Share

Bab 5—Ciuman Pertama Sanaya.

"Mbak Sanaya baik-baik aja 'kan? Atau... Mbak Sanaya sakit?" tanya Dilan pada Sanaya yang masih berada di pelukannya. Sementara Sanaya terhenyak dan mengerjap lambat.

Beruntung pemuda itu berinisiatif untuk menyusul Sanaya ke dapur, karena tak sengaja mendengar percakapan. Andai saja dia telat sedikit, pasti Sanaya akan terjatuh di lantai.

"Kepala saya sakit, Dilan. Saya pusing." Sanaya menjawab lemah, bahkan memilih menaruh kepalanya di dada Dilan dan memejamkan mata.

Lalu Sanaya kembali bersuara, "Dilan...."

"Iya, Mbak."

"Boleh saya minta sesuatu?"

"Apa, Mbak? Mbak Sanaya mau aku ambilin obat atau mau aku anter ke rumah sakit?" Dilan yang merasa khawatir memberondong begitu banyak pertanyaan pada Sanaya yang cuma terkekeh.

"Bukan, Dilan. Bukan itu," sahut Sanaya yang kembali sendu.

"Terus apa dong, Mbak?"

"Tetaplah seperti ini untuk sementara waktu, Dilan. Saya ... merasa tenang berada di pelukan kamu. Saya butuh sandaran malam ini. Saya benar-benar enggak tahu lagi mesti gimana, Lan," pinta Sanaya yang saat itu juga merasakan tubuh Dilan menegang.

Kenyamanan yang dirasakan Sanaya mungkin hanya perasaan sesaat. Di saat hatinya merasa rapuh seperti ini akan selalu ada Dilan yang hadir untuk memberinya semangat. Atau paling tidak, Dilan selalu mampu membuat Sanaya merasa tak sendirian melewati semua ini. Dia tidak peduli jika detik ini Dilan menilainya sebagai wanita lemah seperti yang sudah-sudah.

Yang Sanaya butuhkan malam ini hanya sebuah sandaran untuk berbagi. Ya, hanya itu.

'Yakin cuma itu, Sanaya?' Sudut hati Sanaya kembali mempertanyakan sikapnya sendiri.

Bibir Dilan tersungging, mendengar permintaan atasannya itu. "Boleh, Mbak. Silakan. Mbak Sanaya bisa kapan aja meminta itu dari aku," ucapnya yang secara sadar. Entah mengapa, permintaan Sanaya malam ini terdengar begitu memohon. "Tadi yang telepon Leo 'kan?"

Sanaya hanya mengangguk pelan sebagai jawaban pertanyaan Dilan, bibirnya enggan untuk mengucap nama lelaki brengsek itu. Setiap kali dia mengingat Leo, maka saat itu juga dia merasa muak dan benci. Benci pada dirinya sendiri karena tidak bisa berbuat apa pun.

Melihat Sanaya yang terdiam, Dilan mengurungkan niatnya yang ingin bertanya lagi. Namun, apa yang dia dengar barusan membuat hatinya gelisah dan tidak tenang. Pasti, ada sesuatu yang melukai hati Sanaya, sampai-sampai perempuan ini begitu tersakiti dan terlihat kacau.

"Mbak, tadi aku enggak sengaja denger semuanya. Mbak Sanaya minta maaf sama cowok brengsek itu. Kenapa, Mbak? Memang ada masalah apalagi? Si kampret itu pasti ngancem Mbak lagi 'kan?" cecar Dilan yang otaknya mulai mendidih ketika mengingat nama Leo.

Di dalam pelukan, Sanaya menahan senyum saat Dilan memangil Leo dengan sebutan Kampret. Anak ini memang selalu bisa menghiburnya. Kalimat absurd yang terlontar dari bibirnya seakan menjadi hiburan tersendiri bagi Sanaya. Tidak salah 'kan? Jika dia memilih pemuda ini untuk dijadikan teman ngobrol.

"Begitulah, Dilan. Memangnya apalagi, yang bisa dia lakuin selain ngancem?" jawab Sanaya yang seketika mendapatkan desahan kasar dari Dilan.

Lalu, kelopak mata Sanaya yang semula terpejam langsung terbuka lebar, mendongak untuk menatap rahang tegas Dilan dari bawah. Tingginya tak seberapa jika dibandingkan dengan pemuda itu.

"Kenapa?" tanya Sanaya saat melihat Dilan masih terdiam dan hanya mengeluarkan decakan halus. Namun, dari raut wajahnya, Sanaya bisa menebak jika Dilan pasti sedang merasa kesal. Seperti yang sudah-sudah.

"Enggak ngerti aku, Mbak, sama jalan pikiran Mbak." Dilan menyahut tanpa menurunkan pandangan, enggan menatap lawan bicaranya yang kini mengerutkan kening.

Sanaya sontak menarik diri dari dekapan Dilan. "Maksudnya?"

"Mbak, dengerin aku." Dilan memegang bahu Sanaya, menatap kedua manik kecokelatan itu dengan lekat. "Mbak, bisa 'kan sekali aja enggak minta maaf sama Leo? Sekali aja, Mbak. Mbak Sanaya jangan ngalah terus sama dia," mohon Dilan dengan sangat dan penuh harap.

"Enggak bisa, Dilan. Saya enggak bisa ngelakuin itu." Sanaya menggeleng lemah seperti yang sudah-sudah sebab merasa tak punya kuasa untuk melakukan apa yang diminta Dilan padanya.

"Mbak, dengerin ini, ya. Mbak boleh ngejaga perasaan orang lain. Tapi, lebih penting kalo, Mbak, bisa ngejaga perasaan Mbak sendiri." Dilan merubah posisi tangannya untuk menyentuh pipi Sanaya.

Dan, di sana dia langsung bisa melihat bekas luka di sudut bibir Sanaya. "Mbak Sanaya orang baik. Mbak juga cantik," ucap Dilan lagi, yang entah dapat keberanian dari mana, meraba sudut bibir Sanaya yang terluka.

"Ssshh...." Sanaya mendesis kala ibu jari Dilan menyentuh sudut bibirnya. Ada getaran yang tidak bisa dia jabarkan saat ini. Harusnya, Sanaya menolak perlakuan Dilan padanya. Akan tetapi, rasa nyaman itu, lagi-lagi lebih mendominasi akal sehatnya.

"Mbak Sanaya enggak pantes dapetin ini semua. Mbak lebih pantes buat dilindungin bukan disakitin." Dilan semakin memangkas jarak yang ada, mendekatkan wajahnya ke wajah Sanaya yang hanya mematung.

Suara gemuruh petir di luar sana seolah tak mengusik suasana yang tercipta. Pandangan keduanya terkunci satu sama lain. Sorot mata Dilan begitu menghanyutkan, hingga Sanaya tak kuasa menghindar saat pemuda itu mulai menempelkan bibirnya.

Ya, Dilan berani mencium Sanaya. Sesuatu hal yang sama sekali belum pernah dia lakukan bersama Leo. Ini adalah ciuman pertama Sanaya, tetapi justru dia melakukannya dengan pria lain.

'Astaga... Sanaya! Apa yang kamu lakukan?' Bisikan di hati tak dihiraukan Sanaya. Dia memilih menikmati setiap sapuan lidah Dilan yang meminta untuk disambut.

Awalnya memang Sanaya merasa terkejut, namun lama kelamaan dia membalas ciuman Dilan yang semakin dalam. Menyesap dan merasai bibirnya dengan lembut. Semua permasalahan yang ada seolah enyah dalam pikiran Sanaya hanya dengan ciuman dari Dilan.

'Ini gila! Ini tidak benar! Tapi aku suka! Aku...' Batin Sanaya disela-sela pertautan bibirnya dengan bibir Dilan.

###

bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status