Share

3. Kembali

Hamil di luar nikah.

Astaga, Ify rasanya ingin menangis sambil guling-guling di trotoar.

"Gue serius, Kak! Semua tetangga bergunjing tentang lo yang hamil di luar nikah. Mama belum kering kuburannya, dan semua rumor itu semakin meluas."

"Yang penting kenyataannya nggak begitu, Ray!" Ify menyahut kalem. Ia tak punya tenaga untuk sekedar membantah atau klarifikasi kepada para tetangga.

"Memangnya lo baik-baik aja, Kak? Mereka semua bilang lo bekerja jadi wanita malam. Mereka bilang lo anak kurang ajar karena nggak ada pas mama sekarat. Mereka bilang lo--" Ray tergugu, Ify meraih adik kesayangannya itu dalam pelukan. Mengelus rambutnya dengan sayang.

"Kakak nggak apa-apa, Ray! Selama bukan kamu yang berpikir kaya gitu, Kakak baik-baik aja. Maaf karena kakak nggak ada di samping kamu dampingin mama."

Tangis Ray pecah dalam pelukan kakaknya. Bagaimana pun, ia hanyalah sesosok adik kecil yang selalu dimanjakan sang kakak. Ia tau semua pengorbanan Ify demi menghidupi keluarga mereka. Maka, akan tak tahu diri jika Ray sampai tak mempercayai kakak satu-satunya.

"Mama, kakak ganteng kenapa?" Atan datang setelah bosan bermain dengan robot-robotan milik Ray dulu.

Ify merentangkan tangan kirinya, memberi isyarat kepada Atan agar mendekat yang langsung disambut balita itu dengan sukacita. Ify kini memeluk dia orang, menciumi kepala Ray dan Atan bergantian. Ini aneh, Atan tak ada hubungan darah dengannya tapi Ify menyayanginya seperti ia menyayangi Ray.

"Sudah selesai ujian 'kan?" tanya Ify saat dirasa Ray sudah tenang.

Ray mengangguk. "Tinggal nunggu ijazah keluar."

"Ya udah, besok kita balik ke Surabaya, kasihan Atan kalau dicari orangtuanya."

"Gue ikut, Kak?"

"Kenapa? Lo nggak mau? Gue nggak bisa tinggal di sini, Ray! Kerjaan gue di sana soalnya! Nanti lo juga bisa sambil kuliah."

Ray menggeleng. "Gue ikut, Kak! Tapi biarin gue kerja, ya?"

Ify menggeleng. "Jangan! Bukannya lo udah submit SNMPTN? Kalau misal lolos dan nggak lo ambil kan percuma."

"Gue nggak yakin bakalan lolos, Kak!"

"Emang lo ambil universitas mana?"

"UNAIR sama UNESA."

"Universitas yang bagus! Gue yakin lo bakalan lolos, kan lo lebih pinter dari gue kalau soal pelajaran, hehehe!"

Kekehan Ify mau tak mau membuat Ray ikut terkekeh bangga. Memang, dalam hal akademik ia patut berbangga hati karena otaknya yang encer.

"Mama, Atan ngantuk," obrolan mereka terpotong oleh celotehan Atan yang sejak tadi menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Ify. Bocah itu terlihat sangat nyaman saat berada dalam pelukan Ify hingga terus merasa ngantuk. Ify pun menyamankan posisi gendongannya dan menepuk-nepuk pantat Atan agar cepat tidur.

"Gue penasaran siapa bapaknya," Ray berucap setengah berbisik karena tidak mau mengejutkan Atan.

"Apalagi gue? Di sana gue dituding ibu nggak becus, di sini dituding hamil di luar nikah. Lihat aja kalau gue ketemu ayahnya gue bakalan minta ganti rugi yang besar," gerutu Ify yang membuat Ray terkekeh.

"Kalau bapaknya tajir sih oke aja, kalau bapaknya juga miskin gimana, hayo?"

"Nggak mungkin, sih! Dilihat dari merk pakaian Atan aja gue bisa taksir harganya satu kali gaji gue."

"Terus, kalau dia anak orang kaya, kenapa bisa hilang di pinggir jalan gitu?"

"Ya mana gue tau? Tanya emak bapaknya coba, siapa tau keasikan pacaran sampai lupa kalau mereka bawa anak keluar."

"Tapi kayaknya Atan nggak punya mama, deh!"

"Huss! Jangan ngomong kaya gitu!" Ify menghardik Ray agar berhati-hati dengan ucapan.

"Ya abisnya dia manggil lo pake sebutan Mama. Anak mana yang manggil orang asing pake sebutan mama kalau dia punya mama sendiri?"

Ify hanya terdiam. Meski ucapan Ray ada benarnya, tapi ia tak berani berpikir macam-macam.

"Emangnya lo udah tahu siapa bapaknya?" tanya Ray lebih lanjut.

Ify hanya menggeleng. "Setiap gue tanya, dia cuma jawab 'Ayah io di rumah. Atan kangen ayah io, nggak mau pergi lagi sama tante jelek' dia selalu jawab gitu dan ujung-ujungnya nangis. Gue nggak tega buat desak terus."

"Terus, lo bakalan ngurus nih bayi? Kalau lo kerja gimana?"

"Sebenernya ... gue juga baru keluar dari kerjaan, jadi untuk sementara gue senggang," Ify meringis melihat Ray yang melotot.

"Terus kalau gue ikut ke sana, gue bakalan jadi beban buat lo, Kak!"

Ify mendelik, menatap Ray tidak suka dengan ucapan terakhirnya.

"Lo udah beban dari dulu, kenapa baru sadar sekarang, hah?" sungut Ify yang justru membuat Ray tertawa kencang.

"Iya juga ya? Jadi lo langsung cari kerjaan begitu tiba?"

"Kayaknya enggak, gue masih punya tabungan. Dan kayaknya mau bikin usaha katering kecil-kecilan sama kue-kue yang nanti bisa gue titipin di warung."

"Kenapa nggak bikin branding aja di sosial media? Nanti kakak urusan dapur, gue yang ngurus promosinya, gimana?"

Ify tersenyum cerah. "Waahh, boleh juga ide lo. Ya udah sekarang siap-siap gih, besok kita berangkat pagi-pagi biar Atan nggak kepanasan."

Ray kemudian mengangguk, melangkah menuju kamarnya untuk packing sebelum berbalik.

"Terus rumah ini gimana?"

"Nggak gimana-gimana, kalau kita kangen mama papa kita bisa pulang dan tidur di sini."

*

Pukul sepuluh pagi, Ify, Ray dan juga Atan sudah tiba di kos milik Ify. Meskipun dinamakan kos, tapi kamar ini lebih seperti rumah sewa karena terdapat dua kamar kecil, satu kamar mandi dan juga dapur. Tidak ada ruang tamu, hanya dua kursi dan satu meja di teras.

"Bersih-bersih aja dulu, gue masak! Kasihan Atan juga udah lapar. Kalau udah selesai tolong lihatin Atan sebentar di kamar gue. Dia tadi anteng gue kasih lihat ponsel."

Ray hanya mengangguk, dan mulai berbenah. Tak sampai satu jam, ia sudah bermain dan bercanda bersama Atan di kamar Ify, hingga perempuan itu datang dan mengatakan jika sarapan semi makan siang sudah siap.

Atan begitu antusias untuk menjemput makanannya. Dari kemarin, balita itu terlihat sangat menikmati masakan Ify. Katanya, masakan Ify sangat enak. Padahal Ify memperbanyak sayur dan bocah itu sama sekali tidak protes, semua yang ada di piringnya tandas tak tersisa, termasuk buah-buahan yang sudah ia potong-potong kecil.

"Mama mama, Atan mau makan masakan mama terus setiap hari boleh nggak?" tanyanya setelah selesai makan. Bocah itu duduk bersandar di dinding dengan tangan yang mengelus perut. Kekenyangan.

Ify terkekeh. "Memangnya Atan nggak kangen Ayah? Atan nggak mau pulang?"

Mendengar sang ayah disebut, balita itu murung membuat Ify merasa bersalah. Ray yang mulai merasakan kedekatan dengan bocah itu menyikut Ify dan memberikan kode lewat lirikan mata.

'Katanya nggak tega, kenapa lo ungkit sekarang?'

Ify mendengus, lalu beranjak dan memeluk Atan. "Nanti kita cari Ayah sama-sama, ya? Tante janji, tante akan bantu Atan biar bisa ketemu ayah lagi."

"Tapi mama ikut Atan kan nanti?"

Ify melonggarkan pelukannya dan menatap Atan tak mengerti. "Ikut kemana sayang?"

"Ikut pulang ke rumah Ayah. Atan mau makan masakan mama setiap hari. Atan juga pengen main bareng ayah dan mama. Nanti kita ke kebun binatang lihat gajah, ayah gandeng tangan kananku, dan mama gandeng tangan kiriku. Biar aku nggak diejek lagi karena aku udah punya mama," ucap Atan dengan antusias yang membuat Ify meringis. Ia melirik ke arah Ray yang sudah menutup mulut menahan tawa.

'Jangan ketawa bodoh! Ini lagi sedih, dia nggak punya mama,'

Melalui gerakan mulut tanpa suara, Ify menggertak Ray.

'Kan mamanya lo, duh dapat kakak ipar duda nih nanti'

Satu lemparan bantal membuat Ray ngibrit ke kamarnya sendiri dan suara tawa kemudian pecah menghiasi kamar kos yang kecil ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status