Happy reading! Semoga suka😚
***
Sanaya terhenyak ketika Dilan meraih tangannya, lalu membawanya masuk ke ruangan. Pandangan perempuan itu tertuju pada tangan Dilan yang menggenggam erat tangannya. Laki-laki itu menuntunnya perlahan dan hati-hati.
Ah, seandainya Leo bisa bersikap lembut seperti Dilan, mungkin dirinya akan mudah jatuh cinta kepada lelaki brengsek itu. Sayangnya, Leo dan Dilan memiliki perbedaan bak langit dan bumi. Dilan ibarat malaikat penjaganya, sementara Leo ibarat malaikat pencabut nyawanya.
‘Hfuuh ....’ Sanaya membuang kasar napasnya, seraya meringis menahan nyeri yang berasal dari sudut bibirnya yang sedikit robek.
“Duduk sini, Mbak. Aku ambilin kotak obat dulu,” ucap Dilan, lalu mendudukkan Sanaya di sofa panjang yang berada di sudut ruangan tersebut.
Sanaya terduduk sambil memandangi punggung lebar Dilan yang terbalut kemeja hitam. Diam-diam, diperhatikannya sikap pemuda itu yang begitu perhatian padanya. Dia lantas berpikir, entah akan seperti apa jadinya bila tadi Dilan tidak datang menolongnya?
Semua ini tidak akan terjadi andai saja dia tidak memaksa Leo untuk ikut menjenguk ayah ke rumah. Tunangannya itu paling tidak suka diatur apalagi diperintah. Padahal, Sanaya hanya mau menuruti perintah sang ayah yang memintanya untuk datang bersama Leo.
“Mbak. Sini. Aku obatin itu.”
Suara Dilan mengagetkan Sanaya yang sedang melamun. Dia lantas menoleh ke samping, menurunkan pandangan ke tangan Dilan yang sudah memegang kapas.
“I-iya.” Sanaya tergagap, canggung, sekaligus merasa aneh. Padahal, tak sekali dua kali Dilan membantunya seperti ini. Entah mengapa, rasanya jauh berbeda dari yang sudah-sudah.
“Auw,” pekiknya kala cairan antiseptik menyentuh permukaan kulitnya yang terluka.
“Aduh, Mbak. Tahan bentar, ya, Mbak. Ini emang agak sedikit perih.” Dengan telaten, Dilan membersihkan noda darah yang mengering di sudut bibir Sanaya. Dia meniupnya supaya tidak terlalu terasa perih.
Embusan napas hangat dari Dilan menerpa permukaan kulit wajah Sanaya, yang mungkin saat ini memerah lantaran menahan hawa panas. Sekujur tubuhnya menegang dan meremang, bahkan secara tidak sadar, Sanaya meremas pergelangan tangan Dilan.
“Ssshh ....” Ringisan kecil keluar dari mulut Sanaya.
“Kenapa jadi begini, sih, Mbak? Kenapa tunangan Mbak, si Leo itu terus bersikap kasar dan seenaknya sama Mbak? Sekali-kali, Mbak itu melawan atau apa, kek! Biar Leo enggak ngelunjak dan makin menindas Mbak.” Dilan menggerutu kesal, menyayangkan sikap Sanaya yang terlalu lemah.
Lalu, dia pun berpikir apa Sanaya akan selamanya harus mengalami ini saat sudah menikah dengan Leo? Ck!
“Saya bisa apa, Dilan? Saya enggak ada kuasa buat ngelawan dia. Kamu ‘kan tahu sendiri gimana sifatnya dia. Leo begitu karena dia merasa dirinya yang mengendalikan semuanya. Saya dan Ayah berhutang budi sama orang tuanya. Jadi, saya Cuma bisa menurut dan mengiyakan kemauannya,” ungkap Sanaya apa adanya.
Memang seperti inilah kehidupan yang harus dia jalani sekarang ini. Tunduk dengan segala perintah dari Leo dan keegoisan lelaki itu.
Decakan nyaring lolos dari bibir Dilan, seraya menggeleng heran. Kok, ada ya perempuan sejenis ini di muka bumi? Udah lemah, terus terlalu penurut pula. Hadeeuuuh...
“Mbak, tapi ‘kan Mbak bisa berontak. Mbak juga bisa nolak. Mbak punya hak untuk melawan Leo karena kalian belum resmi jadi suami istri,” ujar Dilan yang mengeluarkan pendapatnya. Dia mau perempuan ini sadar dan bisa berubah. Tidak lagi diam dan hanya pasrah pada keadaan.
Sanaya tersenyum miris, lantas menanggapi, “Berontak? Berontak cuma akan memperburuk keadaan, Dilan. Tanggung jawab saya banyak. Ada puluhan karyawan yang akan saya pertaruhkan kalo restoran ini sampai bangkrut, termasuk kamu.”
Sampai di sini, Dilan cukup paham apa yang menjadikan Sanaya lemah. Sungguh, betapa besarnya rasa kasih sayangnya kepada Tuan Wili, hingga dia rela diperlakukan demikian buruk oleh Leo. Dan, jangan lupakan pengorbanannya untuk masa depan para pekerja di Restoran ini.
“Mbak, mungkin saya bisa ngerti itu semua. Tapi, rasanya enggak adil aja, kalo Mbak Sanaya harus membayar balas budi dengan menghancurkan masa depan Mbak sendiri,” kata Dilan setelah terdiam dan berpikir cukup lama. Pendapatnya masih sama, apa pun alasan Sanaya, semua ini tidaklah bisa dibenarkan.
Sanaya hanya mengulas senyum, Dilan adalah sosok yang selama ini berada di sampingnya. Hampir tiga bulan dia bekerja sama dengan pemuda itu, tak pernah sedikit pun Dilan berbuat kesalahan. Dilan menjaga amanahnya dengan baik kepada ayah.
“Iya, makasih udah selalu ngingetin saya. Tapi, saya minta kamu jangan ngadu sama Ayah, kalo Leo selalu kasarin saya,” pinta Sanaya dengan raut wajah memohon. Dia yakin jika Dilan tidak akan pernah mengadu kepada ayah, lantaran tahu kondisi ayah yang sedang kurang sehat.
“Ck! Aku mana tega, Mbak. Om Wili lagi enggak sehat. Kasian aja kalo sampe tahu calon mantunya kayak iblis kelakuannya,” sahut Dilan, lalu mendengus seraya membuang kapas bekas ke tong sampah yang ada di kolong meja kerja Sanaya.
Mendengar itu, Sanaya bisa bernapas lega. Dugaannya benar ‘kan? Dilan tidak mungkin mengadu kepada ayah. Ucapan Dilan terkadang memang agak sedikit kasar. Namun, Sanaya bisa memaklumi itu semua karena di balik perkataannya yang mungkin terkadang tidak terkontrol, ada sifat baik dalam diri pemuda ini.
Perhatiannya, dan sikapnya yang gentleman sedikit menarik perhatian Sanaya sejak pertama kali bertemu dengan Dilan. Dia ingat sekali ketika pertama kali ayah mengenalkannya pada sosok ceria satu ini.
“Dilan, makasih, ya. Karena kamu selalu belain saya dan ngenjaga saya. Berkat kamu, Leo tadi langsung pergi,” ujar Sanaya dengan tulus. Kini perempuan itu secara sadar memegang tangan Dilan.
Hati Dilan berdesir hangat kala telapak tangan Sanaya menyentuh tangannya. Apakah dia mulai terbawa perasaan? Ck!
‘Sadar Dilan, sadar! Sanaya itu atasan kamu.’ Dilan membatin, mencoba mengingatkan dirinya sendiri agar menjaga batasannya.
Namun, seringnya dia melihat Sanaya bersedih, nalurinya sebagai seorang laki-laki yang ingin melindungi terus mendominasi hingga tak sadar menimbulkan getaran di dadanya. Apalagi saat melihat senyuman yang terukir di bibir Sanaya. Kecantikan perempuan itu memang tak bisa dipungkiri lagi.
Kulitnya yang putih, hidungnya yang mancung, bibirnya yang tipis, matanya yang teduh, senyumnya yang khas. Dilan mau Sanaya tetap tersenyum seperti ini. Ceria dan menjadi dirinya sendiri.
“Sama-sama, Mbak. Ini udah jadi tanggung jawab aku ke Om Wili. Mbak Sanaya enggak usah khawatir, aku akan terus ngelindungin Mbak. Karena cewek secantik Mbak sayang buat disia-siain, apalagi disakitin. Cuma cowok bego aja yang ngelakuin itu, ck!” Dilan berdecak kencang, lantas mendapat teguran dari Sanaya.
“Hus! Kamu jangan sering-sering ngomong kasar, Dilan. Enggak baik,” ucap Sanaya sembari mengusap lengan Dilan, bermaksud untuk mengingatkan saja.
“Maaf, Mbak. Aku bawaannya emosi kalo inget tunangan Mbak yang brengsek itu,” sergah Dilan sambil menggaruk tengkuknya. Dia meringis konyol.
Sanaya hanya dapat menggelengkan kepala, seraya melipat bibir. Terkadang, sisi lain dari seorang Dilan membuat hatinya merasa nyaman dan tenang, tetapi ketika sifat aslinya muncul, Sanaya tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.
“Mbak, aku keluar dulu. Mbak Sanaya di sini aja. Entar, aku suruh Dina nganterin makan siang ke sini,” ucap Dilan yang kemudian beranjak dari duduknya.
“Istirahat aja, Mbak. Restoran biar aku yang urus,” ucapnya lagi, lalu keluar dari ruangan Sanaya setelah mendapat izin.
Sanaya mengulas senyum seraya menatap punggung lebar Dilan yang menghilang di balik pintu. Tanpa sadar, wajahnya yang putih kini bersemu merah lantaran mengingat semua perlakuan Dilan yang sangat manis kepadanya barusan.
###
bersambung...
Waktu bergulir sangat cepat. Tak terasa malam telah menjelang. Sanaya yang menuruti perkataan Dilan untuk tetap berada di ruangannya, lama-kelamaan pun mulai merasa bosan. Lagi pula, jam kerja juga sudah lewat, dan ini waktunya dia pulang.“Mending aku pulang aja, deh. Udah jam tujuh ternyata.” Sanaya lantas beranjak dari kursi, lalu mengambil tas yang ada di meja kerjanya.Namun, sebelum itu dia ingin mencari Dilan terlebih dulu. Sanaya tidak mau pemuda itu merasa khawatir saat tidak menemukannya di sini. Oleh karena itu, lebih baik dia memutuskan untuk berpamitan.Begitu keluar dari ruangan, tempat pertama yang dituju adalah ruangan Dilan yang berada tak jauh dari ruangannya. Akan tetapi, saat Sanaya membuka pintunya, sosok yang dicari tidak sedang berada di tempat.“Mungkin Dilan lagi di depan?” Sanaya bergumam setelah menutup pintu itu lagi. Dia berbalik, hendak mencari Dilan yang biasanya pada jam segini berada di meja kasir. Sanaya lupa, jika Dilan selalu berada di sana pada jam
Dengan langkah pelan, Dilan dan Sanaya berjalan bersisian menuju ke dalam. Tepat, di saat itu pula, hujan di luar sana semakin deras. Suara petir bahkan terdengar menggelegak bersahut-sahutan.“Tuh ‘kan, saya bilang apa. Hujannya pasti tambah deres,” ucap Sanaya, yang menoleh sekilas ke Dilan. Mereka hampir tiba menuju lorong gedung tersebut, melewati beberapa orang yang keluar masuk.“Iya, Mbak. Aku pikir tadi cuma bentar. Eh, tahunya malah deres. Mana enggak bawa jas hujan lagi.” Dilan membalas perkataan Sanaya sambil terkekeh, menggaruk tengkuknya guna menutupi rasa canggung yang ada. Dia dan Sanaya kini berada di dalam lift hanya berdua.“Kamu juga, harusnya sedia jas hujan, Dilan. Kita ‘kan enggak pernah tahu kapan hujan turun? Ya ... kaya sekarang ini,” timpal Sanaya, lagi-lagi mengingatkan pemuda yang berdiri di sampingnya.Dilan melempar senyum konyol. “Hehe ... iya, Mbak. Suka enggak kepikiran.”Sanaya menanggapinya dengan gelengan kepala. Bisa-bisanya Dilan tidak memikirkan
"Mbak Sanaya baik-baik aja 'kan? Atau... Mbak Sanaya sakit?" tanya Dilan pada Sanaya yang masih berada di pelukannya. Sementara Sanaya terhenyak dan mengerjap lambat.Beruntung pemuda itu berinisiatif untuk menyusul Sanaya ke dapur, karena tak sengaja mendengar percakapan. Andai saja dia telat sedikit, pasti Sanaya akan terjatuh di lantai."Kepala saya sakit, Dilan. Saya pusing." Sanaya menjawab lemah, bahkan memilih menaruh kepalanya di dada Dilan dan memejamkan mata.Lalu Sanaya kembali bersuara, "Dilan....""Iya, Mbak.""Boleh saya minta sesuatu?""Apa, Mbak? Mbak Sanaya mau aku ambilin obat atau mau aku anter ke rumah sakit?" Dilan yang merasa khawatir memberondong begitu banyak pertanyaan pada Sanaya yang cuma terkekeh."Bukan, Dilan. Bukan itu," sahut Sanaya yang kembali sendu."Terus apa dong, Mbak?""Tetaplah seperti ini untuk sementara waktu, Dilan. Saya ... merasa tenang berada di pelukan kamu. Saya butuh sandaran malam ini. Saya benar-benar enggak tahu lagi mesti gimana, La
Ini enggak bener, Sanaya!Ini salah!Kamu udah punya tunangan.Yang berhak atas kamu adalah Leo, bukan Dilan!Sadar Sanaya! Sadar!Sisi lain dari Sanaya seolah mencoba menyadarkan gadis itu untuk menghentikan semua yang terjadi saat ini. Detik ini, dia dan Dilan masih saling memagut dan memperdalam ciuman mereka.Lalu, tiba-tiba saja bayangan kemarahan Leo berkelebat di ingatan Sanaya, kala tangan Dilan menekan tengkuknya. Sehingga membuat kedua mata Sanaya terbuka lebar, dan dengan cepat mendorong dada Dilan.“Stop! Dilan!” jerit Sanaya, lalu mengusap kasar bibirnya dengan punggung tangan, berharap tak ada jejak bibir Dilan di sana. Dadanya naik turun, berusaha memasok oksigen yang hampir habis.“... ini salah! Ini enggak seharusnya terjadi!” Sanaya menggeleng berkali-kali sambil melangkah mundur, menghindari Dilan yang hendak menyentuhnya.“Mbak.” Dilan maju selangkah, tetapi Sanaya malah semakin menjauh. Pemuda itu berusaha tetap bersikap tenang dan mencoba menjelaskan yang terjadi
Pagi ini Sanaya mematut penampilannya berulang kali di cermin. Memindai wajahnya yang sedikit berantakan akibat kurang tidur semalaman. “Ini gara-gara Dilan, aku jadi enggak bisa tidur,” gerutunya sambil mengoleskan lipstik berwarna nude pink di bibirnya.Ya, semalaman Sanaya memang tidak bisa tidur lantaran terus terbayang adegan ciumannya dengan Dilan. Alhasil, dia pun baru bisa tidur pukul tiga pagi.Ck!Sebegitu sulitnya dia mencoba mengenyahkan bayangan Dilan. Rasanya sungguh memalukan. Di saat dia meminta Dilan untuk melupakan saja kejadian itu. Justru, dirinya sendiri yang tidak bisa melupakan setiap adegan demi adegan tersebut. Bahkan, rasanya jejak bibir Dilan masih menempel di bibir Sanaya.“Argh...! Ya Tuhan... apa ini?” Perasaannya carut-marut tak menentu gara-gara sikap Dilan yang semakin ke sini malah semakin berani.“Sanaya, kamu pasti bisa lupain ciuman itu. Pasti!”Tak mau semakin larut dalam bayangan Dilan, Sanaya memutuskan untuk segera berangkat setelah memesan tak
Sanaya menelan ludah dengan kasar. Kecurigaan Leo membuatnya berdecak dalam hati, sejurus kemudian sebuah alasan yang sekiranya tepat pun meluncur dari bibir Sanaya. “Aku pinjem hapenya si Desi. Tahu ‘kan Desi?” Leo mengangguk, dia mengenal Desi yang bekerja sebagai pelayan di Restoran milik Sanaya. Dia memilih percaya dengan apa yang dikatakan tunangannya dan memutuskan untuk pergi dari sana. “Ya udah, ayo berangkat. Aku anter,” ajak Leo, meraih tangan Sanaya dan menuntunnya masuk ke dalam lift. “I-iya.” Sanaya membuang napas lega setelah berhasil berbohong kepada Leo. Ini kali pertamanya dia berbohong kepada lelaki itu. Dan, rasanya sangat menegangkan. ‘Gara-gara Dilan. Aku jadi bohong sama Leo. Ck!’ b atin Sanaya yang kembali mengingat Dilan. _ Perjalanan menuju Restoran terasa sangat singkat bagi Sanaya, yang sejak masuk ke mobil terus saja melamun. Dia tidak menyadari jika ternyata mobil Leo sudah berhenti di halaman parkir Restoran. “Nay, ayo turun,” ajak Leo, membuat San
Leo memicingkan mata ke arah Dilan yang berada di balik pintu. Rahangnya seketika mengeras sambil menggertakkan gigi. Dia pun kembali mengingat masalah kemarin, saat Dilan mengancamnya.Tidak suka melihat kehadiran Dilan di sini, Leo akhirnya memutuskan untuk pergi saja.“Udah siang, mending aku langsung aja, Nay,” pamitnya yang lantas meletakkan cangkir kopi ke meja. Leo mendekati Sanaya, lalu mengecup singkat bibir bungkam itu. “Bay....”Sanaya terkesiap dengan ciuman mendadak yang diberikan Leo. “I-iya. Kamu hati-hati.” Saat mengatakan itu, sudut matanya melirik ke arah Dilan yang ternyata menyaksikan semuanya. Ada rasa malu sekaligus serba salah bersarang di hati Sanaya.Dilan menyingkir sebentar dari pintu karena Leo hendak keluar dari ruangan itu. Keduanya saling melempar tatapan sinis ketika berpas-pasan. Sebelum akhirnya Leo keluar dan melenggang dari hadapan Dilan.Sementara itu, Sanaya masih berdiri di tempatnya, menunggu Dilan masuk. Dan, demi menutupi rasa malu, Sanaya pu
Sore ini, Sanaya sengaja meluangkan waktu untuk berkunjung ke rumah sang ayah. Padahal, sejak lima hari yang lalu ayah memintanya untuk datang, dia ingin segera datang. Sayangnya, Sanaya belum bisa menuruti permintaan tersebut lantaran luka tamparan Leo yang masih membekas.Sanaya tidak ingin membuat sang ayah bertanya-tanya dan merasa cemas, apabila melihat bekas luka di sudut bibirnya. Terlebih, dia juga bisa memberikan alasan yang kuat saat ayah menanyakan Leo.Ada bagusnya tunangannya itu pergi ke luar kota, hingga hari ini belum kembali.Sanaya merasa hidupnya bebas tanpa ada tekanan dari siapa pun. Jiwa dan raganya juga butuh waktu dari semua luka yang diberikan lelaki arogan itu. Tetapi, terkadang Sanaya dibuat bertanya-tanya sendiri, perihal Leo yang sama sekali tidak pernah menghubungi dirinya bila sedang ke luar kota seperti sekarang.“Ah, apa peduliku?! Mungkin, dia lagi seneng-seneng.”Sanaya bergumam sendiri sambil menggeleng berkali-kali guna mengenyahkan semua pertanyaa