Setelah menyelesaikan urusan di butik Irene, Sanaya lantas segera pamit pulang kepada sang pemilik butik. Jengah sekaligus malas jika dirinya harus berlama-lama berada di dalam satu ruangan bersama Dilan dan Bianca. Sikap kekasih Dilan itu benar-benar berlebihan dan tidak tahu malu. "Memangnya dia pikir, cuma dia doang yang punya pacar? Ck, ngeselin!" gerutu Sanaya sambil terus melangkah menjauh dari pelataran parkir butik. Sedari tadi mulutnya tak berhenti membeo, dan bersungut-sungut. Entah apa yang membuatnya menjadi bersikap demikian. Karena fakta Dilan yang sudah punya pacarkah? Atau ada penyebabnya lain yang mendasari kekesalannya itu. Yang jelas, Sanaya merasa tidak terima lantaran Dilan sudah menipunya. Keluar dari area butik, Sanaya baru menghentikan langkahnya. Mengatur napasnya yang sedikit ngos-ngosan karena sudah berjalan terburu-buru, lalu setelah merasa tenang dia merogoh tas selempang yang menjuntai di bahu. Jarak butik dan restoran lumayan jauh, karena itu Sanaya h
Dilan membawa motornya dengan laju sedang seperti janjinya pada Sanaya sebelum meninggalkan butik. Namun, di perjalanan kali ini tak ada satu pun dari mereka yang berniat membuka obrolan. Dilan dan Sanaya sama-sama fokus pada isi kepala masing-masing. Bila Sanaya tengah bertanya-tanya perihal hubungan Dilan dengan Bianca. Sementara Dilan tengah bertanya-tanya dengan kondisi Sanaya saat ini.Sempat mendengar dari Irene waktu di butik tadi, jika Sanaya dan Leo akan menikah dalam waktu dekat. Yakni dua bulan lagi. Lalu, di pikiran Dilan pun terbesit sebuah pertanyaan, tentang kondisi Sanaya yang nampaknya baik-baik saja. Tidak ada hal-hal yang mengarah pada kehamilan.Apa itu artinya, Sanaya memang tidak hamil? Atau... memang perempuan itu sengaja membuat dirinya tidak hamil, pikir Dilan.Selang beberapa menit menempuh perjalanan, akhirnya motor yang dikendarai Dilan berhenti tepat di parkiran Restoran. Tanpa menunggu lama, Sanaya buru-buru turun dari motor tersebut, lalu merapikan seben
"Itu..." Dilan terdiam sesaat, menggantung kalimatnya di ujung bibir."Itu apa?" Sanaya benar-benar sudah tidak sabar."Kami... intinya gak pacaran, Mbak. Udah itu. Sama kaya Mbak dan Leo. Yang tahu-tahu dijodohkan. Kurang lebih aku sama Bianca kaya gitu." Dilan tidak bohong, memang seperti itu hubungannya dengan Bianca. Tidak ada yang spesial."Tapi, Dilan—""Ssstt! Udah Mbak. Gak usah dibahas lagi." Telunjuk Dilan menempel di bibir Sanaya, merasa enggan dan malas jika harus membahas mengenai hubungannya bersama Bianca. "Sekarang kita bahas masalah kita yang sempat tertunda." Menarik kembali telunjuknya, kemudian beralih ke sisi wajah Sanaya lagi.Seketika Sanaya menelan ludah. Ingatannya berkelana pada kejadian malam itu, dan mimpi-mimpi yang sempat dia alami. Ah, memalukan! Di saat seperti ini, mengapa otak Sanaya justru mengingat aktivitas panas tersebut."Mbak?" tegur Dilan, karena Sanaya malah asyik melamun sendiri. "Mbak hamil gak?""A-apa? Hamil?" Manik Sanaya bergerak gelisah
Konyol, apa yang ada di kepalamu, Sanaya? Apa? Detik ini kamu sedang menggali kuburanmu sendiri, pikirnya dalam diam.Sanaya menghela, seraya menurunkan tangannya dari pundak Dilan. Pemuda itu sama sekali tidak merespon atau pun segera menjawab pertanyaan darinya. Hingga beberapa saat menunggu, dengan keheningan yang tercipta, akhirnya Sanaya memilih melupakan apa yang telah dia lontarkan barusan.Ketika hendak berbalik, punggung Dilan berbalik, hingga pada akhirnya Sanaya mengurungkan niatnya.Manik mereka seketika bertemu dan saling beradu pandang. Dilan menatap lamat-lamat wajah cantik itu. Wajah yang baru saja menawarinya sebuah kesepakatan."Kamu sadar sama apa yang kamu ucapkan barusan, Nay?" tanya Dilan, yang tak habis pikir mengapa pertanyaan tersebut terlontar dari mulut gadis itu."Sadar," sahut Sanaya sambil mengangguk. Meski jantungnya kini semakin memompa lebih cepat dari biasanya, sebisa mungkin dia menutupi kegugupannya.Dilan menghela pendek, lalu meraih tangan Sanaya
Langkah kaki Sanaya mengayun dengan malas, saat memasuki area lobi kantor Leo. Andai saja, bukan mami Anne yang memintanya untuk datang ke sini, sudah pasti Sanaya akan menolak hal tersebut mentah-mentah. Sayangnya, Sanaya tak punya pilihan lain selain menuruti permintaan calon mertuanya itu.Di tangannya kini ada dua paper bag berisikan makan siang yang dia buat khusus untuk Leo. Menu makanan favorit calon suaminya itu, dibuat sendiri oleh Sanaya sesuai arahan dari mami. Ini pun kali pertama dia datang ke kantor Leo, semenjak dirinya berstatus sebagai tunangan dari Presdir di perusahaan ternama tersebut."Permisi, bisa saya bertemu dengan Pak Leo?" tanya Sanaya pada salah satu resepsionis perempuan yang tengah sibuk memandangi layar komputer.Resepsionis tersebut menoleh, dan menampilkan senyum ramah. "Apakah sebelumnya sudah ada janji dengan beliau?" tanyanya yang merupakan bagian terpenting. Atasannya terkenal dingin dan agak arogan, tak pernah mau menemui tamu jika belum membuat j
Brak!Sanaya keluar, lalu membanting pintu ruangan Leo dengan kasar. Kepalanya terus menunduk, sambil memegangi pipi sebelah kiri. Rasa nyeri yang dia rasakan tak seberapa dibanding dengan rasa malu yang harus dia terima, lantaran saat ini semua orang yang berpas-pasan dengannya menyorotnya penuh tanya.Meskipun ingin, tetapi Sanaya tidak mungkin menangis di sepanjang lorong kantor. Dia berharap bisa segera keluar dari kantor tersebut dan melupakan kejadian mengerikan yang baru saja dialaminya."Sshh...." Sanaya mendesis kala rasa nyeri merajai seluruh permukaan kulit wajah dan tubuhnya. "Tuhan... beri aku kekuatan." Maniknya menatap iba pada setiap goresan luka yang ditinggalkan oleh Leo di sekujur tubuhnya. Dia tahu, konsekuensi seperti inilah yang akan diterimanya bila berani membantah atau pun melawan sang tunangan brengseknya itu.Ting!Pintu lift terbuka lebar, buru-buru kaki jenjang Sanaya melangkah masuk ke benda berjalan tersebut. Beruntung, di dalam sana tidak ada orang lain
'Dilan?' Sanaya mengulang kalimatnya dalam hati, mengerjapkan bulu mata lentiknya sekali sambil mengatur napas yang mendadak memburu. Tatapan manik kelam Dilan seakan menggiringnya pada kenangan kejadian malam panas itu. Atmosfer di dalam ruangan lift terasa memanas padahal jelas-jelas suhunya sudah begitu rendah. Dilan kemudian menjulurkan tangan kanannya untuk menyentuh sudut bibir Sanaya yang terluka. Tak perlu dia bertanya perihal luka tersebut, sudah pasti pelakunya adalah Leo. Tetapi, yang jadi pertanyaan Dilan saat ini ialah, mengapa Sanaya bisa berada di gedung apartemennya. Apa yang ingin dilakukan Sanaya di sini, pikir Dilan. "Ini pasti ulah si brengsek itu? Iya 'kan?" tanya Dilan setelah berhasil mengendalikan emosi agar tidak meluapkannya detik ini juga. Dadanya memanas, ketika dia harus melihat perempuan yang dia sayang mengalami hal yang menyakitkan. "Bukan." Sanaya menampik, lalu melengos ke arah lain, menurunkan pandangan untuk menatap kaki Dilan yang tak berjarak s
"Ini udah di luar batas, Nay. Ini udah bisa digolongkan tindak kekerasan fatal dan kamu bisa melaporkan Leo ke polisi. Kamu bisa visum ke rumah sakit buat dijadiin bukti. Aku bisa bantuin kamu jeblosin dia ke penjara." Dilan mulai melontarkan argumen sekaligus saran untuk Sanaya yang baru saja selesai dia kompres air dingin. Menyerahkan dua butir obat kepada Sanaya, beserta segelas air yang masih tersisa separuh. Sanaya hanya diam, tak menanggapi mau pun mengiyakan saran Dilan. Menerima obat dari Dilan, lalu segera meminumnya. Setelahnya mengembalikan gelas tersebut ke nakas samping ranjang tidur. "Saya gak bisa," tolaknya tegas, sambil mengalihkan pandangan ke arah lain."Kenapa gak bisa? Kamu babak belur kaya gini, masih aja belain dia. Ck!" Dilan kesal mendengar penolakan tegas Sanaya, merasa heran dengan jalan pemikiran gadis di hadapannya ini. "Kenapa? Takut? Apa yang kamu takutin, Nay?" cecarnya, melanjutkan mengolesi salep pada lengan dan siku Sanaya yang lebam. "Kamu udah t