"Mbak Sanaya baik-baik aja 'kan? Atau... Mbak Sanaya sakit?" tanya Dilan pada Sanaya yang masih berada di pelukannya. Sementara Sanaya terhenyak dan mengerjap lambat.
Beruntung pemuda itu berinisiatif untuk menyusul Sanaya ke dapur, karena tak sengaja mendengar percakapan. Andai saja dia telat sedikit, pasti Sanaya akan terjatuh di lantai.
"Kepala saya sakit, Dilan. Saya pusing." Sanaya menjawab lemah, bahkan memilih menaruh kepalanya di dada Dilan dan memejamkan mata.
Lalu Sanaya kembali bersuara, "Dilan...."
"Iya, Mbak."
"Boleh saya minta sesuatu?"
"Apa, Mbak? Mbak Sanaya mau aku ambilin obat atau mau aku anter ke rumah sakit?" Dilan yang merasa khawatir memberondong begitu banyak pertanyaan pada Sanaya yang cuma terkekeh.
"Bukan, Dilan. Bukan itu," sahut Sanaya yang kembali sendu.
"Terus apa dong, Mbak?"
"Tetaplah seperti ini untuk sementara waktu, Dilan. Saya ... merasa tenang berada di pelukan kamu. Saya butuh sandaran malam ini. Saya benar-benar enggak tahu lagi mesti gimana, Lan," pinta Sanaya yang saat itu juga merasakan tubuh Dilan menegang.
Kenyamanan yang dirasakan Sanaya mungkin hanya perasaan sesaat. Di saat hatinya merasa rapuh seperti ini akan selalu ada Dilan yang hadir untuk memberinya semangat. Atau paling tidak, Dilan selalu mampu membuat Sanaya merasa tak sendirian melewati semua ini. Dia tidak peduli jika detik ini Dilan menilainya sebagai wanita lemah seperti yang sudah-sudah.
Yang Sanaya butuhkan malam ini hanya sebuah sandaran untuk berbagi. Ya, hanya itu.
'Yakin cuma itu, Sanaya?' Sudut hati Sanaya kembali mempertanyakan sikapnya sendiri.
Bibir Dilan tersungging, mendengar permintaan atasannya itu. "Boleh, Mbak. Silakan. Mbak Sanaya bisa kapan aja meminta itu dari aku," ucapnya yang secara sadar. Entah mengapa, permintaan Sanaya malam ini terdengar begitu memohon. "Tadi yang telepon Leo 'kan?"
Sanaya hanya mengangguk pelan sebagai jawaban pertanyaan Dilan, bibirnya enggan untuk mengucap nama lelaki brengsek itu. Setiap kali dia mengingat Leo, maka saat itu juga dia merasa muak dan benci. Benci pada dirinya sendiri karena tidak bisa berbuat apa pun.
Melihat Sanaya yang terdiam, Dilan mengurungkan niatnya yang ingin bertanya lagi. Namun, apa yang dia dengar barusan membuat hatinya gelisah dan tidak tenang. Pasti, ada sesuatu yang melukai hati Sanaya, sampai-sampai perempuan ini begitu tersakiti dan terlihat kacau.
"Mbak, tadi aku enggak sengaja denger semuanya. Mbak Sanaya minta maaf sama cowok brengsek itu. Kenapa, Mbak? Memang ada masalah apalagi? Si kampret itu pasti ngancem Mbak lagi 'kan?" cecar Dilan yang otaknya mulai mendidih ketika mengingat nama Leo.
Di dalam pelukan, Sanaya menahan senyum saat Dilan memangil Leo dengan sebutan Kampret. Anak ini memang selalu bisa menghiburnya. Kalimat absurd yang terlontar dari bibirnya seakan menjadi hiburan tersendiri bagi Sanaya. Tidak salah 'kan? Jika dia memilih pemuda ini untuk dijadikan teman ngobrol.
"Begitulah, Dilan. Memangnya apalagi, yang bisa dia lakuin selain ngancem?" jawab Sanaya yang seketika mendapatkan desahan kasar dari Dilan.
Lalu, kelopak mata Sanaya yang semula terpejam langsung terbuka lebar, mendongak untuk menatap rahang tegas Dilan dari bawah. Tingginya tak seberapa jika dibandingkan dengan pemuda itu.
"Kenapa?" tanya Sanaya saat melihat Dilan masih terdiam dan hanya mengeluarkan decakan halus. Namun, dari raut wajahnya, Sanaya bisa menebak jika Dilan pasti sedang merasa kesal. Seperti yang sudah-sudah.
"Enggak ngerti aku, Mbak, sama jalan pikiran Mbak." Dilan menyahut tanpa menurunkan pandangan, enggan menatap lawan bicaranya yang kini mengerutkan kening.
Sanaya sontak menarik diri dari dekapan Dilan. "Maksudnya?"
"Mbak, dengerin aku." Dilan memegang bahu Sanaya, menatap kedua manik kecokelatan itu dengan lekat. "Mbak, bisa 'kan sekali aja enggak minta maaf sama Leo? Sekali aja, Mbak. Mbak Sanaya jangan ngalah terus sama dia," mohon Dilan dengan sangat dan penuh harap.
"Enggak bisa, Dilan. Saya enggak bisa ngelakuin itu." Sanaya menggeleng lemah seperti yang sudah-sudah sebab merasa tak punya kuasa untuk melakukan apa yang diminta Dilan padanya.
"Mbak, dengerin ini, ya. Mbak boleh ngejaga perasaan orang lain. Tapi, lebih penting kalo, Mbak, bisa ngejaga perasaan Mbak sendiri." Dilan merubah posisi tangannya untuk menyentuh pipi Sanaya.
Dan, di sana dia langsung bisa melihat bekas luka di sudut bibir Sanaya. "Mbak Sanaya orang baik. Mbak juga cantik," ucap Dilan lagi, yang entah dapat keberanian dari mana, meraba sudut bibir Sanaya yang terluka.
"Ssshh...." Sanaya mendesis kala ibu jari Dilan menyentuh sudut bibirnya. Ada getaran yang tidak bisa dia jabarkan saat ini. Harusnya, Sanaya menolak perlakuan Dilan padanya. Akan tetapi, rasa nyaman itu, lagi-lagi lebih mendominasi akal sehatnya.
"Mbak Sanaya enggak pantes dapetin ini semua. Mbak lebih pantes buat dilindungin bukan disakitin." Dilan semakin memangkas jarak yang ada, mendekatkan wajahnya ke wajah Sanaya yang hanya mematung.
Suara gemuruh petir di luar sana seolah tak mengusik suasana yang tercipta. Pandangan keduanya terkunci satu sama lain. Sorot mata Dilan begitu menghanyutkan, hingga Sanaya tak kuasa menghindar saat pemuda itu mulai menempelkan bibirnya.
Ya, Dilan berani mencium Sanaya. Sesuatu hal yang sama sekali belum pernah dia lakukan bersama Leo. Ini adalah ciuman pertama Sanaya, tetapi justru dia melakukannya dengan pria lain.
'Astaga... Sanaya! Apa yang kamu lakukan?' Bisikan di hati tak dihiraukan Sanaya. Dia memilih menikmati setiap sapuan lidah Dilan yang meminta untuk disambut.
Awalnya memang Sanaya merasa terkejut, namun lama kelamaan dia membalas ciuman Dilan yang semakin dalam. Menyesap dan merasai bibirnya dengan lembut. Semua permasalahan yang ada seolah enyah dalam pikiran Sanaya hanya dengan ciuman dari Dilan.
'Ini gila! Ini tidak benar! Tapi aku suka! Aku...' Batin Sanaya disela-sela pertautan bibirnya dengan bibir Dilan.
###
bersambung....
Ini enggak bener, Sanaya!Ini salah!Kamu udah punya tunangan.Yang berhak atas kamu adalah Leo, bukan Dilan!Sadar Sanaya! Sadar!Sisi lain dari Sanaya seolah mencoba menyadarkan gadis itu untuk menghentikan semua yang terjadi saat ini. Detik ini, dia dan Dilan masih saling memagut dan memperdalam ciuman mereka.Lalu, tiba-tiba saja bayangan kemarahan Leo berkelebat di ingatan Sanaya, kala tangan Dilan menekan tengkuknya. Sehingga membuat kedua mata Sanaya terbuka lebar, dan dengan cepat mendorong dada Dilan.“Stop! Dilan!” jerit Sanaya, lalu mengusap kasar bibirnya dengan punggung tangan, berharap tak ada jejak bibir Dilan di sana. Dadanya naik turun, berusaha memasok oksigen yang hampir habis.“... ini salah! Ini enggak seharusnya terjadi!” Sanaya menggeleng berkali-kali sambil melangkah mundur, menghindari Dilan yang hendak menyentuhnya.“Mbak.” Dilan maju selangkah, tetapi Sanaya malah semakin menjauh. Pemuda itu berusaha tetap bersikap tenang dan mencoba menjelaskan yang terjadi
Pagi ini Sanaya mematut penampilannya berulang kali di cermin. Memindai wajahnya yang sedikit berantakan akibat kurang tidur semalaman. “Ini gara-gara Dilan, aku jadi enggak bisa tidur,” gerutunya sambil mengoleskan lipstik berwarna nude pink di bibirnya.Ya, semalaman Sanaya memang tidak bisa tidur lantaran terus terbayang adegan ciumannya dengan Dilan. Alhasil, dia pun baru bisa tidur pukul tiga pagi.Ck!Sebegitu sulitnya dia mencoba mengenyahkan bayangan Dilan. Rasanya sungguh memalukan. Di saat dia meminta Dilan untuk melupakan saja kejadian itu. Justru, dirinya sendiri yang tidak bisa melupakan setiap adegan demi adegan tersebut. Bahkan, rasanya jejak bibir Dilan masih menempel di bibir Sanaya.“Argh...! Ya Tuhan... apa ini?” Perasaannya carut-marut tak menentu gara-gara sikap Dilan yang semakin ke sini malah semakin berani.“Sanaya, kamu pasti bisa lupain ciuman itu. Pasti!”Tak mau semakin larut dalam bayangan Dilan, Sanaya memutuskan untuk segera berangkat setelah memesan tak
Sanaya menelan ludah dengan kasar. Kecurigaan Leo membuatnya berdecak dalam hati, sejurus kemudian sebuah alasan yang sekiranya tepat pun meluncur dari bibir Sanaya. “Aku pinjem hapenya si Desi. Tahu ‘kan Desi?” Leo mengangguk, dia mengenal Desi yang bekerja sebagai pelayan di Restoran milik Sanaya. Dia memilih percaya dengan apa yang dikatakan tunangannya dan memutuskan untuk pergi dari sana. “Ya udah, ayo berangkat. Aku anter,” ajak Leo, meraih tangan Sanaya dan menuntunnya masuk ke dalam lift. “I-iya.” Sanaya membuang napas lega setelah berhasil berbohong kepada Leo. Ini kali pertamanya dia berbohong kepada lelaki itu. Dan, rasanya sangat menegangkan. ‘Gara-gara Dilan. Aku jadi bohong sama Leo. Ck!’ b atin Sanaya yang kembali mengingat Dilan. _ Perjalanan menuju Restoran terasa sangat singkat bagi Sanaya, yang sejak masuk ke mobil terus saja melamun. Dia tidak menyadari jika ternyata mobil Leo sudah berhenti di halaman parkir Restoran. “Nay, ayo turun,” ajak Leo, membuat San
Leo memicingkan mata ke arah Dilan yang berada di balik pintu. Rahangnya seketika mengeras sambil menggertakkan gigi. Dia pun kembali mengingat masalah kemarin, saat Dilan mengancamnya.Tidak suka melihat kehadiran Dilan di sini, Leo akhirnya memutuskan untuk pergi saja.“Udah siang, mending aku langsung aja, Nay,” pamitnya yang lantas meletakkan cangkir kopi ke meja. Leo mendekati Sanaya, lalu mengecup singkat bibir bungkam itu. “Bay....”Sanaya terkesiap dengan ciuman mendadak yang diberikan Leo. “I-iya. Kamu hati-hati.” Saat mengatakan itu, sudut matanya melirik ke arah Dilan yang ternyata menyaksikan semuanya. Ada rasa malu sekaligus serba salah bersarang di hati Sanaya.Dilan menyingkir sebentar dari pintu karena Leo hendak keluar dari ruangan itu. Keduanya saling melempar tatapan sinis ketika berpas-pasan. Sebelum akhirnya Leo keluar dan melenggang dari hadapan Dilan.Sementara itu, Sanaya masih berdiri di tempatnya, menunggu Dilan masuk. Dan, demi menutupi rasa malu, Sanaya pu
Sore ini, Sanaya sengaja meluangkan waktu untuk berkunjung ke rumah sang ayah. Padahal, sejak lima hari yang lalu ayah memintanya untuk datang, dia ingin segera datang. Sayangnya, Sanaya belum bisa menuruti permintaan tersebut lantaran luka tamparan Leo yang masih membekas.Sanaya tidak ingin membuat sang ayah bertanya-tanya dan merasa cemas, apabila melihat bekas luka di sudut bibirnya. Terlebih, dia juga bisa memberikan alasan yang kuat saat ayah menanyakan Leo.Ada bagusnya tunangannya itu pergi ke luar kota, hingga hari ini belum kembali.Sanaya merasa hidupnya bebas tanpa ada tekanan dari siapa pun. Jiwa dan raganya juga butuh waktu dari semua luka yang diberikan lelaki arogan itu. Tetapi, terkadang Sanaya dibuat bertanya-tanya sendiri, perihal Leo yang sama sekali tidak pernah menghubungi dirinya bila sedang ke luar kota seperti sekarang.“Ah, apa peduliku?! Mungkin, dia lagi seneng-seneng.”Sanaya bergumam sendiri sambil menggeleng berkali-kali guna mengenyahkan semua pertanyaa
Sanaya langsung menghempaskan tubuhnya ke ranjang begitu tiba di dalam kamar. Merentangkan kedua tangan sambil menatap langit-langit kamar yang hanya berhias lampu temaram. Menghirup udara dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan-lahan. "Jadi, selama ini dia udah pacar, ck!" gumam Sanaya dengan perasaan yang benar-benar kacau, setelah mendapati laki-laki yang telah mencuri ciuman pertamanya sedang berboncengan mesra dengan seorang gadis. Lantas, secara sadar Sanaya meraba bibirnya sendiri. Lalu dia menggigitnya kecil sambil memejamkan mata. Rasanya, seperti baru kemarin Dilan menciumnya, dan jejaknya masih sangat membekas. Manis dan menimbulkan sensasi yang berbeda dari ciuman Leo. Ada getaran yang Sanaya sendiri belum bisa memahami. Sebuah debaran yang terkadang masih timbul tenggelam di dalam hati. Meskipun hanya sebuah ciuman, tetapi efeknya begitu dahsyat untuk gadis bermanik cokelat itu. "Aku benci kamu, Dilan... Aku benci...." Bibir Sanaya mendesahkan nama Dilan. Mengucap
"Fyuuh...." Sanaya yang baru saja masuk ke ruangannya menghela lelah, seraya menghempas punggungnya ke sofa. Pekerjaan hari ini cukup menguras tenaganya. Dia kemudian melirik jam digital yang ada di meja kerja. "Jam enam." Meskipun lelah, tetapi Sanaya merasa senang dengan hasil kerja para tim di Restoran ini. Apalagi, kesan dan komentar yang diberikan pelanggan untuk pelayanan di sini. Hari ini kebetulan ada yang menyewa Restoran untuk acara lamaran. Dan, semuanya berjalan lancar tanpa kendala suatu apa pun. "Ini berkat kerja keras Dilan. Kalo gak ada dia mungkin aku yang bakal kesulitan mengelola restoran yang hampir bangkrut ini," gumam Sanaya memuji kerja keras dan andil yang diberi Dilan untuk Restoran ayahnya. Ternyata, dia baru sadar, jika peran Dilan sangat penting di hidupnya. Selain sering membela dan melindungi, Dilan juga mendampinginya hingga di titik sekarang. "Mbak?" panggil Dilan yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Sanaya terhenyak sesaat, kemudian menatap soso
Sanaya serasa baru saja mendapat angin segar, ketika Dilan meminta izin untuk menciumnya lagi. Namun... ada sesuatu hal yang mengganjal pikirannya sejak kemarin, dan itu harus ditanyakan kepada yang bersangkutan secara langsung.Sebab, kalau tidak, bisa-bisa Sanaya akan uring-uringan tidak jelas seperti tadi malam.Melihat Sanaya yang tidak menjawab pertanyaannya, Dilan berpikir jika Sanaya pasti menolak keinginannya barusan.Ck! Mikir apa kamu, Dilan? Memang, kamu pikir Sanaya akan setuju kamu cium lagi? Jangan mimpi!Sejurus kemudian, Dilan menurunkan kedua tangannya yang masih merangkum wajah Sanaya. Berdehem ringan, lalu beringsut mundur ke tempat semula. Dilan memutuskan beranjak dari duduknya, lantas menuju dapur. Tenggorokannya mendadak terasa kering dan kepalanya lumayan berdenyut. Dia butuh air dingin untuk mendinginkan kepala dan meredam sesuatu yang mendadak bangkit.Itulah efek yang selalu dirasakan Dilan, saat berdekatan dengan Sanaya. Dia selalu tidak bisa mengontrol dir