Share

6. Good Luck

Rio benar-benar tak bisa mengalihkan pandang dari sang buah hati yang tengah makan dengan sangat lahap. Selama tiga tahun, Rio tak pernah sekalipun melihat sang anak yang begitu menikmati hidangan di hadapannya. Padahal jika Rio bisa berkomentar, makanan yang kini dimakan sang anak sangatlah sederhana dibanding apa yang mereka makan sehari-hari. Hal lain yang membuat Rio semakin takjub adalah kenyataan jika Atan sebenarnya sangat susah untuk makan sayur dan buah, chef di rumah mereka pun harus memutar otak agar nutrisi Atan tetap terjaga dengan membuat berbagai hidangan sayur yang dimodifikasi. Namun kini di depannya, Atan makan dengan lahap tanpa protes sedikitpun, padahal Ify hanya memasak menu sederhana. Nasi ayam jamur, dengan rebusan brokoli dan wortel. Ify juga memotong satu buah apel sebagai pencuci mulut saat Atan selesai makan.

"Ayah, mau coba masakan mama, nggak?" celetuk Atan yang membuat semua atensi orang dewasa di sana tertuju padanya.

"Atan makan yang banyak dulu aja, ya? Ayah makan nanti saja," jawab Rio dengan senyum lebarnya. Tak pernah ia sebahagia ini melihat Atan makan dengan lahap.

"Tapi ini enak, Yah! Aaaaaa ...." Atan menodongkan sendok dengan tangan kecilnya yang mau tak mau membuat Rio membuka mulut.

Rio mengunyah dengan pelan sambil memejamkan mata. Menikmati rasa istimewa yang tersebar di lidahnya. Rio tak bisa mendeskripsikan bagaimana rasanya, selama ini ia sudah menikmati berbagai hidangan yang lebih lezat masakan para chef terkenal dunia. Namun rasa masakan di lidahnya ini, membuat Rio seolah-olah 'pulang'. Semua rasa lelah yang ia rasakan akibat pekerjaan dan juga ayah tunggal seolah luntur begitu saja. Kini Rio mengerti, kenapa Atan sampai mogok makan.

"Enak kan, Yah?"

Rio mengangguk. "Hmmm, enak! Atan suka banget ya masakan ma-eh tante Ify?" Hampir saja Rio keceplosan ikut menyebut Ify dengan sebutan mama.

Atan mengangguk antusias, lalu tersenyum hingga lesung pipinya terlihat, membuat Ify gemas dan ingin menyimpan Atan dalam sakunya.

"Ify, terima kasih karena sudah membuatkan Atan makan, dan maaf karena lagi-lagi kami merepotkan," ucap Rio setelah keadaan hening beberapa saat. Sungguh, suasana di dalam kamar kos sempit ini sangat canggung. Bahkan, Ray merasa menjadi patung karena tak tahu harus berbuat dan berbicara apa sehingga membuatnya sibuk dengan ponsel meski telinganya siaga.

"Ah, tidak merepotkan, Pak! Saya malah seneng kalau Atan suka masakan saya," jawab Ify dengan senyum tertahan, apalagi saat melihat lesung pipi yang sama seperti milik Atan saat pria dewasa itu tersenyum.

"Masakan kamu enak, tidak heran kalau Atan sampai ketagihan." Pujian secara terang-terangan membuat rona merah mulai menjalar di pipi Ify.

"Oh ya, kamu tidak bekerja? Atau seorang freelancer?" basa-basi Rio yang tak tahu lagi harus berkata apa.

"Tidak, Pak! Saya baru saja keluar dari pekerjaan saya."

"Panggil saya Rio saja, sepertinya usia kita juga tidak terpaut terlalu jauh, lagipula kamu juga bukan karyawan saya, jadi panggil Rio saja biar nyaman."

"Tapi rasanya tidak sopan kalau saya panggil pake nama saja. Kalau Mas Rio gimana?"

Uhuk!

Rio tersedak ludahnya sendiri mendengar panggilan dari Ify. Rasa panas menyebar ke pipinya dengan detakan jantungnya yang menggila. Ini bahaya!

"Mas Rio nggak apa-apa?" tanya Ify panik sambil menyerahkan segelas air putih yang diterima Rio dengan tangan yang sedikit gemetar.

Ray yang sejak tadi menyimak menahan tawa. Ia sengaja duduk membelakangi Ify dan Rio, menghalangi Atan dari dua orang dewasa itu.

"Atan, Atan sayang sama mama nggak?" bisik Rio kepada Atan yang kini sedang memakan apel.

"Sayang," jawab Atan dengan polos.

"Kalau mama menikah dengan ayah? Atan mau nggak?"

"Menikah itu ... apa?"

Waduh! Gawat! Ray memutar otak bagaimana menjelaskan secara sederhana kepada bocah polos di hadapannya ini.

"Emm, nanti Kak Ray jelasin! Sekarang Atan mau jalan-jalan sama Kak Ray dulu nggak?" bujuk Ray saat melihat piring Atan sudah bersih.

"Jalan-jalan?" tanya Atan sedikit ragu. Sepertinya ia masih agak trauma, takut ditinggal seperti dulu.

"Iya jalan-jalan. Nanti kita ke taman, di sana banyak anak-anak yang bermain."

"Tapi Atan jangan ditinggal, ya?"

Ray menggigit bibir menyadari jika Atan memiliki trauma.

"Tidak akan! Nanti Kak Ray akan ikat tangan kita berdua biar nggak kepisah," ucap Ray lalu mengambil pita dan mengikat tangan mereka berdua dengan kuat.

"Nah, kaya gini!"

Atan tertawa, melihat pergelangan tangan kecilnya terikat dengan pita kuning, yang membuatnya tak khawatir jika akan ditinggal.

"Ayo! Kita jalan-jalan," ajak Atan dengan semangat.

"Nah, sekarang ayo ijin sama ayah dan mama."

"Ayah, Mama, Atan jalan-jalan sama Kak Ray dulu, ya?" pamitnya yang membuat Ify sedikit kagok. Ia merasa seperti seorang ibu yang dihadapkan dengan situasi dimana seorang anak meminta ijinnya.

"Hati-hati ya sayang!" Rio yang menjawab lalu melihat ke arah Ray. "Tolong kembali sebelum petang!"

"Pasti!" balas Rio sambil mengacungkan jempol kanannya yang tidak terikat tali.

"Itu apa?" tanya Ify heran saat melihat tangan Ray dan Atan saling terikat.

"Ini biar kita nggak kepisah, iya kan?" Ray menatap Atan yang mengangguk antusias.

"Kata Kak Ray, kalau diikat kaya gini, kita bisa terus sama-sama dan nggak takut kepisah."

Rio tersenyum pedih. Rasa takut sang anak kalau ditinggal lagi membuatnya merasa tak becus sebagai orangtua. Harusnya ia tak mengijinkan Shilla mengajak Atan keluar saat itu. Atau harusnya ia ikut, harusnya ia meminta orang untuk mengawal mereka. Ify bisa melihat tatapan sendu dan penuh rasa bersalah Rio kepada anaknya.

"Ya sudah kita berangkat dulu!" pamit Ray, lalu berjongkok, menyamakan dirinya dengan posisi Ify yang tengah duduk di lantai lalu mendekatkan mulutnya ke telinga sang kakak.

"Good luck ... sama MAS RIO," bisik Ray dengan sedikit tekanan saat mengatakan nama Rio.

Ify melotot, ia sangat ingin menggeplak kepala Ray sekarang, namun ia tahan karena tak mau menunjukkan kekerasan kepada balita lucu di hadapannya. Maka yang bisa ia lakukan hanya menatap Ray tajam dengan penuh ancaman yang sayangnya tak mempan. Adik laknatnya itu justru tertawa penuh kemenangan melihat rona merah di pipi sang kakak.

Sampai Ray dan Atan pergi, Ify rasanya ingin mengubur diri karena rasa malu. Apalagi mengingat idenya memanggil Rio dengan sebutan Mas.

"Lo emang gila, Fy!" rutuk Ify dalam hati.

Rio berdehem untuk mencairkan kecanggungan antara dirinya dan Ify.

"Saya-saya boleh bertanya hal yang pribadi?" tanya Rio dengan hati-hati.

Ify hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Apakah kamu sudah ... menikah?" Kata terakhir diucapkan Rio dengan pelan.

"Belum."

"Syukurlah," bisik Rio.

"Kenapa, Mas?" tanya Ify yang sedikit mendengar Rio bergumam.

"Ah, tidak apa-apa, maaf suasana menjadi canggung seperti ini. Saya tidak tahu harus bersikap seperti apa," ucap Rio dengan jujur.

"Tidak apa-apa, Mas! Maaf juga karena tidak ada tempat yang lebih luas lagi."

"Kalau boleh tahu, kamu dulu kerja di mana?"

"Jade Imperial."

"Chef?"

"Kok Mas tahu?"

"Dengan rasa makanan yang luar biasa, mustahil kamu bekerja di sana sebagai waitress."

Ify memalingkan wajah, padahal ia sudah terbiasa saat masakannya dipuji, tapi entah kenapa saat Rio yang memuji masakannya terasa sangat berbeda.

"Lalu, kenapa kamu berhenti bekerja? Setahu saya Jade Imperial cukup menjanjikan dari segi gaji, apalagi untuk chef terbaik seperti kamu."

Ify terdiam cukup lama dengan tangan yang terkepal. Jika mengingat malam itu, Ify kembali merasakan gejolak amarah yang membuatnya ingin mematahkan tangan si brengsek itu.

"Tidak apa-apa, hanya tidak nyaman," ucap Ify dengan senyum paksa.

Rio yang melihat gelagat aneh dari Ify, memilih untuk memendam kembali pertanyaannya. Ia kemudian mengalihkan pembicaraan ke hal-hal yang sepele yang membuat keduanya terlibat percakapan yang menyenangkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status