Share

Bab2—Perhatian Dilan.

Happy reading! Semoga suka😚

***

Sanaya terhenyak ketika Dilan meraih tangannya, lalu membawanya masuk ke ruangan. Pandangan perempuan itu tertuju pada tangan Dilan yang menggenggam erat tangannya. Laki-laki itu menuntunnya perlahan dan hati-hati.

Ah, seandainya Leo bisa bersikap lembut seperti Dilan, mungkin dirinya akan mudah jatuh cinta kepada lelaki brengsek itu. Sayangnya, Leo dan Dilan memiliki perbedaan bak langit dan bumi. Dilan ibarat malaikat penjaganya, sementara Leo ibarat malaikat pencabut nyawanya.

‘Hfuuh ....’ Sanaya membuang kasar napasnya, seraya meringis menahan nyeri yang berasal dari sudut bibirnya yang sedikit robek.

“Duduk sini, Mbak. Aku ambilin kotak obat dulu,” ucap Dilan, lalu mendudukkan Sanaya di sofa panjang yang berada di sudut ruangan tersebut.

Sanaya terduduk sambil memandangi punggung lebar Dilan yang terbalut kemeja hitam. Diam-diam, diperhatikannya sikap pemuda itu yang begitu perhatian padanya. Dia lantas berpikir, entah akan seperti apa jadinya bila tadi Dilan tidak datang menolongnya?

Semua ini tidak akan terjadi andai saja dia tidak memaksa Leo untuk ikut menjenguk ayah ke rumah. Tunangannya itu paling tidak suka diatur apalagi diperintah. Padahal, Sanaya hanya mau menuruti perintah sang ayah yang memintanya untuk datang bersama Leo.

“Mbak. Sini. Aku obatin itu.”

Suara Dilan mengagetkan Sanaya yang sedang melamun. Dia lantas menoleh ke samping, menurunkan pandangan ke tangan Dilan yang sudah memegang kapas.

“I-iya.” Sanaya tergagap, canggung, sekaligus merasa aneh. Padahal, tak sekali dua kali Dilan membantunya seperti ini. Entah mengapa, rasanya jauh berbeda dari yang sudah-sudah.

“Auw,” pekiknya kala cairan antiseptik menyentuh permukaan kulitnya yang terluka.

“Aduh, Mbak. Tahan bentar, ya, Mbak. Ini emang agak sedikit perih.” Dengan telaten, Dilan membersihkan noda darah yang mengering di sudut bibir Sanaya. Dia meniupnya supaya tidak terlalu terasa perih.

Embusan napas hangat dari Dilan menerpa permukaan kulit wajah Sanaya, yang mungkin saat ini memerah lantaran menahan hawa panas. Sekujur tubuhnya menegang dan meremang, bahkan secara tidak sadar, Sanaya meremas pergelangan tangan Dilan.

“Ssshh ....” Ringisan kecil keluar dari mulut Sanaya.

“Kenapa jadi begini, sih, Mbak? Kenapa tunangan Mbak, si Leo itu terus bersikap kasar dan seenaknya sama Mbak? Sekali-kali, Mbak itu melawan atau apa, kek! Biar Leo enggak ngelunjak dan makin menindas Mbak.” Dilan menggerutu kesal, menyayangkan sikap Sanaya yang terlalu lemah.

Lalu, dia pun berpikir apa Sanaya akan selamanya harus mengalami ini saat sudah menikah dengan Leo? Ck!

“Saya bisa apa, Dilan? Saya enggak ada kuasa buat ngelawan dia. Kamu ‘kan tahu sendiri gimana sifatnya dia. Leo begitu karena dia merasa dirinya yang mengendalikan semuanya. Saya dan Ayah berhutang budi sama orang tuanya. Jadi, saya Cuma bisa menurut dan mengiyakan kemauannya,” ungkap Sanaya apa adanya.

Memang seperti inilah kehidupan yang harus dia jalani sekarang ini. Tunduk dengan segala perintah dari Leo dan keegoisan lelaki itu.

Decakan nyaring lolos dari bibir Dilan, seraya menggeleng heran. Kok, ada ya perempuan sejenis ini di muka bumi? Udah lemah, terus terlalu penurut pula. Hadeeuuuh...

“Mbak, tapi ‘kan Mbak bisa berontak. Mbak juga bisa nolak. Mbak punya hak untuk melawan Leo karena kalian belum resmi jadi suami istri,” ujar Dilan yang mengeluarkan pendapatnya. Dia mau perempuan ini sadar dan bisa berubah. Tidak lagi diam dan hanya pasrah pada keadaan.

Sanaya tersenyum miris, lantas menanggapi, “Berontak? Berontak cuma akan memperburuk keadaan, Dilan. Tanggung jawab saya banyak. Ada puluhan karyawan yang akan saya pertaruhkan kalo restoran ini sampai bangkrut, termasuk kamu.”

Sampai di sini, Dilan cukup paham apa yang menjadikan Sanaya lemah. Sungguh, betapa besarnya rasa kasih sayangnya kepada Tuan Wili, hingga dia rela diperlakukan demikian buruk oleh Leo. Dan, jangan lupakan pengorbanannya untuk masa depan para pekerja di Restoran ini.

“Mbak, mungkin saya bisa ngerti itu semua. Tapi, rasanya enggak adil aja, kalo Mbak Sanaya harus membayar balas budi dengan menghancurkan masa depan Mbak sendiri,” kata Dilan setelah terdiam dan berpikir cukup lama. Pendapatnya masih sama, apa pun alasan Sanaya, semua ini tidaklah bisa dibenarkan.

Sanaya hanya mengulas senyum, Dilan adalah sosok yang selama ini berada di sampingnya. Hampir tiga bulan dia bekerja sama dengan pemuda itu, tak pernah sedikit pun Dilan berbuat kesalahan. Dilan menjaga amanahnya dengan baik kepada ayah.

“Iya, makasih udah selalu ngingetin saya. Tapi, saya minta kamu jangan ngadu sama Ayah, kalo Leo selalu kasarin saya,” pinta Sanaya dengan raut wajah memohon. Dia yakin jika Dilan tidak akan pernah mengadu kepada ayah, lantaran tahu kondisi ayah yang sedang kurang sehat.

“Ck! Aku mana tega, Mbak. Om Wili lagi enggak sehat. Kasian aja kalo sampe tahu calon mantunya kayak iblis kelakuannya,” sahut Dilan, lalu mendengus seraya membuang kapas bekas ke tong sampah yang ada di kolong meja kerja Sanaya.

Mendengar itu, Sanaya bisa bernapas lega. Dugaannya benar ‘kan? Dilan tidak mungkin mengadu kepada ayah. Ucapan Dilan terkadang memang agak sedikit kasar. Namun, Sanaya bisa memaklumi itu semua karena di balik perkataannya yang mungkin terkadang tidak terkontrol, ada sifat baik dalam diri pemuda ini.

Perhatiannya, dan sikapnya yang gentleman sedikit menarik perhatian Sanaya sejak pertama kali bertemu dengan Dilan. Dia ingat sekali ketika pertama kali ayah mengenalkannya pada sosok ceria satu ini.

“Dilan, makasih, ya. Karena kamu selalu belain saya dan ngenjaga saya. Berkat kamu, Leo tadi langsung pergi,” ujar Sanaya dengan tulus. Kini perempuan itu secara sadar memegang tangan Dilan.

Hati Dilan berdesir hangat kala telapak tangan Sanaya menyentuh tangannya. Apakah dia mulai terbawa perasaan? Ck!

‘Sadar Dilan, sadar! Sanaya itu atasan kamu.’ Dilan membatin, mencoba mengingatkan dirinya sendiri agar menjaga batasannya.

Namun, seringnya dia melihat Sanaya bersedih, nalurinya sebagai seorang laki-laki yang ingin melindungi terus mendominasi hingga tak sadar menimbulkan getaran di dadanya. Apalagi saat melihat senyuman yang terukir di bibir Sanaya. Kecantikan perempuan itu memang tak bisa dipungkiri lagi.

Kulitnya yang putih, hidungnya yang mancung, bibirnya yang tipis, matanya yang teduh, senyumnya yang khas. Dilan mau Sanaya tetap tersenyum seperti ini. Ceria dan menjadi dirinya sendiri.

“Sama-sama, Mbak. Ini udah jadi tanggung jawab aku ke Om Wili. Mbak Sanaya enggak usah khawatir, aku akan terus ngelindungin Mbak. Karena cewek secantik Mbak sayang buat disia-siain, apalagi disakitin. Cuma cowok bego aja yang ngelakuin itu, ck!” Dilan berdecak kencang, lantas mendapat teguran dari Sanaya.

“Hus! Kamu jangan sering-sering ngomong kasar, Dilan. Enggak baik,” ucap Sanaya sembari mengusap lengan Dilan, bermaksud untuk mengingatkan saja.

“Maaf, Mbak. Aku bawaannya emosi kalo inget tunangan Mbak yang brengsek itu,” sergah Dilan sambil menggaruk tengkuknya. Dia meringis konyol.

Sanaya hanya dapat menggelengkan kepala, seraya melipat bibir. Terkadang, sisi lain dari seorang Dilan membuat hatinya merasa nyaman dan tenang, tetapi ketika sifat aslinya muncul, Sanaya tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.

“Mbak, aku keluar dulu. Mbak Sanaya di sini aja. Entar, aku suruh Dina nganterin makan siang ke sini,” ucap Dilan yang kemudian beranjak dari duduknya.

“Istirahat aja, Mbak. Restoran biar aku yang urus,” ucapnya lagi, lalu keluar dari ruangan Sanaya setelah mendapat izin.

Sanaya mengulas senyum seraya menatap punggung lebar Dilan yang menghilang di balik pintu. Tanpa sadar, wajahnya yang putih kini bersemu merah lantaran mengingat semua perlakuan Dilan yang sangat manis kepadanya barusan.

###

bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status