POV SafaMobil yang kami tumpangi sampai di kampung halamanku memasuki waktu Dhuha. Malam itu, saat Mas Abi membujuk untuk memiliki anak lagi aku membuat permintaan padanya. Aku menginginkan untuk pulang ke kampung halamanku terlebih dahulu, dan mengunjungi makam kedua orang tuaku. Aku merindukan kedua bapak dan ibu, setidaknya dengan mengunjungi makam keduanya rasa rindu itu akan terobati. Selain itu aku juga akan melakukan sesuatu di kampungku.Kami hanya pergi bertiga saja, aku, Mas Abi dan juga Albi, Qia tidak ikut karena dia masuk sekolah. Sedangkan Mas Abi sendiri izin dari tempatnya bekerja dan sudah menyerahkan segala urusan pada wakilnya. Tempat yang kami tuju adalah rumah masa kecilku, meskipun kedua orang tuaku sudah meninggal tapi rumah itu tidak dijual. Aku menitipkan rumah tersebut kepada tetanggaku untuk menjaga dan merawatnya, sebagai balasan aku memberinya sedikit uang tanda terima kasih setiap bulan."Sudah sampai mbak?" sapa Bude Aminah. Beliau adalah orang yang
" Mas, Bagaimana dulu kamu bisa ketemuin orang-orang yang merampok bajuku?""Ada seseorang yang membantuku mencari tahu siapa mereka. Orang kepercayaanku.""Apa itu semacam detektif atau apa gitu.""Yaa semacam itulah. Kenapa kamu bertanya soal itu?""Aku ingin menggunakan jasanya juga. Boleh?""Untuk apa?" Mas Abi bertanya dengan penasaran. "Ini urusan pekerjaanku ada hal yang harus aku lakukan. Boleh tidak kali ini kamu tidak perlu tahu tentang itu.""Kenapa harus ada rahasia diantara kita.""Bukan rahasia, mas. Hanya saja aku tidak ingin kali ini merepotkan dirimu.""Aku tidak merasa direpotkan, kamu kan sudah menjadi istriku.""Ayolah Mas, kali ini saja biarkan aku menyelesaikan urusanku sendiri,"!ucapku memohon dan meyakinkan suamiku.Akhirnya Mas Abi membiarkan diriku melakukan apa yang aku inginkan sendirian. Suamiku itu hanya membuat janji bertemu dengan orang kepercayaannya yang dulu membantunya menemukan dalang dibalik perampokanku kala itu. ***"Semua yang Ibu butuhkan ad
"Bagaimana rasanya dipermainkan dan dimanfaatkan oleh orang lain, Dania?" Aku bertanya dengan pandangan menerawang ke depan, ke arah air dan danau yang tampak tenang. Tadi aku berkunjung ke rumahnya, setelah kemarin mendapatkan izin dari Mas Abi. Kedatanganku tentu saja disambut dengan tidak baik oleh ibu dari Dania. Hubungan antara kami memang tidak terlalu baik sejak putrinya mengambil suamiku. Wanita yang berambisi itulah yang punya andil besar dalam perbuatan yang dilakukan oleh putrinya. Bahkan kebenciannya padaku semakin dalam saat mengetahui jika menantunya, yaitu Mas Galih terpuruk dan kehilangan harta bendanya. Dia menganggap bahwa hal itu terjadi karena diriku. Ya, seperti yang disangkakan oleh Dania padaku."Kamu datang menemaniku hanya untuk mengejekku, Mbak? menertawakan atas apa yang terjadi padaku, lagian dari mana kamu mengetahui semuanya itu.""Kamu boleh berpikir seperti itu, kau ingat perkataanmu dulu, saat kita sedang berada di cafe. Kala itu, aku memintamu untuk
Setelah masuk ke dalam mobil, aku menjalankannya dengan perlahan. Lalu berhenti dengan jarak cukup jauh dari tempat Dania berada. Dari tempat ini aku bisa mengawasi wanita tersebut, tanpa disadari olehnya. Bagiamana pun juga aku tidak ingin terjadi apa-apa padanya. Itu aku lakukan untuk diriku sendiri juga untuk dirinya. Lama berselang, datang adik Dania dengan motor untuk menjemputnya. Aku menarik nafas lega, wanita itu masih takut mati juga rupanya. Baguslah, aku harap setelah ini dia bisa berubah. Setelah kepergian Dania bersama dengan adiknya, aku menjalankan kendaraanku untuk pulang ke rumah. Aku sudah cukup lama keluar, takut Mas Abi akan mengkhawatirkan diriku. Sesampainya di halaman rumah, aku langsung masuk setelah mengucapkan salam. Rumah tampak sepi, apakah Albi dan papanya masih bermain di luar rumah seperti biasanya. Beberapa hari di sini, keduanya lebih suka bermain di luar rumah. Melihat hewan ternak yang berkeliaran seperti ayam dan unggas lainnya, atau hewan yang a
"Kamu marah dan kecewa padaku, Mas?" Aku bertanya sambil menatap dalam-dalam ke arah suamiku."Untuk apa aku marah dan kecewa padamu?" Mas Abi balik bertanya."Ya, karena aku bukan seperti wanita yang kamu bayangkan. Aku bermuka dua, Mas. Diam-diam di belakangmu aku melakukan sesuatu yang mungkin tidak kamu suka. Aku tidak bisa memaafkan dan melupakan seperti yang kamu nasihatkan dulu.""Mas tidak berhak marah dan kecewa padamu, aku tidak tahu sedalam apa luka yang kau derita hingga bisa menghakimi dirimu. Mungkin saja, ini adalah healing yang kamu butuhkan hingga bisa melupakan semuanya dikemudian hari. Jika mau, aku bisa mencegahmu melakukannya sejak dahulu.""Apa maksudmu Mas?" Aku bertanya dengan penasaran. Mas Abi bisa mencegahku jika mau, apa sebenarnya dia tahu sejak awal? "Aku tahu semua yang kamu lakukan sejak awal, tapi aku membiarkannya."Ucapan Mas Abi tentu saja membuatku kaget, ternyata suamiku itu tahu apa yang aku lakukan selama ini. "Darimana dan bagaimana bisa kam
POV Dania Sebulan setelah pertemuanku dengan Mbak Safa di rumah orang tuanya, aku memutuskan untuk pergi ke kota. Diam-diam melihat bayi itu adalah keinginanku. Meskipun sadar, jika dia memang bukan darah dagingku tapi anak itu pernah menjadi bagian dari tubuhku untuk beberapa waktu. Aku harap, aku bisa menemuinya. Selain itu aku juga ingin betemu dengan mantan suami pertamaku, Mas Galih dan istrinya. Aku ingin meminta maaf pada mereka secara langsung. Kesalahan pada manusia, hanyalah meminta maaf kepada yang bersangkutan langsung solusinya. Setelah ini, aku harap kehidupanku akan jauh lebih baik dan terlepas dari segala derita. Hampir saja aku mengalami depresi dengan peristiwa yang menimpaku itu. Perubahan kehidupan yang begitu drastis saat itu sangat membuatku terpukul, sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan terjadi begitu saja dalam hidupku. Aku seperti terhempas ke dasar jurang yang begitu dalam. Kedatangan Mbak Safa yang sepertinya mengejekku malah membuatku ingin berubah d
POV BrataHari ini aku harus kembali pulang setelah beberapa saat sampai di kantor karena ada sesuatu yang tertinggal di rumah. Aku tidak bisa menyuruh seseorang mengambilnya karena berkas itu aku simpan di dalam brankas. Mau tak mau, dengan terpaksa akhirnya aku harus pulang juga. Saat sampai di rumah, hal mengejutkan aku temui. Mantan istri ke-duaku, Dania, ada di rumah kami. Dia bersama asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja pada Sofi berada di depan pintu kamar puteraku, Bintang. Setelah beberapa bulan dia tidak menampakkan diri, sekarang dengan berani datang ke sini. Untuk apa lagi kalau bukan karena ingin bertemu dengan Bintang. Aku pikir dia sudah menyerah untuk bertemu dengan bayi kami, ternyata wanita itu masih nekat juga. Dania, untuk apa kamu ada di rumah ini lagi!" Aku berteriak saat wanita itu hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Teriakanku tentu saja membuat terkejut kedua wanita tersebut. Aku yakin mereka tidak menduga jika aku akan pulang pada ja
Hanya terdengar suara denting sendok beradu dengan piring saat kami sarapan bersama pagi ini. Qia tidak pergi ke sekolah, begitu juga papanya karena weekend jadi kami akan menghabiskan waktu untuk bersantai bersama selepas sarapan. Sebelum berniat menambah momongan, aku meminta mas Abi untuk berdiskusi dengan Qia terlebih dahulu. Memberitahu pada gadis kecil itu, atau setidaknya bertanya apakah dia ingin adik bayi lagi. Apa tidak keberatan jika memiliki adik bayi lagi, aku tidak ingin anak sambungku itu akan merasa tidak diperhatikan seperti dulu lagi. Selesai sarapan, kami semua pergi ke ruang keluarga. Kubawa serta buah-buahan agar bisa menjadi camilan buat kami sambil bercanda di sana nanti. Qia, Albi, dan papanya sudah pergi ke sana terlebih dahulu. Begitu aku sampai di sana, tampak gadis kecilku dan putraku bermain bersama. Qia begitu menyayangi adik lelakinya itu. Setelah kelahiran adiknya, anak sambungku itu tidak pernah menunjukkan rasa iri atau merasa tidak disayangi seper