Pagi ini Sanaya mematut penampilannya berulang kali di cermin. Memindai wajahnya yang sedikit berantakan akibat kurang tidur semalaman. “Ini gara-gara Dilan, aku jadi enggak bisa tidur,” gerutunya sambil mengoleskan lipstik berwarna nude pink di bibirnya.Ya, semalaman Sanaya memang tidak bisa tidur lantaran terus terbayang adegan ciumannya dengan Dilan. Alhasil, dia pun baru bisa tidur pukul tiga pagi.Ck!Sebegitu sulitnya dia mencoba mengenyahkan bayangan Dilan. Rasanya sungguh memalukan. Di saat dia meminta Dilan untuk melupakan saja kejadian itu. Justru, dirinya sendiri yang tidak bisa melupakan setiap adegan demi adegan tersebut. Bahkan, rasanya jejak bibir Dilan masih menempel di bibir Sanaya.“Argh...! Ya Tuhan... apa ini?” Perasaannya carut-marut tak menentu gara-gara sikap Dilan yang semakin ke sini malah semakin berani.“Sanaya, kamu pasti bisa lupain ciuman itu. Pasti!”Tak mau semakin larut dalam bayangan Dilan, Sanaya memutuskan untuk segera berangkat setelah memesan tak
Sanaya menelan ludah dengan kasar. Kecurigaan Leo membuatnya berdecak dalam hati, sejurus kemudian sebuah alasan yang sekiranya tepat pun meluncur dari bibir Sanaya. “Aku pinjem hapenya si Desi. Tahu ‘kan Desi?” Leo mengangguk, dia mengenal Desi yang bekerja sebagai pelayan di Restoran milik Sanaya. Dia memilih percaya dengan apa yang dikatakan tunangannya dan memutuskan untuk pergi dari sana. “Ya udah, ayo berangkat. Aku anter,” ajak Leo, meraih tangan Sanaya dan menuntunnya masuk ke dalam lift. “I-iya.” Sanaya membuang napas lega setelah berhasil berbohong kepada Leo. Ini kali pertamanya dia berbohong kepada lelaki itu. Dan, rasanya sangat menegangkan. ‘Gara-gara Dilan. Aku jadi bohong sama Leo. Ck!’ b atin Sanaya yang kembali mengingat Dilan. _ Perjalanan menuju Restoran terasa sangat singkat bagi Sanaya, yang sejak masuk ke mobil terus saja melamun. Dia tidak menyadari jika ternyata mobil Leo sudah berhenti di halaman parkir Restoran. “Nay, ayo turun,” ajak Leo, membuat San
Leo memicingkan mata ke arah Dilan yang berada di balik pintu. Rahangnya seketika mengeras sambil menggertakkan gigi. Dia pun kembali mengingat masalah kemarin, saat Dilan mengancamnya.Tidak suka melihat kehadiran Dilan di sini, Leo akhirnya memutuskan untuk pergi saja.“Udah siang, mending aku langsung aja, Nay,” pamitnya yang lantas meletakkan cangkir kopi ke meja. Leo mendekati Sanaya, lalu mengecup singkat bibir bungkam itu. “Bay....”Sanaya terkesiap dengan ciuman mendadak yang diberikan Leo. “I-iya. Kamu hati-hati.” Saat mengatakan itu, sudut matanya melirik ke arah Dilan yang ternyata menyaksikan semuanya. Ada rasa malu sekaligus serba salah bersarang di hati Sanaya.Dilan menyingkir sebentar dari pintu karena Leo hendak keluar dari ruangan itu. Keduanya saling melempar tatapan sinis ketika berpas-pasan. Sebelum akhirnya Leo keluar dan melenggang dari hadapan Dilan.Sementara itu, Sanaya masih berdiri di tempatnya, menunggu Dilan masuk. Dan, demi menutupi rasa malu, Sanaya pu
Sore ini, Sanaya sengaja meluangkan waktu untuk berkunjung ke rumah sang ayah. Padahal, sejak lima hari yang lalu ayah memintanya untuk datang, dia ingin segera datang. Sayangnya, Sanaya belum bisa menuruti permintaan tersebut lantaran luka tamparan Leo yang masih membekas.Sanaya tidak ingin membuat sang ayah bertanya-tanya dan merasa cemas, apabila melihat bekas luka di sudut bibirnya. Terlebih, dia juga bisa memberikan alasan yang kuat saat ayah menanyakan Leo.Ada bagusnya tunangannya itu pergi ke luar kota, hingga hari ini belum kembali.Sanaya merasa hidupnya bebas tanpa ada tekanan dari siapa pun. Jiwa dan raganya juga butuh waktu dari semua luka yang diberikan lelaki arogan itu. Tetapi, terkadang Sanaya dibuat bertanya-tanya sendiri, perihal Leo yang sama sekali tidak pernah menghubungi dirinya bila sedang ke luar kota seperti sekarang.“Ah, apa peduliku?! Mungkin, dia lagi seneng-seneng.”Sanaya bergumam sendiri sambil menggeleng berkali-kali guna mengenyahkan semua pertanyaa
Sanaya langsung menghempaskan tubuhnya ke ranjang begitu tiba di dalam kamar. Merentangkan kedua tangan sambil menatap langit-langit kamar yang hanya berhias lampu temaram. Menghirup udara dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan-lahan. "Jadi, selama ini dia udah pacar, ck!" gumam Sanaya dengan perasaan yang benar-benar kacau, setelah mendapati laki-laki yang telah mencuri ciuman pertamanya sedang berboncengan mesra dengan seorang gadis. Lantas, secara sadar Sanaya meraba bibirnya sendiri. Lalu dia menggigitnya kecil sambil memejamkan mata. Rasanya, seperti baru kemarin Dilan menciumnya, dan jejaknya masih sangat membekas. Manis dan menimbulkan sensasi yang berbeda dari ciuman Leo. Ada getaran yang Sanaya sendiri belum bisa memahami. Sebuah debaran yang terkadang masih timbul tenggelam di dalam hati. Meskipun hanya sebuah ciuman, tetapi efeknya begitu dahsyat untuk gadis bermanik cokelat itu. "Aku benci kamu, Dilan... Aku benci...." Bibir Sanaya mendesahkan nama Dilan. Mengucap
"Fyuuh...." Sanaya yang baru saja masuk ke ruangannya menghela lelah, seraya menghempas punggungnya ke sofa. Pekerjaan hari ini cukup menguras tenaganya. Dia kemudian melirik jam digital yang ada di meja kerja. "Jam enam." Meskipun lelah, tetapi Sanaya merasa senang dengan hasil kerja para tim di Restoran ini. Apalagi, kesan dan komentar yang diberikan pelanggan untuk pelayanan di sini. Hari ini kebetulan ada yang menyewa Restoran untuk acara lamaran. Dan, semuanya berjalan lancar tanpa kendala suatu apa pun. "Ini berkat kerja keras Dilan. Kalo gak ada dia mungkin aku yang bakal kesulitan mengelola restoran yang hampir bangkrut ini," gumam Sanaya memuji kerja keras dan andil yang diberi Dilan untuk Restoran ayahnya. Ternyata, dia baru sadar, jika peran Dilan sangat penting di hidupnya. Selain sering membela dan melindungi, Dilan juga mendampinginya hingga di titik sekarang. "Mbak?" panggil Dilan yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Sanaya terhenyak sesaat, kemudian menatap soso
Sanaya serasa baru saja mendapat angin segar, ketika Dilan meminta izin untuk menciumnya lagi. Namun... ada sesuatu hal yang mengganjal pikirannya sejak kemarin, dan itu harus ditanyakan kepada yang bersangkutan secara langsung.Sebab, kalau tidak, bisa-bisa Sanaya akan uring-uringan tidak jelas seperti tadi malam.Melihat Sanaya yang tidak menjawab pertanyaannya, Dilan berpikir jika Sanaya pasti menolak keinginannya barusan.Ck! Mikir apa kamu, Dilan? Memang, kamu pikir Sanaya akan setuju kamu cium lagi? Jangan mimpi!Sejurus kemudian, Dilan menurunkan kedua tangannya yang masih merangkum wajah Sanaya. Berdehem ringan, lalu beringsut mundur ke tempat semula. Dilan memutuskan beranjak dari duduknya, lantas menuju dapur. Tenggorokannya mendadak terasa kering dan kepalanya lumayan berdenyut. Dia butuh air dingin untuk mendinginkan kepala dan meredam sesuatu yang mendadak bangkit.Itulah efek yang selalu dirasakan Dilan, saat berdekatan dengan Sanaya. Dia selalu tidak bisa mengontrol dir
"Hem... aku...." Dilan menelan ludah susah payah, di desak seperti ini oleh Sanaya. Entah mengapa, malam ini Sanaya nampak berbeda dari biasanya. "Jawab aja, Dilan. Gak apa-apa. Toh, itu hak kamu," pinta Sanaya yang belum melepas tatapannya pada sosok kharisma itu. "Saya lebih suka kamu jujur. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Karena saya perlu tahu, apakah laki-laki yang sudah berani mencuri ciuman pertama saya punya hubungan dengan wanita lain atau enggak. Itu aja." 'Hah? Serius? Yang kemarin itu ciuman pertamanya Sanaya? Gila! Mampus lu, Dilan!' Dilan menggerutu dan merutuki dirinya dalam hati. "So-sorry, Mbak. Kalo emang itu kenyataannya. Kalo pun aku tahu itu ternyata ciuman pertama Mbak Sanaya, aku gak bakal lakuin itu. Sumpah!" Dilan seketika gelagapan dan panik sendiri, dia bahkan sampai rela bersumpah seraya mengangkat kedua jari membentuk huruf V ke atas. "Tapi kamu udah terlanjur ngelakuin itu, Dilan. Dan kamu tahu, apa akibatnya bagi saya?" Sanaya semakin berani, berbicar