Paginya Sanaya yang masih tertidur pulas di ranjang menggeliat dan merasa terganggu dengan aroma wangi masakan yang menyeruak ke dalam kamar. Kedua matanya terbuka perlahan, lalu mengerjap berkali-kali guna menyesuaikan dengan cahaya matahari yang masuk lewat celah jendela. Cukup menyilaukan dan...."Astaga!" Sanaya sontak terlonjak dan bangkit dari tidurnya. Memindai seluruh ruangan yang sudah dipenuhi oleh cahaya matahari. Maniknya tertuju pada jam digital yang ada di dinding. "Jam tujuh? Di—" Sanaya menoleh ke samping, dia kira Dilan masih tertidur, tetapi ternyata di sisinya sudah tidak ada siapa pun. Melompat dari ranjang, Sanaya gegas beranjak keluar dari kamar. Aroma masakan kembali tercium di hidungnya begitu tiba di depan pintu. "Dilan?" Sanaya memanggil sang empunya rumah, dan dia pun mendapati Dilan tengah berada di dapur menghadap di depan kompor. "Dilan, kok, kamu gak bangunin saya, sih?" tanyanya mendekat ke Dilan, memilih tidak bertanya apa yang sedang pemuda itu laku
Siangnya, Sanaya yang masih berada di unit Dilan terlihat sedang duduk di sofa ruang tamu dengan wajah tertekuk masam. Keputusannya untuk tetap tinggal di sini memang tidak ada yang salah. Hanya saja, gara-gara perkataan Dilan, Sanaya jadi terus kepikiran. Hatinya resah, dan bertanya-tanya sendiri."Apa Dilan suka sama aku, ya? Tapi kalau misalkan iya, aku juga gak bisa bales perasaannya," gumam Sanaya sambil memainkan ponsel yang sedari tadi ada di tangan. "Ah, tahu, deh! Tapi ngeselin emang itu cowok, sukanya bikin aku baper sama kepikiran," dengusnya kesal lantaran sikap Dilan yang menurutnya selalu membuatnya dag-dig-dug.DrrttPonsel Sanaya bergetar dan mengedip sekali. Fokusnya pun teralihkan. "Leo?"Kening gadis itu mengerut, menghela panjang dan mengabaikan chat tersebut. Tak berminat untuk membuka apalagi membaca pesan dari tunangannya itu. Sanaya sudah bisa menebak pasti Leo cuma mau minta maaf atau menanyakan keberadaannya."Basi!" Sanaya mematikan ponselnya, lalu meletakka
Hari-hari yang dilalui Sanaya sudah kembali seperti semula. Seperti dulu saat dia dan Dilan mulai dekat. Perhatian-perhatian kecil yang dia dapat, ternyata diam-diam menumbuhkan rasa nyaman. Hati perempuan mana yang tidak akan meleleh bila terus-terusan dihujani perhatian dengan sedemikian besar?Berhubung Restoran sedang tutup, minggu ini rencananya, Sanaya ingin mengajak Dilan pergi ke suatu tempat. Namun, tiba-tiba ayah menelepon dan meminta Sanaya untuk ke rumah. Rindu. Itu yang dikatakan ayah, hingga gadis itu tidak bisa mengelak mau pun menolak.Sesibuk apapun, Sanaya sebisa mungkin tidak menolak permintaan ayah. Mungkin, ini akan menjadi kunjungannya yang pertama kali bersama Dilan ke rumah ayah. Herannya, Dilan sangat terlihat antusias dan mengajak Sanaya mampir sebentar ke toko buah.Kata pemuda itu, dia sudah lama sekali tidak menjenguk ayah. Terakhir kali saat Sanaya pulang ke Indonesia. Sekitar 4bulan yang lalu.Keluar dari toko buah, Dilan menenteng dua kresek berwarna m
Makan siang yang penuh ketegangan itu pun akhirnya selesai. Dengan memberi sedikit alasan yang sekiranya masuk akal, ayah akhirnya percaya. Beliau juga maklum dengan kesibukan sang calon menantunya itu. Karenanya, meskipun begitu ingin melihat puterinya berkunjung dengan calon suaminya, ayah hanya bisa pasrah saat Sanaya datang sendiri atau ditemani laki-laki lain seperti sekarang ini. Selanjutnya, Sanaya membantu ayah pergi ke kamar untuk beristirahat, sedangkan Dilan memilih menunggu di ruang tamu.Sembari menunggu, Dilan membalas chat dari Bianca. Calon tunangannya itu memintanya datang ke Butik karena harus melakukan fitting baju sekali lagi. Namun, dengan berbagai macam alasan, dan tentunya meminta maaf lantaran tidak bisa datang, Dilan seperti sudah terbiasa berbohong.Hingga detik ini, meski dia dan Bianca akan bertunangan. Hatinya seolah belum merasakan getaran atau debaran yang sama, seperti halnya ketika dia tengah bersama Sanaya. Selalu ada gejolak dan gelora dari dalam di
"Ayah kira kalian menginap," ucap ayah, rautnya terlihat murung ketika Sanaya dan Dilan hendak berpamitan pulang. Ketiganya sudah berada di halaman rumah. Langit pun sudah menggelap. Sanaya memeluk pinggang ayah. "Maaf, Yah. Besok-besok, kalo ada waktu lagi Nay pasti nginep." Dilan pun turut menimpali. "Iya, Om. Besok-besok Dilan pasti bakal main ke sini lagi." "Ajak calon istrimu juga. Om mau kenalan sama dia," pinta ayah, raut murungnya telah berubah sumringah seketika. Kabar Dilan yang tiga hari lagi akan bertunangan disambut dengan bahagia oleh beliau. Maksud Dilan mengabari ayah hanyalah sekadar membagi kebahagiaan. Meski nyatanya dia sama sekali tidak merasakan hal itu. Yang ada sesak di dadanya malah justru semakin merajai. Pembahasan soal hubungannya dengan Sanaya tadi sore, berakhir dengan dingin. Bayangan adegan panas yang telah terancang di otaknya pun terpaksa harus buyar dan enyah. Berganti dengan rasa kecewa, dan tidak saling bertegur sapa hingga detik ini. "Pasti,
"Nay ...." Dilan menegur Sanaya yang hanya terdiam, melepas kedua tangan Sanaya yang melingkar di lehernya, lalu dia bangkit dan duduk di samping gadis itu. "Mikir apa, hm?" Sanaya menoleh, bibirnya yang ranum mengulas senyum. "Enggak, gak lagi mikir apa-apa," kilahnya, kemudian menyandarkan kepalanya di dada Dilan. "Apa aku ini egois?" Kening Dilan langsung mengernyit mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir Sanaya. Dia merentangkan tangan di balik punggung Sanaya, memeluknya erat seperti biasa. "Egois dalam hal apa dulu, nih?" "Egois, karena udah bikin kamu terikat sama perjanjian konyol. Egois karena udah nutupin hubungan kita ke ayah. Egois karena aku gak bisa berhenti bermain-main dengan semua ini. Aku takut, Dilan. Aku takut ngebayangin kamu gak ada di sisiku." Bisa dikatakan jika dirinya memang selama ini selalu bergantung pada Dilan. Rasa takutnya akan kehilangan Dilan jauh lebih besar daripada rasa takutnya ketahuan Leo. Sanaya
Tiga hari kemudian ~Di dalam mobil Sanaya berulang kali mengembuskan napasnya gusar. Namun, tak kunjung mengurangi rasa sesak yang terus saja merajai.Perasaan apa ini, Tuhan? Kenapa aku rasanya ingin menangis, pikirnya.Malam ini dia dan Leo akan pergi menghadiri acara pertunangan Dilan dan Bianca di salah satu hotel ternama ibu kota. Undangan yang diberikan secara khusus oleh Irene selaku teman dari calon ibu mertuanya. Sebenarnya, Sanaya malas dan tidak berminat sama sekali datang, tetapi maminya Leo terus memaksa.Terlebih, dia yang selaku atasan Dilan, rasanya aneh jika tidak menghadiri acara dari salah satu karyawannya. Ayah juga sudah berpesan dan meminta Sanaya untuk mewakilinya.Dia lantas bisa apa? Meskipun enggan, tetapi Sanaya harus tetap berusaha bersikap biasa saja. Agar tak ada orang yang menaruh curiga padanya. Dilan pantas bahagia, mendapatkan gadis yang baik pula."Gak nyangka, ternyata karyawan kamu bisa dapet calon istri orang kaya juga. Beruntung banget dia, ya.
Berusaha untuk tetap tenang dan biasa saja, ternyata semua itu sungguh melelahkan. Terbukti, bila saat ini Sanaya sedang tidak baik-baik saja, semenjak pernyataan Leo yang hendak bertanya kepada ayah Wili. Tubuhnya memang berada di sini, di tengah keramaian lautan manusia yang mengisi ballroom hotel. Sementara pikirannya berkelana ke mana-mana.Bisa ditebak, jika tamu yang hadir dalam acara pertunangan ini bukanlah dari kalangan biasa. Sanaya bahkan melihat beberapa para selebgram dan selebriti ibu kota hadir di acara tersebut. Sanaya tak pernah menduga, jika Dilan akan mendapatkan pasangan dari keluarga terpandang dan memiliki nama besar. Tak heran, jika Leo—tunangannya betah menggerutu dan menyindir nasib Dilan yang beruntung. Andai saja bisa, Sanaya ingin pergi dan menjauh dari lelaki itu. Telinganya sakit lantaran gerutuan tak berfaedah Leo. 'Hfuuh ….' Embusan napas jengah mungkin sudah ke sekian kali keluar dari hidung Sanaya. Melirik Leo yang berada di sampingnya tengah mengo