Waktu bergulir sangat cepat. Tak terasa malam telah menjelang. Sanaya yang menuruti perkataan Dilan untuk tetap berada di ruangannya, lama-kelamaan pun mulai merasa bosan. Lagi pula, jam kerja juga sudah lewat, dan ini waktunya dia pulang.
“Mending aku pulang aja, deh. Udah jam tujuh ternyata.” Sanaya lantas beranjak dari kursi, lalu mengambil tas yang ada di meja kerjanya.
Namun, sebelum itu dia ingin mencari Dilan terlebih dulu. Sanaya tidak mau pemuda itu merasa khawatir saat tidak menemukannya di sini. Oleh karena itu, lebih baik dia memutuskan untuk berpamitan.
Begitu keluar dari ruangan, tempat pertama yang dituju adalah ruangan Dilan yang berada tak jauh dari ruangannya. Akan tetapi, saat Sanaya membuka pintunya, sosok yang dicari tidak sedang berada di tempat.
“Mungkin Dilan lagi di depan?” Sanaya bergumam setelah menutup pintu itu lagi. Dia berbalik, hendak mencari Dilan yang biasanya pada jam segini berada di meja kasir. Sanaya lupa, jika Dilan selalu berada di sana pada jam mau pulang.
Bibir ranum Sanaya merekah, saat melihat sosok yang sejak tadi dia cari ternyata ada di sana. Dengan langkah terburu-buru dia menghampiri pemuda yang selalu berpenampilan rapi itu.
“Dilan!” Sanaya sedikit berteriak memanggil Dilan yang sedang sibuk membantu kasir. Rasanya, dia ingin sekali cepat sampai di hadapan malaikat penjaganya.
“Mbak Sanaya?” Sebelum Sanaya tiba di hadapannya, Dilan terlebih dulu mendekat. Meninggalkan pekerjaannya, lalu berjalan ke arah Sanaya. “Mbak mau pulang?” tanyanya begitu berhadapan, karena tanpa Sanaya berkata pun Dilan sudah tahu. Ini adalah jam pulang atasannya.
Sanaya mengangguk. “Iya. Saya mau pulang,” ucapnya, terdiam sesaat untuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Cukup melelahkan juga rupanya, padahal dia hanya berlari kecil demi mendekat ke Dilan.
“... tadi saya cariin ke ruangan kamu tapi ternyata kamu di sini. Saya lupa, kalo jam segini kamu pasti di kasir,” celotehnya lagi setelah berhasil mengatur napasnya kembali.
“Mbak ‘kan bisa telepon saya? Kenapa harus capek-capek samperin saya segala,” balas Dilan yang tidak suka melihat Sanaya kelelahan seperti sekarang. “Mbak Sanaya ‘kan lagi kurang sehat.”
Lihatlah, hanya dengan perhatian sekecil ini, hati Sanaya menghangat. Dilan memang paling bisa mengaduk-aduk perasaannya.
“Enggak apa-apa. Sekalian olahraga.” Sanaya berkelakar, sekadar membentengi diri untuk tidak terbawa perasaan. “Ya udah, saya pulang duluan, ya? Keburu kemaleman.”
“Oke, Mbak. Mbak hati-hati di jalan.” Dilan menggeser posisinya sedikit, memberikan jalan untuk Sanaya.
“Bay!” Sanaya lantas berlalu meninggalkan Dilan dengan degup jantung tak beraturan.
Ada apa dengan dia sebenarnya? Kenapa dia jadi salah tingkah seperti ini?
Menggeleng pelan, seraya memandang punggung Sanaya yang perlahan menjauh dari pandangannya. Lantas, Dilan kembali melanjutkan pekerjaannya.
_
“Yah ... bannya kempes?” Sanaya menghela lelah ketika mendapati ban mobilnya kempes. Dia lalu melirik jam digital yang melingkar di pergelangan tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. “Udah jam segini lagi. Ck!” Biasanya dia sudah berada di Apartemen di jam segini.
Kemudian dia pun kepikiran untuk menghubungi bengkel langganannya, tetapi lagi-lagi Sanaya mendesah frustrasi ketika ternyata ponselnya mati.
“Astaga ... Sanaya! Fix! Komplit udah! Ban kempes, hape mati. Ck!” Sanaya berkacak pinggang sambil menggerutu berkali-kali. Sungguh, kesialannya hari ini benar-benar sempurna. Niatnya yang ingin segera pulang malah jadi berantakan.
Dengan pikiran carut marut, Sanaya pun berjalan bolak-balik seraya memikirkan ide supaya dia bisa sampai di Apartemen secepatnya. Tubuhnya betul-betul sangat lelah, Sanaya ingin segera berbaring di kasurnya yang empuk.
Akibat mengomel sendiri tidak jelas ditambah dengan gerutuan yang tak berhenti terlontar, rasa perih kembali terasa di bagian sudut bibirnya yang terluka. Sanaya meringis menahan rasa itu, lalu tak lama suara yang sangat familier menyapa pendengarannya.
“Mbak! Mbak Sanaya?”
Sanaya menoleh ke sumber suara tersebut. “Dilan?” ucapnya, kemudian memindai sosok yang bertengger di atas motor sport-nya itu.
Dilan terlihat sangat berbeda dengan balutan jaket kulit berwarna hitam, dan kaca mata berwarna senada. Keren! Cuma satu kata itu yang tepat menggambarkan penampilan Dilan saat ini.
Mematikan mesin motornya, Dilan lalu bertanya kepada Sanaya, “Mbak Sanaya masih di sini?”
“Ban mobil saya kempes, Dilan. Saya enggak jadi pulang. Hape saya juga mati, enggak bisa ngubungin bengkel langganan saya,” jawab Sanaya dengan raut muka lesu.
“Ya udah, aku anter pulang aja kalo gitu,” tawar Dilan yang lantas membuat Sanaya hampir tersedak liurnya sendiri. Perempuan itu terkejut sekaligus tak percaya jika Dilan menawarkan diri untuk mengantarnya.
Jari telunjuk Sanaya refleks mengacung pada motor sport Dilan. “Pakek ini?” tanyanya dengan raut konyol.
Dilan terkekeh lantas langsung menyahut, “Ya iyalah, Mbak! Mau pakek apa lagi? Jet? Apa mau aku gendong?”
Bibir Sanaya sontak mengerucut. Gendong? Yang bener aja? Ck!
“Gimana? Mau enggak, Mbak?” Suara Dilan mengagetkan Sanaya yang sempat terdiam.
Berpikir sejenak, lalu akhirnya Sanaya pun mengangguk. Apa salahnya naik motor? Toh, yang penting dia bisa segera sampai di Apartemen.
“Mau! Ayo!” Tanpa menunggu lama, Sanaya pun naik ke atas motor Dilan setelah pemuda itu menyerahkan helm cadangan yang selalu tersedia di jok belakang.
“Untung Mbak pake celana, kalo enggak, bisa bahaya,” celetuknya yang kemudian segera melesat dari halaman parkir Restoran.
Sepanjang perjalanan menuju Apartemen, Sanaya banyak terdiam. Entah karena terlalu gugup atau terlalu menikmati perjalanan ini. Posisinya saat ini begitu dekat dengan Dilan. Sanaya bahkan bisa mencium aroma maskulin yang berasal dari jaket kulit pemuda itu. Menenangkan dan...
‘Ah! Sadar Sanaya! Please....’ Dalam hati Sanaya terus berusaha untuk tidak terlalu larut dalam suasana ini.
“Pegangan yang kenceng, Mbak. Entar jatoh.” Dilan berkata dengan sedikit berteriak sebab suaranya berkejaran dengan suara kendaraan yang lalu lalang di sisi mereka.
“I-iya.” Sanaya mengerjap terlebih dahulu, seraya mengeratkan pegangannya di pinggang Dilan. Jujur, baru kali ini dia naik motor bersama laki-laki lain. Degup jantungnya kian menggila, hanya dengan memegang pinggang pemuda ini.
‘Ck! Sanaya! Come on ....’ Rutuknya lagi lantaran terus tergerus dalam suasana ini.
Setelah dirasa cukup erat, Dilan lantas menambah kecepatan motornya, membelah kemacetan yang ada. Melewati setiap kendaraan di sisi kiri dan kanannya dengan gesit dan lincah. Sanaya sampai tak berani membuka mata lantaran terlalu takut. Dilan seperti membawanya terbang malam ini, tetapi rasa takutnya tak sebanding rasa gembira. Bisa naik motor dan merasakan sejuknya angin malam, merupakan pengalaman pertama bagi perempuan bermanik cokelat itu.
Tak membutuhkan waktu lama, mereka akhirnya tiba di depan gedung bertingkat tinggi dan mewah.
“Akhirnya, sampe juga.” Dilan mematikan mesin motornya.
Namun, tiba-tiba hujan turun sangat deras. Maka, mau tidak mau, Dilan menyalakan mesin motornya lagi, lalu masuk ke pelataran parkir basemen Apartemen tersebut.
“Sorry, Mbak. Mbak malah jadi kehujanan,” ucap Dilan yang merasa tidak enak sebab telah membuat Sanaya basah akibat sempat terkena hujan.
“Enggak apa-apa. Basah dikit doang.” Sanaya melepas helm, lalu menyodorkan ke Dilan. “Makasih, ya, udah mau anter saya pulang.”
Dilan mengambil helm dari tangan Sanaya sembari menyahut, “Sama-sama, Mbak.”
“Kamu bawa jas hujan ‘kan? Hujannya deres, loh?” tanya Sanaya.
“Aku lupa, Mbak.”
Sanaya menghela panjang. “Kok, lupa, sih? Padahal itu penting, loh?” ucapnya yang tak habis pikir kenapa barang sepenting itu tidak dibawa.
“Suka enggak kepikiran, Mbak.”
Jawaban Dilan disambut dengan helaan panjang lagi, Sanaya menggeleng lantas berkata lagi, “Hujannya kayanya deres banget dan bakalan lama. Mending sambil nunggu reda, kamu ikut saya aja dulu ke atas. Gimana?”
‘Haisshhh... Sanaya?’ batin Perempuan itu sambil menggigit bibir dalamnya kuat-kuat. Dia tak percaya kenapa bisa dengan santai menawarkan Dilan masuk ke apartemennya. Niatnya hanya ingin berterima kasih, tak ada maksud lain. Sungguh!
“Waah ... enggak usah, Mbak. Aku nunggu di sini aja. Mbak kalo mau naik, naik aja. Enggak apa-apa.” Dilan tentu menolak tawaran tersebut.
“Eh? Jangan! Masa kamu nunggu di sini? Mending nunggu di atas aja. Ayo.”
Tuh, kan? Sanaya malah semakin memaksa Dilan. Entah apa yang merasukinya!
‘Hei, Sanaya! Kamu lagi menggali kuburanmu sendiri!’ bisik suara entah dari mana.
“Beneran, enggak apa-apa?”
“Beneran.”
“Ya udah. Kalo Mbak maksa.” Dilan lantas mengalah dan menerima tawaran Sanaya.
Secara sadar, bibir Sanaya melengkungkan senyuman. Dia tidak tahu pasti, apakah keputusannya ini benar atau salah. Yang jelas, dia hanya berniat membalas kebaikan Dilan yang sudah mau mengantarnya pulang. Betul, tidak ada niat lebih … ‘kan?
###
bersambung...
Dengan langkah pelan, Dilan dan Sanaya berjalan bersisian menuju ke dalam. Tepat, di saat itu pula, hujan di luar sana semakin deras. Suara petir bahkan terdengar menggelegak bersahut-sahutan.“Tuh ‘kan, saya bilang apa. Hujannya pasti tambah deres,” ucap Sanaya, yang menoleh sekilas ke Dilan. Mereka hampir tiba menuju lorong gedung tersebut, melewati beberapa orang yang keluar masuk.“Iya, Mbak. Aku pikir tadi cuma bentar. Eh, tahunya malah deres. Mana enggak bawa jas hujan lagi.” Dilan membalas perkataan Sanaya sambil terkekeh, menggaruk tengkuknya guna menutupi rasa canggung yang ada. Dia dan Sanaya kini berada di dalam lift hanya berdua.“Kamu juga, harusnya sedia jas hujan, Dilan. Kita ‘kan enggak pernah tahu kapan hujan turun? Ya ... kaya sekarang ini,” timpal Sanaya, lagi-lagi mengingatkan pemuda yang berdiri di sampingnya.Dilan melempar senyum konyol. “Hehe ... iya, Mbak. Suka enggak kepikiran.”Sanaya menanggapinya dengan gelengan kepala. Bisa-bisanya Dilan tidak memikirkan
"Mbak Sanaya baik-baik aja 'kan? Atau... Mbak Sanaya sakit?" tanya Dilan pada Sanaya yang masih berada di pelukannya. Sementara Sanaya terhenyak dan mengerjap lambat.Beruntung pemuda itu berinisiatif untuk menyusul Sanaya ke dapur, karena tak sengaja mendengar percakapan. Andai saja dia telat sedikit, pasti Sanaya akan terjatuh di lantai."Kepala saya sakit, Dilan. Saya pusing." Sanaya menjawab lemah, bahkan memilih menaruh kepalanya di dada Dilan dan memejamkan mata.Lalu Sanaya kembali bersuara, "Dilan....""Iya, Mbak.""Boleh saya minta sesuatu?""Apa, Mbak? Mbak Sanaya mau aku ambilin obat atau mau aku anter ke rumah sakit?" Dilan yang merasa khawatir memberondong begitu banyak pertanyaan pada Sanaya yang cuma terkekeh."Bukan, Dilan. Bukan itu," sahut Sanaya yang kembali sendu."Terus apa dong, Mbak?""Tetaplah seperti ini untuk sementara waktu, Dilan. Saya ... merasa tenang berada di pelukan kamu. Saya butuh sandaran malam ini. Saya benar-benar enggak tahu lagi mesti gimana, La
Ini enggak bener, Sanaya!Ini salah!Kamu udah punya tunangan.Yang berhak atas kamu adalah Leo, bukan Dilan!Sadar Sanaya! Sadar!Sisi lain dari Sanaya seolah mencoba menyadarkan gadis itu untuk menghentikan semua yang terjadi saat ini. Detik ini, dia dan Dilan masih saling memagut dan memperdalam ciuman mereka.Lalu, tiba-tiba saja bayangan kemarahan Leo berkelebat di ingatan Sanaya, kala tangan Dilan menekan tengkuknya. Sehingga membuat kedua mata Sanaya terbuka lebar, dan dengan cepat mendorong dada Dilan.“Stop! Dilan!” jerit Sanaya, lalu mengusap kasar bibirnya dengan punggung tangan, berharap tak ada jejak bibir Dilan di sana. Dadanya naik turun, berusaha memasok oksigen yang hampir habis.“... ini salah! Ini enggak seharusnya terjadi!” Sanaya menggeleng berkali-kali sambil melangkah mundur, menghindari Dilan yang hendak menyentuhnya.“Mbak.” Dilan maju selangkah, tetapi Sanaya malah semakin menjauh. Pemuda itu berusaha tetap bersikap tenang dan mencoba menjelaskan yang terjadi
Pagi ini Sanaya mematut penampilannya berulang kali di cermin. Memindai wajahnya yang sedikit berantakan akibat kurang tidur semalaman. “Ini gara-gara Dilan, aku jadi enggak bisa tidur,” gerutunya sambil mengoleskan lipstik berwarna nude pink di bibirnya.Ya, semalaman Sanaya memang tidak bisa tidur lantaran terus terbayang adegan ciumannya dengan Dilan. Alhasil, dia pun baru bisa tidur pukul tiga pagi.Ck!Sebegitu sulitnya dia mencoba mengenyahkan bayangan Dilan. Rasanya sungguh memalukan. Di saat dia meminta Dilan untuk melupakan saja kejadian itu. Justru, dirinya sendiri yang tidak bisa melupakan setiap adegan demi adegan tersebut. Bahkan, rasanya jejak bibir Dilan masih menempel di bibir Sanaya.“Argh...! Ya Tuhan... apa ini?” Perasaannya carut-marut tak menentu gara-gara sikap Dilan yang semakin ke sini malah semakin berani.“Sanaya, kamu pasti bisa lupain ciuman itu. Pasti!”Tak mau semakin larut dalam bayangan Dilan, Sanaya memutuskan untuk segera berangkat setelah memesan tak
Sanaya menelan ludah dengan kasar. Kecurigaan Leo membuatnya berdecak dalam hati, sejurus kemudian sebuah alasan yang sekiranya tepat pun meluncur dari bibir Sanaya. “Aku pinjem hapenya si Desi. Tahu ‘kan Desi?” Leo mengangguk, dia mengenal Desi yang bekerja sebagai pelayan di Restoran milik Sanaya. Dia memilih percaya dengan apa yang dikatakan tunangannya dan memutuskan untuk pergi dari sana. “Ya udah, ayo berangkat. Aku anter,” ajak Leo, meraih tangan Sanaya dan menuntunnya masuk ke dalam lift. “I-iya.” Sanaya membuang napas lega setelah berhasil berbohong kepada Leo. Ini kali pertamanya dia berbohong kepada lelaki itu. Dan, rasanya sangat menegangkan. ‘Gara-gara Dilan. Aku jadi bohong sama Leo. Ck!’ b atin Sanaya yang kembali mengingat Dilan. _ Perjalanan menuju Restoran terasa sangat singkat bagi Sanaya, yang sejak masuk ke mobil terus saja melamun. Dia tidak menyadari jika ternyata mobil Leo sudah berhenti di halaman parkir Restoran. “Nay, ayo turun,” ajak Leo, membuat San
Leo memicingkan mata ke arah Dilan yang berada di balik pintu. Rahangnya seketika mengeras sambil menggertakkan gigi. Dia pun kembali mengingat masalah kemarin, saat Dilan mengancamnya.Tidak suka melihat kehadiran Dilan di sini, Leo akhirnya memutuskan untuk pergi saja.“Udah siang, mending aku langsung aja, Nay,” pamitnya yang lantas meletakkan cangkir kopi ke meja. Leo mendekati Sanaya, lalu mengecup singkat bibir bungkam itu. “Bay....”Sanaya terkesiap dengan ciuman mendadak yang diberikan Leo. “I-iya. Kamu hati-hati.” Saat mengatakan itu, sudut matanya melirik ke arah Dilan yang ternyata menyaksikan semuanya. Ada rasa malu sekaligus serba salah bersarang di hati Sanaya.Dilan menyingkir sebentar dari pintu karena Leo hendak keluar dari ruangan itu. Keduanya saling melempar tatapan sinis ketika berpas-pasan. Sebelum akhirnya Leo keluar dan melenggang dari hadapan Dilan.Sementara itu, Sanaya masih berdiri di tempatnya, menunggu Dilan masuk. Dan, demi menutupi rasa malu, Sanaya pu
Sore ini, Sanaya sengaja meluangkan waktu untuk berkunjung ke rumah sang ayah. Padahal, sejak lima hari yang lalu ayah memintanya untuk datang, dia ingin segera datang. Sayangnya, Sanaya belum bisa menuruti permintaan tersebut lantaran luka tamparan Leo yang masih membekas.Sanaya tidak ingin membuat sang ayah bertanya-tanya dan merasa cemas, apabila melihat bekas luka di sudut bibirnya. Terlebih, dia juga bisa memberikan alasan yang kuat saat ayah menanyakan Leo.Ada bagusnya tunangannya itu pergi ke luar kota, hingga hari ini belum kembali.Sanaya merasa hidupnya bebas tanpa ada tekanan dari siapa pun. Jiwa dan raganya juga butuh waktu dari semua luka yang diberikan lelaki arogan itu. Tetapi, terkadang Sanaya dibuat bertanya-tanya sendiri, perihal Leo yang sama sekali tidak pernah menghubungi dirinya bila sedang ke luar kota seperti sekarang.“Ah, apa peduliku?! Mungkin, dia lagi seneng-seneng.”Sanaya bergumam sendiri sambil menggeleng berkali-kali guna mengenyahkan semua pertanyaa
Sanaya langsung menghempaskan tubuhnya ke ranjang begitu tiba di dalam kamar. Merentangkan kedua tangan sambil menatap langit-langit kamar yang hanya berhias lampu temaram. Menghirup udara dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan-lahan. "Jadi, selama ini dia udah pacar, ck!" gumam Sanaya dengan perasaan yang benar-benar kacau, setelah mendapati laki-laki yang telah mencuri ciuman pertamanya sedang berboncengan mesra dengan seorang gadis. Lantas, secara sadar Sanaya meraba bibirnya sendiri. Lalu dia menggigitnya kecil sambil memejamkan mata. Rasanya, seperti baru kemarin Dilan menciumnya, dan jejaknya masih sangat membekas. Manis dan menimbulkan sensasi yang berbeda dari ciuman Leo. Ada getaran yang Sanaya sendiri belum bisa memahami. Sebuah debaran yang terkadang masih timbul tenggelam di dalam hati. Meskipun hanya sebuah ciuman, tetapi efeknya begitu dahsyat untuk gadis bermanik cokelat itu. "Aku benci kamu, Dilan... Aku benci...." Bibir Sanaya mendesahkan nama Dilan. Mengucap