Share

Bab 3—Mengantar Sanaya Pulang.

Waktu bergulir sangat cepat. Tak terasa malam telah menjelang. Sanaya yang menuruti perkataan Dilan untuk tetap berada di ruangannya, lama-kelamaan pun mulai merasa bosan. Lagi pula, jam kerja juga sudah lewat, dan ini waktunya dia pulang.

“Mending aku pulang aja, deh. Udah jam tujuh ternyata.” Sanaya lantas beranjak dari kursi, lalu mengambil tas yang ada di meja kerjanya.

Namun, sebelum itu dia ingin mencari Dilan terlebih dulu. Sanaya tidak mau pemuda itu merasa khawatir saat tidak menemukannya di sini. Oleh karena itu, lebih baik dia memutuskan untuk berpamitan.

Begitu keluar dari ruangan, tempat pertama yang dituju adalah ruangan Dilan yang berada tak jauh dari ruangannya. Akan tetapi, saat Sanaya membuka pintunya, sosok yang dicari tidak sedang berada di tempat.

“Mungkin Dilan lagi di depan?” Sanaya bergumam setelah menutup pintu itu lagi. Dia berbalik, hendak mencari Dilan yang biasanya pada jam segini berada di meja kasir. Sanaya lupa, jika Dilan selalu berada di sana pada jam mau pulang.

Bibir ranum Sanaya merekah, saat melihat sosok yang sejak tadi dia cari ternyata ada di sana. Dengan langkah terburu-buru dia menghampiri pemuda yang selalu berpenampilan rapi itu.

“Dilan!” Sanaya sedikit berteriak memanggil Dilan yang sedang sibuk membantu kasir. Rasanya, dia ingin sekali cepat sampai di hadapan malaikat penjaganya.

“Mbak Sanaya?” Sebelum Sanaya tiba di hadapannya, Dilan terlebih dulu mendekat. Meninggalkan pekerjaannya, lalu berjalan ke arah Sanaya. “Mbak mau pulang?” tanyanya begitu berhadapan, karena tanpa Sanaya berkata pun Dilan sudah tahu. Ini adalah jam pulang atasannya.

Sanaya mengangguk. “Iya. Saya mau pulang,” ucapnya, terdiam sesaat untuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Cukup melelahkan juga rupanya, padahal dia hanya berlari kecil demi mendekat ke Dilan.

“... tadi saya cariin ke ruangan kamu tapi ternyata kamu di sini. Saya lupa, kalo jam segini kamu pasti di kasir,” celotehnya lagi setelah berhasil mengatur napasnya kembali.

“Mbak ‘kan bisa telepon saya? Kenapa harus capek-capek samperin saya segala,” balas Dilan yang tidak suka melihat Sanaya kelelahan seperti sekarang. “Mbak Sanaya ‘kan lagi kurang sehat.”

Lihatlah, hanya dengan perhatian sekecil ini, hati Sanaya menghangat. Dilan memang paling bisa mengaduk-aduk perasaannya.

“Enggak apa-apa. Sekalian olahraga.” Sanaya berkelakar, sekadar membentengi diri untuk tidak terbawa perasaan. “Ya udah, saya pulang duluan, ya? Keburu kemaleman.”

“Oke, Mbak. Mbak hati-hati di jalan.” Dilan menggeser posisinya sedikit, memberikan jalan untuk Sanaya.

“Bay!” Sanaya lantas berlalu meninggalkan Dilan dengan degup jantung tak beraturan.

Ada apa dengan dia sebenarnya? Kenapa dia jadi salah tingkah seperti ini?

Menggeleng pelan, seraya memandang punggung Sanaya yang perlahan menjauh dari pandangannya. Lantas, Dilan kembali melanjutkan pekerjaannya.

_

“Yah ... bannya kempes?” Sanaya menghela lelah ketika mendapati ban mobilnya kempes. Dia lalu melirik jam digital yang melingkar di pergelangan tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. “Udah jam segini lagi. Ck!” Biasanya dia sudah berada di Apartemen di jam segini.

Kemudian dia pun kepikiran untuk menghubungi bengkel langganannya, tetapi lagi-lagi Sanaya mendesah frustrasi ketika ternyata ponselnya mati.

“Astaga ... Sanaya! Fix! Komplit udah! Ban kempes, hape mati. Ck!” Sanaya berkacak pinggang sambil menggerutu berkali-kali. Sungguh, kesialannya hari ini benar-benar sempurna. Niatnya yang ingin segera pulang malah jadi berantakan.

Dengan pikiran carut marut, Sanaya pun berjalan bolak-balik seraya memikirkan ide supaya dia bisa sampai di Apartemen secepatnya. Tubuhnya betul-betul sangat lelah, Sanaya ingin segera berbaring di kasurnya yang empuk.

Akibat mengomel sendiri tidak jelas ditambah dengan gerutuan yang tak berhenti terlontar, rasa perih kembali terasa di bagian sudut bibirnya yang terluka. Sanaya meringis menahan rasa itu, lalu tak lama suara yang sangat familier menyapa pendengarannya.

“Mbak! Mbak Sanaya?”

Sanaya menoleh ke sumber suara tersebut. “Dilan?” ucapnya, kemudian memindai sosok yang bertengger di atas motor sport-nya itu.

Dilan terlihat sangat berbeda dengan balutan jaket kulit berwarna hitam, dan kaca mata berwarna senada. Keren! Cuma satu kata itu yang tepat menggambarkan penampilan Dilan saat ini.

Mematikan mesin motornya, Dilan lalu bertanya kepada Sanaya, “Mbak Sanaya masih di sini?”

“Ban mobil saya kempes, Dilan. Saya enggak jadi pulang. Hape saya juga mati, enggak bisa ngubungin bengkel langganan saya,” jawab Sanaya dengan raut muka lesu.

“Ya udah, aku anter pulang aja kalo gitu,” tawar Dilan yang lantas membuat Sanaya hampir tersedak liurnya sendiri. Perempuan itu terkejut sekaligus tak percaya jika Dilan menawarkan diri untuk mengantarnya.

Jari telunjuk Sanaya refleks mengacung pada motor sport Dilan. “Pakek ini?” tanyanya dengan raut konyol.

Dilan terkekeh lantas langsung menyahut, “Ya iyalah, Mbak! Mau pakek apa lagi? Jet? Apa mau aku gendong?”

Bibir Sanaya sontak mengerucut. Gendong? Yang bener aja? Ck!

“Gimana? Mau enggak, Mbak?” Suara Dilan mengagetkan Sanaya yang sempat terdiam.

Berpikir sejenak, lalu akhirnya Sanaya pun mengangguk. Apa salahnya naik motor? Toh, yang penting dia bisa segera sampai di Apartemen.

“Mau! Ayo!” Tanpa menunggu lama, Sanaya pun naik ke atas motor Dilan setelah pemuda itu menyerahkan helm cadangan yang selalu tersedia di jok belakang.

“Untung Mbak pake celana, kalo enggak, bisa bahaya,” celetuknya yang kemudian segera melesat dari halaman parkir Restoran.

Sepanjang perjalanan menuju Apartemen, Sanaya banyak terdiam. Entah karena terlalu gugup atau terlalu menikmati perjalanan ini. Posisinya saat ini begitu dekat dengan Dilan. Sanaya bahkan bisa mencium aroma maskulin yang berasal dari jaket kulit pemuda itu. Menenangkan dan...

‘Ah! Sadar Sanaya! Please....’ Dalam hati Sanaya terus berusaha untuk tidak terlalu larut dalam suasana ini.

“Pegangan yang kenceng, Mbak. Entar jatoh.” Dilan berkata dengan sedikit berteriak sebab suaranya berkejaran dengan suara kendaraan yang lalu lalang di sisi mereka.

“I-iya.” Sanaya mengerjap terlebih dahulu, seraya mengeratkan pegangannya di pinggang Dilan. Jujur, baru kali ini dia naik motor bersama laki-laki lain. Degup jantungnya kian menggila, hanya dengan memegang pinggang pemuda ini.

‘Ck! Sanaya! Come on ....’ Rutuknya lagi lantaran terus tergerus dalam suasana ini.

Setelah dirasa cukup erat, Dilan lantas menambah kecepatan motornya, membelah kemacetan yang ada. Melewati setiap kendaraan di sisi kiri dan kanannya dengan gesit dan lincah. Sanaya sampai tak berani membuka mata lantaran terlalu takut. Dilan seperti membawanya terbang malam ini, tetapi rasa takutnya tak sebanding rasa gembira. Bisa naik motor dan merasakan sejuknya angin malam, merupakan pengalaman pertama bagi perempuan bermanik cokelat itu.

Tak membutuhkan waktu lama, mereka akhirnya tiba di depan gedung bertingkat tinggi dan mewah.

“Akhirnya, sampe juga.” Dilan mematikan mesin motornya.

Namun, tiba-tiba hujan turun sangat deras. Maka, mau tidak mau, Dilan menyalakan mesin motornya lagi, lalu masuk ke pelataran parkir basemen Apartemen tersebut.

“Sorry, Mbak. Mbak malah jadi kehujanan,” ucap Dilan yang merasa tidak enak sebab telah membuat Sanaya basah akibat sempat terkena hujan.

“Enggak apa-apa. Basah dikit doang.” Sanaya melepas helm, lalu menyodorkan ke Dilan. “Makasih, ya, udah mau anter saya pulang.”

Dilan mengambil helm dari tangan Sanaya sembari menyahut, “Sama-sama, Mbak.”

“Kamu bawa jas hujan ‘kan? Hujannya deres, loh?” tanya Sanaya.

“Aku lupa, Mbak.”

Sanaya menghela panjang. “Kok, lupa, sih? Padahal itu penting, loh?” ucapnya yang tak habis pikir kenapa barang sepenting itu tidak dibawa.

“Suka enggak kepikiran, Mbak.”

Jawaban Dilan disambut dengan helaan panjang lagi, Sanaya menggeleng lantas berkata lagi, “Hujannya kayanya deres banget dan bakalan lama. Mending sambil nunggu reda, kamu ikut saya aja dulu ke atas. Gimana?”

‘Haisshhh... Sanaya?’ batin Perempuan itu sambil menggigit bibir dalamnya kuat-kuat. Dia tak percaya kenapa bisa dengan santai menawarkan Dilan masuk ke apartemennya. Niatnya hanya ingin berterima kasih, tak ada maksud lain. Sungguh!

“Waah ... enggak usah, Mbak. Aku nunggu di sini aja. Mbak kalo mau naik, naik aja. Enggak apa-apa.” Dilan tentu menolak tawaran tersebut.

“Eh? Jangan! Masa kamu nunggu di sini? Mending nunggu di atas aja. Ayo.”

Tuh, kan? Sanaya malah semakin memaksa Dilan. Entah apa yang merasukinya!

‘Hei, Sanaya! Kamu lagi menggali kuburanmu sendiri!’ bisik suara entah dari mana.

“Beneran, enggak apa-apa?”

“Beneran.”

“Ya udah. Kalo Mbak maksa.” Dilan lantas mengalah dan menerima tawaran Sanaya.

Secara sadar, bibir Sanaya melengkungkan senyuman. Dia tidak tahu pasti, apakah keputusannya ini benar atau salah. Yang jelas, dia hanya berniat membalas kebaikan Dilan yang sudah mau mengantarnya pulang. Betul, tidak ada niat lebih … ‘kan?

###

bersambung...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Deyana
rameeeeeee
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status