atau sejenis itu!" Mahasiswa berkacamata memekik. "Perdagangan manusia?" Milky mengulang pertanyaan. Lidahnya menyapu pipi bagian dalam menahan jengkel. "Ratusan orang ma
Dengkul Skyder bergetar secepat nalarnya bekerja. Milky yang selonjoran di sampingnya mengertakkan gigi. Masalahnya, suara hentakan pada ubin itu memancing emosinya. “Berisik. Kenapa sih lo?” protes Milky, memukul paha Skyder supaya diam. “Lama banget. Gue mati penasaran. Kok bisa cowok tadi balik ke Marionette dan bertingkah kayak ngerti semua yang terjadi. Kenapa Divje Babe ada di tangannya? Jangan-jangan, dia gak terpengaruh sama sihir Divje Babe dan waktu itu ada di TKP?” Skyder melontarkan teorinya. “Lo pikir cuma lo doang?” Milky menggerutu. “Dia sebenernya siapa, ya?” tanya Elz, telunjuknya berhenti menulis namanya sendiri di debu lantai. “Baaaang,” rengek Skyder. Alih-alih membalas, Skyder mendongak ke Zerikyu yang berdiri di depan jendela. “Hem?” respons Zerikyu datar. “Tutorial jadi cowok jenius dong, gue takut keliatan bego di depan calon pacar,” keluhnya. “Hadeh,” cibir Milky, sedangkan Elz tersenyum kecut. “Kalian sudah lama menunggu, ya?” Zerikyu berbalik, diik
Di atas meja dokter, pandangan Zerikyu enggan lepas dari telapak tangannya. Selagi menunggu dokter membawa hasil, Zerikyu hanyut dalam lamunan. Pada tiap-tiap denyutan nadi, ada asa yang semakin besar. Ia membalikkan telapak. Kerutan di dahi makin tampak. Lecetnya masih membekas. Semenjak pulang dari Slovenia, gejala sindrom karpal belum pernah lagi muncul. Logikanya, harus ada yang berakhir parah setelah ia memukuli Tiger. Seharusnya, tangannya tak bisa bergerak bebas, apalagi digunakan buat menyeret koper dari hotel. Kemudian, lanjut ke bandara dan berakhir di apartemen. Perjalanan singkat, tapi terasa panjang dan melelahkan. Dengan segala keanehan itu, Zerikyu memilih diam. Ia juga tidak memberitahu Milky perihal spekulasinya yang menganggap sindrom ini sembuh sendiri. Kali pertama Milky bertanya keadaannya pasca kejadian di museum, Zerikyu berdalih waktu itu hanya perkelahian kecil dan ia lebih banyak menghindar. Garis tipis selalu mencuat di antara keajaiban dan harapan bo
“Kadang aku bingung, Divje Babe itu bawa sial apa keberuntungan, sih?” tanya Milky. Zerikyu beres menggeser pintu ruang dokter hingga tertutup rapat. Langkah kakinya mengebut ke samping Milky yang asyik mengoceh sendiri. “Tiap kejadian pasti ada dampak positif dan negatifnya, Yang.” Zerikyu mengujar dengan tangan mengambil alih slip bag beruang Milky dan menautkan ke pundaknya sendiri tanpa diminta. Lidah Milky berdecak. Apa pun dampaknya, yang pasti mereka harus membayar dan menanggung resiko dan itu berat. Harus diakui, ia menganggap keadaan Zerikyu sebagai sebuah berkah. Althar juga bilang rangkaian berkah itu masih akan terus mengalir ke depannya. Begitu pula dengan sisi gelap yang harus mereka hadapi. Tau ah, dipikirin doang percuma. Intinya, mulai sekarang gue harus siap, Gumam Milky sembari menggigit bibirnya. “Wah!” Balik ke kenyataan, Milky tahu-tahu berseru karena menemukan hal menarik. Ia berhenti di samping poster bernuansa biru ceria. Desainnya dipenuhi tangga nada da
Roda-roda mungil berputar menyusuri lantai yang membelah auditorium. Tidak ada satu pun orang di sana, sehingga bunyi deraknya memenuhi teater. Koper hitam itu diam di tempat persis saat Tiger berhenti. Binar menghiasai mata hazel Tiger. Bertekuk lutut di hadapan tirai merah, terlampau lusuhlah punggung seorang wanita yang terduduk di atas panggung. Kain putihnya dibercaki noda-noda lumpur. Lolongan kerinduan di batin Tiger kini tak terelakkan lagi. Saking bergumulnya kata di tenggorokan pria itu, hanya satu kata yang pada akhirnya sanggup terucap lirih. "Aluna?" Kepala Aluna terangkat. Wanita itu berdiri dan ketika ia berbalik, tubuhnya tersentak oleh pelukan hangat. Setitik air menetes dari pelupuk mata Aluna. Semakin erat Tiger melakukannya, semakin besar pula sesal di relung hati. Pria ini terlalu layak mendapat seluruh cinta dan ketulusan, tapi ia malah menyerahkan segalanya pada seorang wanita bodoh yang hidup selayaknya boneka. Aluna mendorong pelan bahu Tiger sebab ia bis
Aluna mengangguk lemah. "Kalau aku gagal di audisi Paris Orkestra, mereka menertawakanmu. Aku hancur saat mereka menyebutmu pemilik perusahaan rekaman terbesar yang menikahi pengamen jalanan. Sampai akhirnya, orang-orang pemakaman itu datang," Aluna mengungkapkan. "Amandeus? Mereka datang sendiri?" "Ya, sepertinya mereka punya radar yang mendeteksi orang-orang sekarat. Kamu tahu maksud dari, 'Anak Burung Mati Putus Asa'?" tanya Aluna seraya mengarahkan dagunya ke layar. Kalimat terakhir tadi merupakan arti dari kata kunci ‘Oiseau mort desespere’. Tiger menggeleng. "Entahlah ... saya tidak pernah mendengar frasa itu." "Tepatnya alarm kematian bagi musisi-musisi gagal. Mereka yang menjual jiwa ke Amandeus akan diberi jangka waktu kesuksesan tertentu. Musisi sepertiku setidaknya harus merilis lagu yang mereka kirimkan," terang Aluna. "Coba sekarang aku tanya, gimana keadaan Bi Milky?" Aluna melontarkan pertanyaan misterius. Otak Tiger rasanya melambung, kemudian dijatuhkan dalam la