Share

2. Hilang

Semua orang yang ada di ruangan begitu gelisah. Terutama seorang pria akhir dua puluhan yang begitu frustasi. Ia berjalan mondar-mandir, berkali-kali mengecek ponsel dan sesekali menatap tajam wanita muda yang kini tertunduk takut.

"Belum ada kabar lagi, Yo?" tanya seorang wanita paruh baya yang hampir menangis. Bahunya diusap lembut sang suami untuk menenangkan.

"Belum, Ma!" jawab Rio gusar.

"Semua ini gara-gara kamu!" Wanita paruh baya itu bangkit dari duduknya dan menuding si wanita muda dengan tatapan marah. "Kalau saja kamu tidak sok baik dengan membawa cucu saya keluar, cucu saya tidak akan hilang! Dan kamu, Yo! Berapa kali Mama bilang kalau wanita ini tidak baik untuk kamu. Lihat sekarang! Dia menghilangkan cucu mama satu-satunya."

"Ma, udah! Mama tenang dulu! Nathan pasti ketemu. Anak buah Rio kan sekarang sudah mencarinya." Ayah Rio memberi isyarat kepada sang anak untuk membawa wanita itu keluar dari rumah.

"Kamu pulang dulu, Shill! Saya sudah memesankan taksi di depan," ucap Rio dingin tanpa melihat ke arah Shilla yang sudah menatapnya dengan tatapan berkaca-kaca.

"Yo, aku minta maaf. Please! Biarin aku di sini sampai Nathan ketemu, ya?" mohonnya yang tentu saja diabaikan oleh Rio.

Sebuah taksi mendekat, Rio berbicara sejenak kepada supir taksi lalu menoleh ke arah Shilla, memberi tatapan isyarat yang tak bisa dibantaj membuat gadis itu akhirnya memilih menurut. Ia tak punya nyali untuk membantah dan keras kepala.

Usai memastikan Shilla benar-benar pergi, Rio kembali ke dalam rumah. Hatinya benar-benar gelisah mengingat sang buah hati yang tak juga ditemukan padahal hari sudah menjelang malam. Dimana anaknya saat ini? Aman kah? Sudah makan kah? Dimana anaknya akan tidur malam ini? Rio benar-benar mengutuk dirinya sendiri karena lalai menjaga anaknya.

"Ma, Pa, Rio pergi, Rio tidak bisa diam saja menunggu," pamit Rio sambil meraih kunci mobil dan bergegas pergi.

*

Perjalanan Surabaya-Malang tak membutuhkan waktu yang lama. Naik bus hanya membutuhkan waktu kurang lebih satu jam empat puluh menit. Ify agak kerepotan saat turun dari bus karena harus menggendong balita yang tidur dan membawa tas. Beruntung tas miliknya tak terlalu besar, ia juga tak membawa pakaian.

Udara dingin menusuk tulang membuat Ify semakin mengeratkan jaket miliknya yang sengaja ia pakaikan pada balita itu dan berjalan ke kerumunan tukang ojek yang masih mangkal. Dari Terminal Arjosari ke rumahnya yang ada di Lowokwaru hanya membutuhkan waktu 21 menit.

Ify tak punya waktu istirahat, karena saat sampai di rumahnya sudah penuh dengan orang-orang yang melayat dan juga tetangga yang membantu. Langkah kakinya begitu berat, ia seperti berjalan dengan beban puluhan ton. Bahkan pegangannya pada balita di gendongannya terasa mengendur karena tangannya yang gemetar.

"Kak Ify!" Ray memghambur ke arahnya saat menyadari entitas sang kakak di depan pintu rumah. Langkah Ray terhenti saat menyadari ada anak kecil yang berada di gendongan sang kakak. Para tetangga yang ada di rumah pun terdiam, pandangan mereka bertanya-tanya, tetapi Ify memilih tak peduli. Meski matanya sudah memanas siap memproduksi air mata, tapi Ify dengan tegar tersenyum ke arah sang adik.

"Sebentar ya, kakak mau menidurkan dia dulu. Kasihan kalau tidur seperti ini terus."

Lalu tanpa menjawab rasa penasaran semua orang, Ify berjalan ke arah kamarnya untuk menidurkan sang balita.

*

Menjadi tulang punggung keluarga memang berat, sebagai anak pertama perempuan, tanggung jawab Ify benar-benar di luar nalar. Apalagi semenjak sang ayah berpulang enam tahun lalu, saat itu Ify baru saja lulus SMA. Niat ingin melanjutkan kuliah pun urung. Ify memilih untuk bekerja sembari kursus memasak karena memang tertarik dalam dalam bidang kuliner.

Ray, sang adik yang terpaut umur enam tahun saat itu baru lulus sekolah dasar. Membutuhkan biaya yang banyak untuk pendaftaran ke sekolah menengah pertama.

Selama enam tahun setelah kepergian sang ayah, Ify tetap bertahan meski beban yang ia pikul terasa sangat berat. Tangisan setiap malam tak pernah absen meski esoknya ia akan bersikap seperti biasa.

Kini, di depan jasad sang ibu, tangis Ify akhirnya pecah setelah tertahan lama. Tanpa kata, hanya air mata yang ingin Ify keluarkan agar sesak yang menghimpitnya sedikit mereda. Ray pun mendekat, dan memeluk sang kakak dengan sayang. Saat ini, mereka tak punya siapa-siapa lagi kecuali satu sama lain.

*

Satu persatu para tamu pulang, menyisakan Ray, Ify dan juga balita yang kini terdiam duduk di sofa. Balita itu terlihat bingung, tapi melihat suasana yang sedih dan banyak orang menangis, entah kenapa balita itu justru anteng. Seolah mengerti, jika ia akan merepotkan orang dewasa di sekitarnya jika bersikap rewel.

"Sarapan dulu, Kak! Kasihan nih bayi juga tadi cuma minum susu doang. Kita juga terlalu sibuk ngurusin pemakaman Mama sampai lupa kasih dia sarapan dulu. " Ray datang dengan sepiring nasi dan lauk pauk yang ia beli tadi di warung.

Balita itu tampak berbinar melihat sepiring nasi di hadapannya.

"Makan...makan," celoteh nya dengan senyum lebar yang entah kenapa membuat Ify tanpa sadar menarik senyum.

"Kamu laper?"

Balita itu mengangguk antusias. "Atan lapar."

"Namamu Atan?"

Balita itu kembali mengangguk.

"Ya sudah! Atan makan ya sekarang. Maaf, tante terlalu sibuk dan biarin Atan kelaparan, tante minta maaf ya?" ucap Ify lembut sambil mengelus rambut halus Atan.

"Mau makan disuapin Mama."

Ify pun tak menolak, ia meraih piring itu dan menyuapi Atan dengan sabar, sesekali ia juga menyuap untuk dirinya sendiri karena sadar jika ia juga belum makan sejak kemarin malam.

Ray yang melihat pemandangan itu bingung.

"Kak, gue butuh penjelasan deh kayanya," celetuknya.

"Nanti gue cerita kalau udah selesai makan. Lo juga harus sarapan!"

"Udah tadi gue sarapan langsung di warung."

"Ya udah, tunggu dulu sebentar! Gue suapin Atan dulu sampai kenyang."

Usai menyuapi Atan dan bocah itu asik dengan mainan lama Ray yang kebetulan belum dibuang, kini Ray dan Ify duduk berhadapan di sofa. Cerita mengalir begitu saja dari bibir Ify, tentang semua yang terjadi malam itu dan bagaimana bisa balita itu ada padanya.

"Gila! Kalau dia dicari orangtuanya gimana?"

Ify mengedikkan bahu. "Ya mana gue tahu. Gue nggak sebejat itu ninggalin tuh balita sendirian di kantor polisi. Apalagi Atan nggak mau disentuh orang lain. Dia tantrum, sampai akhirnya gue gendong dan tidur."

"Terus rencana kita selanjutnya apa, Kak?"

Ify menghembuskan napas panjang. Rencana selanjutnya? Jujur, Ify pun belum kepikiran sama sekali. Semua hancur dalam satu malam tanpa ia punya waktu untuk berpikir.

"Gue... nggak tahu, Ray!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status