Share

Bab 5

MEMBALAS HINAAN SUAMI DAN MERTUA (5)

"Ra, kenalkan ini calon adik madu kamu, namanya Selvi. Selvi, ini Aira, istri mas. Dan itu Dino sama Dini, anak-anak mas. Ayo pada kenalan semua. Cantika, sini Sayang ... kenalin ini anak Om, namanya Dini," ucap Mas Indra padaku dan anak-anak. 

Diraihnya pergelangan tangan anak perempuan kecil yang tadi kulihat jalan bareng bersama calon istri mudanya itu di mall dan saat ini tengah menggelayut manja di sisi tubuh ibunya, lalu didekatkannya pada tangan Dini, menyuruh mereka berkenalan.

Namun, sebelum Dini menyambut uluran tangan anak perempuan yang tadi dipeluk-peluk penuh kasih sayang oleh Mas Indra seperti anak sendiri itu, buru-buru kutarik tangan gadis kecilku itu dan mendekapnya erat.

"Maaf, Mas. Aku dan anak-anak mau ke dalam dulu. Kalian silahkan teruskan acaranya. Aku permisi dulu," ujarku sambil menggandeng tangan Dini dan Dino lalu mengajak mereka berdua masuk ke dalam kamar.

Tak kupedulikan tatapan tidak terima dan tak suka dari Mas Indra karena aku tak mengindahkan perintahnya.

Buru-buru aku beranjak ke dalam kamar sebab hatiku sakit sekali mendengar rencana pernikahan mereka. Namun, meski begitu aku tak peduli lagi. Masa bodoh apa yang akan mereka lakukan di belakangku. Terserah! Mau menikah lagi atau tidak, aku tak peduli lagi. Lebih baik aku pergi dan menata kehidupan baru bersama anak-anak dan pekerjaan baruku daripada tekanan batin tinggal di rumah ini lebih lama lagi.

Sesampainya di kamar, gegas kukeluarkan tas pakaian lalu buru-buru memasukkan pakaian kami bertiga ke dalamnya.

"Lho, Ma. Kita mau ke mana? Kok Mama masukin baju-baju kita ke tas?" tanya Dino sambil memicingkan matanya saat melihatku bergegas mengepak pakaian.

Aku menyusut air muka lalu menjawab tegas.

"Kita harus segera pergi dari rumah ini, Dino. Mama sudah nggak tahan lagi. Maafkan mama. Harusnya kalian tidak perlu menyaksikan hal seperti ini. Tapi mama juga tak kuasa mencegahnya terjadi. Papa hendak menikah lagi dan terus terang mama tak bisa menerima hal itu, Dino ... Dini. Jadi, kita pergi saja dari rumah ini ya. Mama nggak mau kalian sedih karena papa punya istri baru," ujarku dengan perasaan tak enak pada dua buah hatiku itu.

Ya, harusnya sebagai anak yang masih belum paham apa-apa, tak seharusnya mereka diperlihatkan contoh rumah tangga yang buruk dari kedua orang tuanya seperti ini.

Tapi, aku sendiri juga tak berdaya. Aku sudah berusaha semampunya untuk menjaga perasaan mereka agar tak terluka oleh  perbuatan orang tuanya. Tapi tidak demikian halnya dengan Mas Indra sepertinya. Ia tak menganggap penting perasaan anak-anak sehingga dengan entengnya tega membawa calon istri mudanya ke hadapan anak-anak dan memperkenalkannya serta mengatakan kalau mereka hendak menikah. Sungguh tak punya hati dan perasaan.

Dino dan Dini menganggukkan kepalanya. "Iya, Ma..Dino juga udah nggak tahan tinggal di rumah ini sebenernya sejak dulu. Tapi kalau kita pergi dari sini, kita mau tinggal di mana, Ma? Apa mama punya uang untuk biaya kita nanti? Apa Dino kerja aja ya, Ma? Dino bisa ngamen di jalanan, bisa nyemir sepatu orang. Yang penting mama nggak kesusahan," jawab Dino sambil menatapku sendu.

Aku tersenyum demi mendengar perkataan sulungku itu. Betapa di usianya yang masih belum genap sebelas tahun, ia sudah amat peduli pada orang tuanya. Sebagai ibunya, aku merasa sangat terharu sekaligus bersyukur.

"Bener, Ma. Dini juga bisa bantu Bang Dino. Pokoknya kita mau bantuin mama supaya mama nggak kesusahan," timpal Dini pula.

Aku menggelengkan kepala sembari menyusut bulir yang menitik dari sudut mata karena rasa haru.

"Kalian nggak usah pikirin, kita mau tinggal di mana, dan mau makan apa setelah meninggalkan rumah ini karena itu tugas mama sebagai orang tua kalian yang harus memikirkannya. Insyaallah, Allah sudah memberi pekerjaan yang lumayan bagus buat mama yang bisa mama kerjakan dari rumah tanpa perlu meninggalkan kalian sendirian. Jadi, mama masih bisa menjaga dan mengurus kalian tanpa perlu kerepotan. Kalian juga jangan khawatir ya, insyaallah kita masih bisa punya tempat tinggal dan bisa makan, jadi sekarang ayo kita siap-siap. Kita pamit sama nenek dan papa, kalau kita mau pergi dari rumah ini dan tinggal sendiri. Oke?" sahutku menenangkan dua bocah penyemangat hidupku itu.

Mendengar perkataanku, kedua bocah kecil di depanku tersenyum ceria.

"Bener Ma, Mama sudah punya pekerjaan? Kerja apa sih, Ma? Kok enak sekali bisa dikerjakan dari rumah sambil mama tetap bisa jagain kita? Wah, Dino seneng banget mendengarnya. Nanti Dino bantuin kerja ya Ma? Oh ya, ayo Din, kita bantu mama siap-siap biar bisa segera pergi dari rumah ini," ujar Dino pada adiknya.

Dini mengangguk, lalu keduanya pun segera membantuku berkemas-kemas. Tak lama semua keperluan seperti baju dan sepatu pun telah selesai kami kemas dalam dua buah tas pakaian besar. Untung tas pakaian itu memiliki roda sehingga aku tak akan kesulitan membawanya nanti. Aku bisa menyeretnya supaya tak kehilangan tenaga.

Usai bersiap, aku pun menghubungi armada online dan meminta driver menunggu di gerbang depan. Ya, aku telah siap sekarang meninggalkan rumah mertua yang penuh kepahitan dan sumpah serapah ini untuk menjemput masa depan yang lebih baik dan lebih menenangkan. Semoga.

Dengan menggeret tas besar itu, aku, Dino dan Dini pun keluar dari kamar, menuju ruang tamu di mana Mas Indra dan Selvi serta mama mertua sedang mengobrol seru membicarakan soal dunia usaha yang sedang digeluti oleh calon menantu baru beliau itu.

Terlihat mama mertua begitu bersemangat menanyakan omzet yang diraih oleh Selvi setiap bulannya dari bisnisnya. Dari ekspresi wajahnya nampak sekali mama mertua sangat berharap calon menantunya itu bisa mengangkat derajat hidupnya kelak. Hmm, mama mertua memang tak pernah berubah. Uang dan uang saja yang ada dalam pikirannya. Tak salah memang kalau aku memutuskan pergi dari rumah ini secepatnya.

"Mama , Mas Indra ... aku permisi mau pergi dari rumah ini bersama anak-anak. Mas Indra sudah mau menikah lagi, jadi aku rasa, nggak ada tempat lagi buatku di rumah ini. Tolong jangan halangi aku atau mencari aku karena aku nggak akan pernah kembali lagi. Ayo, Dino ... Dini, kita pergi," ujarku memecah keseruan pembicaraan tiga manusia di depanku itu.

Mendengar perkataanku, mama mertua menoleh kaget, demikian juga dengan Mas Indra.

Namun, beda dengan Mas Indra yang mengernyitkan keningnya dengan ekspresi tak rela, Mama mertua justru tersenyum senang melihatku muncul dengan tas pakaian di tangan.

"Kamu mau ke mana? Minggat dari sini? Baguslah kalau begitu, Ra. Sudah lama mama suruh kalian pergi dari sini, tapi baru sekarang pula kamu lakukan. Tapi nggak papalah, setidaknya habis ini mama nggak perlu lagi pusing lihat muka kamu dan anak-anak kamu di rumah ini. Sana pergi! Mama nggak akan mencegah atau melarang kamu pergi apalagi mau mencari kalian lagi. Jangan mimpi! Jadi pergi aja sana! Mama justru bersyukur kalau kalian nggak ada lagi di rumah ini. Jadi, lebih cepat kalian pergi, lebih baik! Udah, sana! Pergi! Nggak usah balik lagi!" Sahut mama mertua sambil memandangku sinis dan memberi gerakan mengusir dengan kepalanya.

Melihat itu aku menggenggam erat tas dengan buku jari mengepal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status